13. Semakin menjauh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|
|
|

Happy reading~

Aku melirik ke arah lapangan voli. Teman-temanku sedang berlatih dengan semangat, tanpa diriku di tengah mereka. Dulu, lapangan ini adalah rumah keduaku. Tempat ku bersenang-senang melatih servis dan smash-ku, menghilangkan penat dan menghabiskan sisa waktu dengan hobiku. Namun, kini tak lagi begitu, aku hanya bisa menjadi penonton dari pinggir lapangan.

Aku merasakan atmosfer yang sudah lama kurindukan sejak nyaris sebulan tak menginjakkan kaki di lapangan. Ketika aku mendekati tepi lapangan itu sudah ramai oleh bola-bola voli melayang di udara, suara sepatu berderit di lantai, dan teriakan semangat dari tim. Aku hanya berdiri di sana melihat mereka dari kejauhan sambil tersenyum getir.

Aku ingin bergabung.

Aku ingin merasakan adrenaline bermain voli lagi.

Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Butuh waktu lama untuk sembuh, dan aku tidak tahu berapa lama lagi aku harus menunggu?

Melihat mereka berlatih tanpa aku, melihat mereka melanjutkan hidup tanpa kehadiranku di tim, rasanya seperti ditinggalkan. Semua nampak baik-baik saja, kecuali diriku yang masih terjebak dengan kesulitan.

Kekalahan kami di lomba terakhir masih menghantui pikiranku. Sebagai kapten, aku seharusnya memimpin timku lebih baik, tapi saat itu aku gagal. Cedera ini hanya menambah beban rasa bersalah yang sudah ku tanggung.

Bagaimana bisa aku menebus semuanya jika aku bahkan tidak bisa berdiri di lapangan?

Kulihat Pak Win berjalan mendekatiku. Aku tahu dia pasti menyadari betapa terpuruknya aku, tapi dia tidak mengatakan apa-apa tentang itu. Dia hanya menatap lapangan, lalu berkata dengan tenang. "Gieon, gimana kondisi mu?"

"Aku masih belum sembuh total, Pak," akuku terasa berat menerima kenyataan ini. Aku tetap menatap lurus ke depan tanpa menoleh ke arahnya, hal yang sama pun dilakukan pelatih ku.

"Aku tahu ini berat. Tapi kamu harus fokus pada dirimu sendiri agar benar-benar pulih."

Aku hanya mengangguk, meski dalam hati aku ingin berteriak. Waktu? Seberapa lama lagi? Aku merasa seperti sedang kehilangan segalanya, satu per satu meninggalkan ku.

"Kamu adalah kapten yang hebat." Pak Win melanjutkan terkesan memuji tapi di telinga ku terdengar seperti kata-kata bualan. Aku tahu, aku tak sehebat itu. Bagaimana bisa kapten hebat tapi nggak mampu bawa timnya menang!

"Aku nggak hebat, Pak. Aku pecundang."

Kulihat pria itu menggelengkan kepalanya sambil menatap ku. "Jangan merendahkan diri, Gieon. Kamu panutan bagi temanmu. Kamu kapten terbaik yang kita punya."

Senyum tipis menghias di sudut bibir ku. Tak tahu lagi bagaimana aku harus menyadarkan pelatihku soal omong kosongnya yang dibesarkan.

"Bapak minta maaf Gieon. Bapak harus mengatakan ini," ujarnya menarik napas dan mengembuskan perlahan. Sedangkan aku hanya pasrah menunggu kelanjutan ucapannya. "Tapi kondisi mu sekarang mengharuskan kita untuk membuat keputusan sulit. Jika cedera mu tidak segera pulih, kita tidak punya pilihan lain kecuali menggantikan status kaptenmu dengan orang lain untuk sementara waktu."

Aku menelan ludah, merasa ada gumpalan di tenggorokanku. Ini mungkin adalah kalimat yang paling tidak ingin kudengar. Kapten. Status itu adalah bagian dari identitasku, dan sekarang aku harus merelakannya. Aku benar-benar kehilangan harta paling berharga dalam hidupku.

"Tapi, Pak..." suaraku serak, hampir tidak keluar. "Aku masih ingin jadi bagian dari tim. Aku ingin kembali. Aku ingin berprestasi...setidaknya."

Aku kehilangan kalimat sesaat, detik itu juga Pak Win berusaha menenangkan ku, penuh pengertian. "Bapak tahu, Gieon. Dan Bapak yakin kamu akan kembali. Tapi untuk saat ini, fokuslah pada penyembuhanmu. Tim ini selalu membutuhkanmu, tapi mereka juga membutuhkan seorang kapten yang bisa memimpin mereka di lapangan setiap saat."

Aku merasa hampa. Kata-kata Pak Win barusan sangat masuk akal. Aku ingin egois dan menentang keputusan itu, tapi apakah semuanya akan lebih mudah diterima?

Sekali lagi, aku hanya bisa mengangguk dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Setelahnya kami berbicara sebentar tentang hal tak penting untuk mendukung ku. Aku sendiri tak dengar apalagi mengingat apa yang pelatih ku bilang sampai akhirnya pria itu pergi meninggalkanku untuk kembali mengawasi latihan.

Aku tidak bisa fokus sama sekali memikirkan nasibku ini. Di kepalaku hanya ada rasa kecewa sebesar gunung yang membuat dada ku sesak. Di saat aku sedang terpuruk begini, isi kepala ku justru teringat pada bayangan seseorang.

Rinda, sahabat ku yang mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan atau memang Rinda benar-benar tidak lagi menginginkan ku?

Aku ingin menemuinya dan bercerita segala keluh kesah ku seperti sediakala. Aku ingin Rinda tahu tentang kesulitan ku dan aku sangat berharap dia ada di samping ku, menemaniku. Tapi aku tidak tahu bagaimana bisa semuanya jadi seperti sekarang.

Aku tak pernah membayangkan bahwa jarak di antara kami bisa sejauh ini. Setelah sekian lama absen dari sekolah karena cedera engkel yang aku alami, aku kembali dengan harapan segalanya akan tetap sama-persahabatanku dengan Rinda, tempatku di tim voli, rutinitas yang familier. Namun, kenyataannya berbeda. Sangat berbeda.

Rinda yang kukenal, Rinda sahabatku kini justru terlihat ke mana-mana bersama Ersan. Hatiku serasa dicabik-cabik setiap kali melihat mereka bersama. Aku tahu aku tidak bisa bermain voli lagi untuk sementara waktu, tapi aku tidak pernah menyangka kalau hubunganku dengan Rinda akan ikut terganggu. Bahkan diambang kehancuran. Rasanya seperti semua yang pernah kami miliki kini tergelincir keluar dari genggamanku.

Sudah beberapa minggu ini aku mencoba menghubungi Rinda, tapi jawabannya selalu singkat, dingin, atau bahkan tidak ada sama sekali. Aku ingin kejelasan, tapi Rinda seperti semakin sulit diajak bicara. Pesanku yang terakhir bahkan tak berbalas. Rumor tentang persahabatan kami yang kandas mulai menyebar di sekolah, dan yang paling membuatku terpuruk adalah kenyataan bahwa Ersan kini seolah menggantikan posisiku di sisi Rinda.

Dari sekian banyak orang, mengapa harus Ersan?

Aku selalu tahu bahwa aku dan Ersan tidak pernah akur. Rinda juga tahu itu. Dia tahu betapa aku tidak pernah menyukai keberadaan Ersan, dengan segala sikapnya yang sombong dan penuh ego. Setiap kali aku melihat Rinda tersenyum kepadanya, atau mendengar mereka tertawa bersama dari kejauhan, hatiku serasa diperas. Bagaimana bisa Rinda tidak melihat ini? Bagaimana bisa dia tidak menyadari betapa perihnya ini buatku?

Sore itu aku terus melamun sambil memandangi teman-teman ku yang bermain bola voli. Aku tidak tahu berapa banyak waktu yang kubuang percuma karena meratapi nasib. Sampai akhirnya aku tersentak ketika Bima menegurku dan duduk di sampingku.

"Gi?"

"Lo--"

"Makanya bengong terus," sembur Bima seraya meneguk air mineral. Kontan aku menoleh ke sekitar. Rupanya sesi istirahat sedang berlangsung dan aku baru tersadar sekarang.

"Mikirin apa sih?"

"Gue pusing, Bim."

Bima belum membalas melainkan memerhatikan mimik muka ku yang masam.

"Gue tau masalah lo ruwet, Gue nggak bisa banyak bantu, Gi. Gue cuma bisa bilang good luck."

Sesimpel itu Bima mengutarakan isi hatinya. Aku tahu Bima bukan orang yang bisa berbasa-basi apalagi bermanis mulut demi menghiburku. Tapi kuakui tindakannya itu lebih dari cukup bagiku.

***

Siapa yang masih semangat buat lanjut baca?

Semangat diriku yang kehabisan amunisi #hiks
Tapi demi kata tamat mari bertahan sampai selesai dan terus nulis. Berhubung besok hari kemerdekaan, elaah gayanya, aku usahain buat Update dong!

Salam 🍉
MiHizky

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro