BAB 20 Ⅱ Artha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ARTHA
“Jadi, intinya?” tanyaku. Entah kenapa, aku benar-benar tidak bisa menahan senyumku, namun di sisi lain, aku juga kecewa. Sangat. Seperti matahari yang lamat-lamat tampak terbit di belakang kami, senyumku juga ikut terbit, samar-samar.

Jaka berdesah. Ia berbalik, kemudian menggenggam cangkir berisi cokelat panasnya. “Ya aku masih nunggu keputusan kamu. If it ends, it ends. If it doesn’t, then it doesn’t,” katanya. Laki-laki itu menyesap cokelat panasnya. Yang kuduga sudah tidak sepanas saat aku membuatnya tadi.

“Kalau enggak, mau gimana?” aku bertanya lagi. Ikut berbalik sepertinya, ikut menatap langit dengan berbagai warna yang mencipta gradasi sempurna di sebelah timur. “Orang yang kecewa enggak akan mudah buat nerima lagi, Jak.”

Hening. Jaka tetap menyeruput cokelat panasnya dengan perlahan. Sejurus kemudian, napasnya ia embuskan dari mulut, membuat uap mengepul tipis. “Apa gunanya status?” tanyanya.

Aku hanya mengedikkan bahuku. “Buat pamer ke orang-orang, kadang. Buat kejelasan suatu hubungan, bisa juga. Atau ya ... karena status itu emang udah ada dari lama, dan enggak bisa disangkal.” Aku menjawab sekenanya.

Jaka tertawa. “Setiap hal yang sama enggak selalu dilakukan pakai alasan yang sama,” katanya. Aku mengangguk setuju. “Kalau kamu, alasannya apa?”

Senyumku perlahan memudar. Pandanganku masih tertuju kepadanya. Sementara Jaka sendiri, sudah mengalihkan pandangannya dari langit berbagai warna. Kini menoleh kepadaku, dan tersenyum. Ia menunggu jawaban.

“Aku takut kehilangan. I know you remember it, Jak,” jawabku. Jantungku berdebar, tiba-tiba. Memori kembali. Hari di mana Jaka dan aku jadian, yang mana adalah juga hari pelantikan pengurus OSIS yang baru. “Tapi ternyata, status enggak ngasih kepastian apa-apa tentang memiliki dan kehilangan. Buktinya, aku enggak memiliki, tuh.”

“Kalau gitu, gimana kalau kita coba ulang semuanya?” tanyanya. Aku mengangkat sebelah alisku. Mengulang semuanya? Apa yang dimaksud dengan semuanya, aku tidak tahu. “Nanti hari Minggu pagi, aku jemput kamu, dan kita bakalan pergi. Ke manapun itu.”

Aku mengedikkan bahu. “Ke Jakarta?” tanyaku.

Jaka mengangguk. “Selalu ke sana,” katanya. Ia kembali menatap langit yang sudah semakin terang. “Jakarta bukan sekadar hometown buatku, Ar. It’s more than just a memory. Ada suka, ada duka, ada kamu juga.”

“Jaka,” panggilku. Laki-laki di sebelahku hanya bergumam. Senyumnya masih mengembang benar-benar manis. Lesung pipitnya terlihat tegas. “Artha. Isn’t it sounds like Jakarta?”

Senyum Jaka mengembang semakin tegas.

+ + +

“Ini biar apa sih bawa mobil, bikin macet Jakarta, tau enggak,” sungutku sambil melangkah masuk ke dalam mobil yang Jaka kendarai. Ia tidak merespons apapun selain senyum tipis. Aku segera menarik safety belt, kemudian mobil mulai melaju pelan menyusuri jalan.

Kami tidak mengobrol banyak setelah mobil melaju. Justru aku membuat mobil berisik dengan menyanyi seiringan dengan musik yang Jaka setel. Sederet lagu-lagu hit di kalangan remaja. List lagu yang tidak mungkin tidak diketahui banyak orang.

“Jak, ke Billa yuk,” ajakku, sebelum mobil yang kami tumpangi berbelok ke arah jalan Raya Bogor. “Kangen Billa.”

“Sebentar aja, ya,” katanya. Aku hanya mengangguk. Mobilnya kemudian berbelok ke kanan, ambil arah ke Jalan PKP, kemudian menuju ke Pondok Rangon lewat Cipayung dan Cilangkap. Sebelum kami benar-benar tiba di pemakaman pun, Jaka izin padaku untuk singgah sebentar ke toko bunga.

Aku sudah hapal. Jaka akan membelikan buket bunga mawar putih untuk Billa. Selalu seperti itu, yang selama ini kutahu.

“Nih, bonus,” katanya sambil memberikan setangkai mawar merah. Sementara buket berisi mawar putihnya ia taruh di dashboard. “Sekarang bonusnya aja ya yang buat kamu. Aku enggak mau kasih kamu mawar, nanti kukasih mahar.”

Aku membelalak menatap wajahnya yang menunjukkan ekspresi tak berdosa. Ia tertawa. “Majenun,” tudingku.

“Tapi, serius, Ar. Aku enggak suka ngasih bunga,” akunya tiba-tiba. Aku menoleh lagi kepadanya, siap mendengarkan saja. “Buat apa? Nanti juga layu.”

“Ya itu yang paling umum, Jak. Icon-nya cowok romantis tuh biasanya suka kasih bunga,” kataku.

Jaka tersenyum lagi. Untuk yang kesekian kalinya hari ini. Tuhan, aku merasa bersalah karena duduk di sini. “Kalau gitu, aku enggak mau jadi cowok romantis. Selama kamu masih bakalan suka aku apa adanya, buat apa aku harus repot-repot ngerubah diriku jadi romantis? Pakai topeng enggak senyaman itu, kan.”

Siapa juga yang bilang kalau aku menyukai dia apa adanya. Terlalu percaya diri.

“You are romantic by the way you are,” tuturku. Aku memandangi setangkai mawar merah yang ada di tanganku. “Cowok romantis bukan cuma mereka yang beliin bunga buat kesayangannya, Jak. Mereka bisa aja kan disebut romantis karena suka bacain puisi, atau mungkin suka ngasih little surprise ke ceweknya, atau apalah yang lainnya.”

Jaka tertawa pelan. “Kalau aku?”

“Suka ngomong yang enggak jelas,” jawabku. “Itu kamu banget. Enggak seberguna itu.”

Kami tiba di pemakaman umum Pondok Rangon. Bersama-sama menyusuri tiap-tiap makam hingga tiba di salah satunya dengan batu nisan bertuliskan nama Billa dan Ayah. Dan seperti permintaan Jaka, kami tidak berlama-lama di sini.

Tidak sampai tiga puluh menit, Jaka dan aku sudah kembali masuk ke mobil, lalu beranjak. Yah, aku tidak benar-benar mengerti ke mana yang Jaka inginkan, tapi katanya, ia mau ke monas.

Aku lama-lama bosan mengunjungi Jakarta Pusat. Namun kuakui, sepanjang jalan di sekitaran monumen nasional, adalah sepanjang jalan yang menjadi favoritku di Jakarta. Gedung-gedung menjulang tinggi, tampak begitu megah dan gagah.

Jaka memarkir mobil di dalam stasiun Gambir, kemudian kami berjalan masuk ke dalam Taman Merdeka yang hari ini ... super terik. Aku sampai harus merebut topi yang sedang dikenakan Jaka demi sedikit menghindari sinar mentari yang membakar.

“Panas. Banget. Asli,” keluhku sambil terus mengibas-ngibaskan tanganku, meskipun angin yang tercipta tidak benar-benar memuaskan.

“Emang lagi panas-panasnya. Sabar aja sih, bentar lagi juga adem,” katanya sambil meraih tanganku. Aku hanya mengerlingkan mataku, jengah. Kami tidak banyak bicara lagi selain membahas betapa luasnya Taman Merdeka—taman luas yang mengelilingi monumen setinggi 132 meter tersebut.

Jaka mengajakku ke atas. Iya, ke pelataran yang ada di atas sana. Entah di ketinggian berapa meter, tapi pokoknya, tinggi sekali. Kami naik ke puncak dengan lift yang tersedia. Yah, lumayan. Sekitar tiga sampai lima menit, kami tiba di atas.

Dan untuk mereka yang belum pernah berdiri di sini, pasti tidak semuanya percaya, bahwa dari sini, aku bisa dengan jelas melihat jalan yang tadi kukagumi. Dapat kulihat gedung-gedung berjajar rapi. Menakjubkan.

“You like it,” dakwa Jaka.

Aku menggeleng, “I loooove it!” akuku antusias. Seperti orang luar daerah yang benar-benar norak. Seperti aku baru saja datang dari sebuah desa terpencil di tengah hutan Kalimantan sana. “Sumpah, you are pretty unbelievable, Jaka!”

Jaka tersenyum lebar. “Ini, Jakarta yang bukan sekadar hometown buat aku. Di sini, semuanya terjadi. Dari A sampai Z. Dari satu sampai enggak terhingga. Satu-satunya kota yang jadi favoritku selama tujuh belas tahun terakhir ini.”

“Favorit? Padahal banyak daerah di Indonesia yang jauh lebih bagus daripada Jakarta yang lebih sering dikenal kemacetannya,” balasku, mulai agak heran. Diam-diam, aku menerka juga apa yang akan dikatakannya. Seperti yang tadi kubilang, Jaka suka bicara yang tidak jelas, tidak berguna.

“Favorit, lah. Di sini kan, ada kamu. Jaka, Artha, Jakarta, kan.” katanya. Aku turut menerbitkan senyumku. “Tuhan enggak pernah salah nulis cerita. Di sini kamu sama aku ketemu, di sini juga kita selama ini bareng-bareng. Dan, kayak yang kamu selalu tau, aku harap, di sini juga kita bakalan berakhir. Bareng-bareng. Nanti, entah tujuh puluh tahun ke depan, atau kapanpun itu. Yang pasti, setelah keseriusan yang kamu minta itu, terwujud.”

Aku tidak tahu lagi harus bilang apa. Rasanya, aku ingin langsung melompat dan memeluknya. Tidak peduli dengan status kami yang sudah berganti menjadi mantan. Aku tetap ingin selalu bersamanya, seperti yang selalu Jaka inginkan juga.

Kuharap.

+ The End +

an: hella!
ih enggak kerasa, udah tamat, ha ha.

i dont know what to say. pokoknya, makasih. makasih yang udah baca, dari jakarta 1.0, 1.5, sampai tamat 2.0 ini.

yang suka vote, yang rajin komen. yang sering balas snapgran kansa tentang jaka dan artha, makasihhh❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro