BAB 07 Ⅱ Artha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ARTHA
Aku hampir hilang kendali. Ralat, maksudku, aku-mungkin-benar-benar sudah kalap. Setelah Gheo bilang "Maaf, Bil, tapi ini emang udah sesuai perjanjian antara lo sama gue, dan lo setuju. Jadi, lo juga harus tepatin, dan harus terima resikonya.", aku langsung menamparnya dengan cukup keras.

Lalu keadaan lobi yang begitu hening, tambah hening. Hanya ada Rendi yang duduk di kursi depan ruang tata usaha, dan hanya Rendi yang melihat aku menampar kakak kelas yang satu ini. Sementara Jaka, baru saja laki-laki itu melangkah pergi, dan aku tidak tahu, apa ia melihatnya, atau tidak melihat.

Air mataku yang sudah berlinang, tiba-tiba menetes. "Kalau gitu, tolong berhenti, Kak," ucapku lirih sambil menyeka air mataku, "tolong berhenti. Demi gue, demi lo sendiri, dan demi dia." Aku langsung berbalik, dan berjalan pergi. Gheo juga tidak memanggilku setelah itu, sebuah fakta menyakitkan yang tak sanggup kuterima.

Aku memastikan kalau mataku sudah tidak berlinang air lagi, tapi nihil. Setiap detik berlalu, maka aku semakin mengingatnya. Semakin dekat dengan halte, aku malah semakin ingin kembali, berbalik, dan menemuinya lagi. Sampai aku benar-benar tiba di halte Matraman 1, dan aku melihat sang ketua OSIS tengah berdiri, memandang ke jalan raya.

Jaka menoleh ketika menyadari kehadiranku, lalu lekas-lekas aku memalingkan pandangan dan menghapus air mataku yang masih tersisa. Aku tak memedulikan keberadaannya, melainkan langsung berjalan ke arah pintu sebelah kiri halte, dan bersandar ke kaca besar di sebelahnya.

Tidak lebih dari lima menit setelah itu, Jaka berjalan mendekat. Serta-merta aku melirik dengan sinis ke arahnya sambil berucap ketus, "Ngapain lo di sini?!"

Lalu beberapa saat setelahnya, jawaban Jaka serta jarinya yang menunjuk ke arah bus membuatku langsung ... malu setengah mati. Ia dengan tenang berkata, "Gue mau pulang, dan itu busnya udah dateng. Kenapa? Emangnya lo enggak mau pulang juga?"

Guna mengurangi rasa malu, aku langsung membalasnya dengan cepat, tanpa berpikir, "Maksud gue, ngapain di pintu yang sama kayak gue? Enggak tau apa kalau gue males ngeliat lo."

Tapi, tetap saja. Balasanku bahkan membuatku jauh lebih malu dari sebelumnya. Jaka tersenyum tipis, dan mengedikkan bahunya acuh tak acuh, "Setahu gue ya, bagian depan itu ada tulisan khusus wanita, Ar. Masa gue masuk lewat depan, sih."

Aku langsung bisu. Tidak kubalas lagi perkataannya, melainkan kulangsung melangkah masuk ke bus. Laki-laki itu langsung menggapai pegangan bus yang kosong, sementara aku bersandar ke pintu di sebelah kiri, dengan tenangnya berdiri di atas tulisan 'Dilarang Berdiri'.

Sementara Jaka, tampak fokus membaca novel Percy Jackson. Benar-benar serius, dan kupikir Jaka bahkan tidak sadar kalau kacamatanya agak merosot sedikit. Setelah bus berjalan cukup lama, dan pikiranku sudah random ke mana-mana tentang Gheo, aku menjauhkan punggungku dari pintu bus, kemudian menghampiri Jaka lebih dekat.

Jaka menaikkan kacamatanya, dan tetap diam memandangku. "Kalau gue ngundurin diri dari jabatan ini, gimana?" Jaka tetap diam, masih memandangku. "Gue mau ngundurin diri aja, daripada gue enggak niat, dan nanti malah nyusahin."

Benar. Aku memang tidak ada niatan menjadi wakil ketua OSIS. Sebenarnya, menjabat sebagai ketua OSIS pun aku tidak memiliki niat. Semua ini karena Gheo. Laki-laki yang selalu memanggilku dengan nama Billa. Tapi anehnya, aku menyukai Gheo, dan selalu saja mengabaikan nama panggilan tersebut.

Jaka menggeleng pelan sambil menutup novelnya, "Enggak, Ar. Lo itu terpilih. Jangan sampai lo bikin orang-orang yang kemarin dukung lo, jadi kecewa karena lo ngundurin diri," katanya. Tapi, aku tidak sanggup. Senyum Jaka mengembang lebar, membuatku seketika terfokus pada lesung pipitnya-entah kenapa. "Lo harus tanggung jawab atas tugas lo, dan lo ... harus dampingin gue selama gue menjabat sebagai ketua OSIS, Ar."

Tidak.

Aku tidak mau mendampingi seorang Jaka Almi Syahidan. Aku tidak akan bisa mendampingi seseorang yang kubenci seperti dirinya. Bahkan, sejak hari pertama sekolah, aku sudah membencinya. Jadi, tidak mungkin aku bisa bekerja sama dengannya, apapun alasan yang akan dikemukakan.

"Gue enggak bisa, Jak. Sorry, bukannya gue enggak mau bertanggung jawab, tapi gue emang enggak bisa. Daripada nanti gue cuma bisa bikin anak OSIS ribet, mendingan dari awal gue mundur. Gue yakin Rendi lebih pantes dampingin lo daripada gue, Jak," kilahku panjang lebar. Jaka hanya berdesah pasrah.

Aku tahu Jaka tidak mungkin memercayai ucapanku. Sekalipun Jaka memercayainya, aku sangat yakin kalau Jaka tetap akan bersikeras menahanku agar tidak mundur. Tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar merasa tidak sanggup. Bukan karena aku akan merasa keberatan dengan tugas sebagai wakil ketua OSIS, tapi aku cemburu. Jujur, aku benar-benar cemburu atas kemenangan yang Jaka raih. Aku cemburu atas selisih setipis itu. Dan aku cemburu pada jabatan yang Jaka dapatkan.

"Kalau di posisi wakil aja lo udah minta mundur, gimana kalau lo ada di posisi ketua, Ar? Padahal, waktu orasi kemarin, lo dapet dukungan paling meriah daripada lima kandidat lainnya. Tapi sekarang, mana semangatnya? Bahkan setelah pelantikan, lo enggak keliatan semangatnya sama sekali."

Sial. Bisa-bisanya Jaka berpikiran sehingga ia menjawab seperti itu. Kesannya seakan-akan aku bukanlah seseorang yang tidak bisa bersyukur atas apa yang telah kudapatkan. Oke, jujur, mungkin sedikit benar, tapi tetap saja, aku butuh waktu. Bukan hanya untuk menerima posisi ini, tapi untuk menerima kenyataan bahwa aku telah kehilangan sesuatu.

Aku melangkah mundur, kembali menjauh dari Jaka, dan kembali menyandarkan tubuhku ke pintu. Rasanya aku ingin menangis.

Dddrrttt ... dddrrttt ... dddrrttt....

Melihat nama 'Bunda' yang tampak di layar membuatku langsung mengangkat teleponnya, dan menunggu bunda menyapa dari seberang, "Ar, kamu di mana? Mau dijemput, enggak?"

"Enggak usah, Bun. Artha udah di jalan pulang, nih," balasku sambil melihat ke luar jendela. "Ini udah mau sampai di Kampung Melayu."

"Terus kamu sendirian?" tanya Bunda dengan nada bicara khawatir khasnya. "Udah magrib gini, Ar. Tunggu di sana aja deh, nanti Bunda minta bang Dhito buat jemput kamu ke halte Kampung Melayu."

Aku diam sambil melirik Jaka. Aku tidak mau menunggu bang Dhito menjemput, karena itu pasti akan memakan waktu yang cukup lama dari Cibubur ke Kampung Melayu, tapi, jika aku bilang aku pulang bersama Jaka, sepertinya tidak enak. "Ar, gima-"

"Artha enggak pulang sendiri kok, Bun!" Aku menyela cepat-cepat. "Artha pulang sama Jaka, temen sekelas, dan anak OSIS juga."

Bunda terdengar bergumam, dan tak ada jawaban selama beberapa saat, sebelum permintaannya diajukan, "Coba kasih hp-nya sebentar ke temen kamu itu. Bunda mau ngomong."

Aku melirik ke Jaka lagi, dan baru saja sadar kalau laki-laki itu tengah memandang balik ke arahku. Entah ia memandang ke arahku karena mendengar namanya disebut, atau sekadar ingin melihat kalau aku sudah sadar bahwa bus yang kami tumpangi sudah berhenti di halte Kampung Melayu. Aku lekas ikut turun bersama Jaka, dan berjalan menuju pintu koridor tujuh.

Begitu tiba di depan pintu koridor tujuh, aku memberikan ponselku ke Jaka, "Bunda gue mau ngomong," ucapku singkat sebelum ia menerimanya.

Aku tidak tahu mereka membicarakan apa di telepon, tapi Jaka beberapa kali tersenyum. Nada bicaranya benar-benar halus dan sopan. Dan itu memberikan kesan yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan Jaka yang di hari pertama sekolah aku temukan.

Entahlah. Mungkin setiap orang memang memiliki caranya sendiri untuk memperlakukan teman, dan orang tua. Jika ia sopan terhadap orang tua, belum tentu ia bersikap sopan kepada temannya.

"Iya, Bun, nanti bisa Jaka atur deh kalau itu," panggilan 'Bun' yang Jaka gunakan seolah-olah menghipnotisku hingga menoleh. Apa dari tadi laki-laki ini memanggil dengan sebutan Bunda? Yah, mungkin, dan aku tidak menyadarinya. "Siap, Bun."

Kenapa ia tidak memanggil Tante saja? Atau Bibi, atau apalah, tapi tidak seperti itu, seolah-olah ia memanggil Bundanya sendiri. "Nanti kalau udah turun dari halte yang di Pasar Rebo, lo ke rumah gue dulu, ya. Bunda lo minta gue nemenin sampe halte terakhir, dan katanya, kalau bisa sih sekalian nganterin lo pulang."

Tidak mungkin!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro