# tawaran manis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika menerima tawaran itu pikir baik-baik.
Diambil atau ditolak, terserah.
Asalkan ada alasan yang jelas.

🍂🍂🍂

Lalu-lalang mobil menjadi pemandangan yang sedari tadi Bani lihat. Ia memilih menunggu kedatangan putra kedua kelarga Hutama. Meski ada rasa ingin pergi, tetapi kakinya seperti terpaku.

Isi kepalanya juga turut mencegahnya untuk beranjak dari tempatnya. Ia memilih duduk di halte dekat minimarket. Tidak ada matahari pagi ini, hanya ada awan mendung yang bergumul di langit.

Beruntung sebelum keluar ia mengambil hoodie berwarna abu-abu tua. Tudung kepala sengaja ia kenakan supaya tidak menarik perhatian. Tidak sampai sepuluh menit, sebuah mobil berwarna kuning terang berhenti di hadapannya.

Mobil siapa, nih? Masa Pak Anton? batin Bani sambil berusaha melihat dengan jelas siapa lelaki di balik kemudi dan bergegas menuju pintu mobil.

"Masuk!" perintah lelaki dari balik kemudi. "Sudah lama? Maaf barusan harus berdebat dulu sama Mami karena saya melewatkan sarapan pagi bersama," ujarnya setelah Bani duduk di sampingnya.

"Mau sarapan apa? Saya pengin bubur. Kalau kamu?"

"Ikut saja, Pak."

"Jangan terbiasa ikut, tentukan apa yang kamu mau. Satu lagi, jangan panggil saya Pak. Kita ini seumuran."

"Sa-saya suka bubur ayam."

Meski dengan terbata-bata Bani mengucapkan apa yang ia suka. Bukan apa-apa, sebab selama ini ia memang cenderung ikut pada suara terbanyak atau keputusan yang ditetapkan. Padahal, ia sendiri punya keinginan, tapi harus ditahan.

"Nah, gitu. Berhenti di depan. Saya punya langganan yang jual bubur dan itu dijamin enak."

Tidak ada kata lagi yang mewarnai perjalanan mereka. Bani berpikir, mungkin keluarga Hutama memiliki tempat yang menjadi favorit untuk makan bubur sekeluarga. Ternyata dugaan itu meleset.

Mobil membawa mereka ke pelataran hotel bintang lima yang sangat terkenal. Nyali Bani langsung menciut ketika melihat bangunan megah di hadapannya. Ingin maju, tapi bagaimana jika ada relasi yang bermalam di hotel tersebut dan mengenalinya.

"Ke-kenapa di hotel? Kalau ada yang kenal dengan Pak Anton bagaimana? Apa ndak mengundang pertanyaan? Lagian tempatnya terlalu eksklusif."

Pak Anton menoleh dan melihat wajah cemas orang di sebelahnya. Ia mengangguk dan paham dengan apa yang dimaksud Bani.

"Lalu? Apa kamu punya tempat yang sekiranya lebih nyaman?" tanya Pak Anton.

Bani melirik ke arah jam di dashboard mobil. "Masih cukup, masih banyak waktu tersisa sebelum saya masuk. Kita ke arah alun-alun saja, Pak. Di pinggiran sana ada penjual bubur ayam yang saya jamin enak."

Tidak membuang kesempatan, akhirnya perjalanan dimulai lagi. Hotel bintang lima tadi ditinggalkan begitu saja dan pilihan jatuh pada lokasi pinggir jalan yang lumayan dipenuhi pembeli.

Mata Bani berbinar. Disamping perasaannya lega karena sarannya diambil, ia juga senang karena memang sudah lama ingin makan bubur, hanya saja ia tidak pernah memiliki waktu luang.

"Biar saya saja yang turun, Pak Anton tunggu di sini. Apa ada pesanan khusus untuk buburnya?"

"Tidak pakai seledri, tapi ekstra bawang goreng. Selebihnya saya percayakan sama kamu."

Tidak berapa lama Bani membawa dua mangkuk penuh berisi bubur dan aneka toping. Pak Anton terkesima melihat gundukan ayam suwir, bawang goreng, dan potongan cakwe dengan siraman kecap asih di atasnya. Lalu keduanya tenggelam dalam nikmatnya bubur ayam.

"Apa yang ada di pikiran kamu untuk perusahaan?" tanya Pak Anton tiba-tiba.

Hal itu membuat Bani yang sedang mengunyah bubur langsung tersedak. Pas betul saat itu buburnya sedang dicampur dengan sambal. Tahu bagaimana sensasinya? Pedih dan panas langsung menyapa hidung dan tenggorokannya.

Orang di hadapannya itu panik dan menyodorkan botol air mineral untuk Bani. Sambil sesekali menepuk punggung Bani.

"Kasih aba-aba dulu kalau mau ngomong, Pak."

"Sori. Lalu, bagaimana menurut kamu?"

"Kenapa Pak Anton berambisi untuk merebut perusahaan Pak Chiko?"

"Perusahaan dia lebih sukses dibanding punya saya. Kalau saya gantikan, tinggal meneruskan tanpa banyak usaha yang menguras keringat."

Bani mengangguk sambil memasukkan suapan terakhir dari bubur ayamnya. Ia lalu menandaskan air dalam botol. Selanjutnya, ia mengubah posisi duduknya dan menghadap langsung pada Pak Anton.

"Kalau bisa sukses juga, kenapa harus merebut? Kalau sama-sama besar kan bisa kolaborasi?"

Pak Anton memiringkan kepalanya mencoba memahami apa yang dimaksud oleh Bani. Meski tidak begitu jelas, ia paham bahwa setidaknya perusahaannya sendiri harus sama besarnya dengan perusahaan sang kakak.

"Ya sudah, kamu saya tarik sepenuhnya biar perusahaan saya seperti punya Chiko. Memangnya kamu tidak ingin penghasilanmu lebih besara? Saya terima setiap syarat kamu asal kesetiaanmu untuk saya."

Bani menghela napas. Ia tidak ingin menjadi manusia munafik yang merasa tidak butuh, tapi masih butuh. Namun, ia juga tidak ingin menjadi manusia munafik yang ingkar pada janjinya.

"CV. Tamafood bergerak di bidang makanan instan, gimana kalau punya Pak Anton di bagian khusus minuman saja. Nggak perlu bersaing sama kakak sendiri, justru saling melengkapi."

"Lanjutkan, Ban."

"Di minimarket banyak minuman instan tinggal campur es batu dengan berbagai rasa. Nah, kita ambil kesempatan untuk produksi masal dengan kemasan modern, tapi minumannya yang tradisional. Bir pletok, bandrek, wedang uwuh, itu kita buat siap saji."

Wajah Pak Anton berbinar, tampak sekali lelaki itu senang dengan ide yang disampaikan oleh Bani. Ia mengangguk beberapa kali seperti menemukan lampu bersinar di atas kepalanya.

"Oke, berapa saya harus membayar ide kamu ini? Sebut saja, Bani. Karena saya ingin minggu depan kita sudah eksekusi."

Wajah Bani langsung memucat mendengar ucapan dari Pak Anton. "Minimal riset dulu, Pak. Atau survei minuman apa saja yang akan kita jadikan produk."

"Kamu atur saja, Bani. Nanti saya siapkan tim yang sekiranya bisa kamu pimpin."

Semudah itu si bos dua ini menyetujui rencananya? Wah, ia tidak menyangka adik dari atasannya ini begitu mudah percaya. Padahal Bani hanya menganalisa secara dasar.

Apabila ada penjual makanan, maka setidaknya ada satu penjual penyedia minuman. Begitu prinsip yang Bani gunakan. Selain itu, hal ini juga bisa mengamankan posisinya karena dua perusahaan ini bergerak di bidang yang berbeda.

"Pak, saya hanya bisa bantu merancang apa saja proses yang harus dilalui, untuk eksekusinya ada baiknya Pak Anton dengan yang lainnya yang bergerak."

"Berapa kamu mau untuk proyek ini? Hitung saja perjam dan kirimkan pada saya berapa rincian yang harus saya keluarkan untuk kamu. Hanya kamu saja."

Bani meneguk ludahnya. Ia seperti kucing yang sedang dihadapkan dengan sekaleng tuna basah siap santap. Menggoda dan pastinya memuaskan perut yang tengah kelaparan.

Lelaki dua puluh empat tahun itu menggeleng. "Bukan nominal yang saya kejar, Pak, tapi seperti yang saya sampaikan tadi, ini hanya antara saya dan Pak Anton saja."

"Sebut saja, Bani."

"Terima kasih, saya pikirkan ulang mau lanjut atau tidak."

Bani turun dari mobil Pak Anton dan menyebrangi jalan. Ia memilih untuk memikirkan ulang sebab tidak ingin ada hal lain yang terjadi jika ia menetapkan berapa yang ia inginkan. Padahal, di balik itu semua hanya satu yang Bani inginkan. Kakak-beradik itu bisa berdamai dan bisa berjalan berdampingan juga saling melengkapi.

Apa aku sampaikan saja sama keduanya. Bukannya berjalan bersama itu jauh lebih indah daripada sendiri-sendiri? Bukannya berdampingan itu jauh lebih kekeluargaan daripada saling bersaing? Dasar manusia beruang, ada saja kelakuannya, batin Bani

🍂🍂 🍂

Day 11

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 14 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro