Toilet

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Ibu! Ibu!"

Isak tangis lelaki berpakaian necis di dalam toilet umum begitu meresahkan pengguna toilet lain yang tengah mengantre menunggu giliran. Lelaki itu terus saja menangis. Bahkan tisu toilet pun nyaris habis ia gunakan. Wajahnya begitu kusut. Matanya amat sembap dan rambut klimisnya kini nyaris tak berbentuk.

******

Sekitar dua jam sebelumnya. Lelaki itu tengah mengadakan rapat dengan pimpinan perusahaan sebagai ketua pelaksana proyek. Ia tidak bisa berkonsentrasi saat mempresentasikan program yang telah disusun oleh timnya di hadapan para pimpinan. Telepon terus menerus berdering dari dalam tasnya. Bahkan salah seorang pimpinan yang kesal segera menukas penampilannya.

"Kau ingin serius bekerja atau tidak? Matikan ponselmu atau kupecat sekarang juga!"

Lelaki itu memang sedang dalam puncak karirnya. Bermula dari karyawan kelas bawah yang kini menjadi seorang kepala proyek sebuah perusahaan besar dengan gaji yang terbilang lumayan. Ia segera mengangkat telepon genggam miliknya dan berbicara di luar ruang rapat.

"Maafkan saya, saya ada urusan mendadak. Presentasinya akan dilanjutkan nanti."

Lelaki itu segera mengangkat telepon lalu memaki penelpon dengan keras.

"Beraninya kau mengganggu presentasi pentingku? Apa kau tidak tahu aku sedang ada proyek besar?"

"Mamat, ini kakak Nuri. Mat, ibu menunggumu di rumah sakit. Sejak tadi ibu terus memanggil-manggil namamu. Kondisi ibu semakin kritis. Cepatlah datang, Mat."

"Kakak ini menggangguku saja!" Mamat mematikan paksa telepon genggamnya dengan penuh emosi. Ia tidak bisa konsentrasi saat melakukan presentasi. Sang kepala manajer terheran-heran. Kenapa Mamat tidak bisa menampilkan presentasi cemerlang seperti biasanya. Ia bahkan memanggil Mamat ke dalam ruangannya.

"Mamat, apa kau tahu tingkah lakumu tadi membuat pimpinan berpikir dua kali mengenai posisimu? Ada apa denganmu? Kenapa kau terlihat begitu kesal saat mempresentasikan proyek perusahaan?"

"Kakakku. Berkali-kali ia menelponku di saat rapat. Bagaimana aku bisa fokus jika telepon selalu berdering hampir setiap saat. Sudah kumatikan volumenya tetap saja terus berdering. Hal itu membuatku semakin gila. Terlebih lagi proyek ini akan menentukan nasib perusahaan ke depannya."

Mamat yang frustasi kembali ke meja kerjanya. Ia tak sengaja melirik ke arah sebuah pigura kotor di atas meja kerjanya. Sebuah foto keluarga tua yang sepertinya sudah lama tak ia sentuh. Ia kemudian menyalakan kembali telepon genggamnya.

Terdapat puluhan kali panggilan tak terjawab dan sebuah pesan yang baru saja diterima oleh Mamat. Tergelitik rasa penasaran akan pesan itu. Ia pikir pesan itu adalah peringatan dari pimpinan perusahaannya.

Kak Nuri

Mat, kau di mana? Sebentar lagi ibu akan dimakamkan. Cepat pulang.

Hatinya serasa dihujam oleh pedang ketika membacanya. Tangannya bergetar hingga telepon genggam di tangannya terjatuh. Ia lebih mementingkan rapat dibandingkan panggilan terakhir wanita yang telah melahirkannya. Hal itulah yang membuat Mamat begitu menyesal saat berada di dalam toilet umum.

"Ibu! Ibu! Ibu! Maafkan Mamat, Bu! Andai saja aku bisa melihat ibu untuk terakhir kalinya .... Maafkan Mamat, Bu!"

Sekitar lima belas menit Mamat berada di dalam toilet. Anehnya ia merasa heran. Tak terdengar lagi sayup-sayup teriakan pengguna toilet lain yang mengantre di dekat pintu. Mamat membuka pintu toilet perlahan. Seberkas cahaya menyilaukan mata menyambut dari balik pintu.

Alangkah terkejutnya Mamat ketika telah membuka pintu. Ia tidak berada di dalam toilet umum milik perusahaan. Ia kini berada di rumah sang ibunda tercinta. Sang ibu terlihat begitu santai merangkai bunga di halaman rumah.

"Mamat, kau sudah pulang? Bukankah hari ini kau akan kerja lembur?"

Suara lembut nan menghangatkan membuatnya terpana. Apakah ini delusi atau realita? Mustahil ia bisa bertemu sang ibu. Wanita tua di hadapannya kini telah terbaring lemah di peristirahatan terakhirnya. Sang ibu terlihat baik-baik saja. Sang ibu mengidap diabetes dan tubuhnya masih segar. Wanita itu bahkan masih bisa berjalan leluasa menuju dapur.

"Ibu, biar aku saja yang menuntun ibu ke sana."

"Mamat. Ibu bisa jalan sendiri. Apa Mamat pikir ibu harus terus bergantung padamu untuk berjalan? Nuri telah membelikan tongkat bantu untuk ibu. Kau duduk di sini saja. Pasti kau lelah bekerja seharian."

Sang ibu tahu persis apa kesukaan Mamat. Secangkir kopi instan dengan sedikit gula. Mamat memang sibuk dengan pekerjaannya. Bisa dibilang ia jarang pulang ke rumah karena sibuk dengan proyek.

"Ibu. Aku sudah terlalu banyak minum kopi kemarin."

"Mamat. Ibu tahu kau lelah. Mengawasi pekerjaan anak buahmu selama proyek itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Ya sudah jika tidak mau kopi. Istirahat sana. Kau terlihat kurang istirahat. Rasanya ibu tidak melihat Mamat yang ibu kenal."

Mamat berjalan menuju kamarnya yang berada di bagian belakang rumah. Kamarnya masih rapi dan sedikit berdebu. Tak sengaja matanya tertuju pada kalender di dinding. Sebuah tanda merah dari spidol tertera pada kalender. Bertuliskan "3 hari menuju presentasi" dengan tulisan berantakan.

"Jadi, ini bukan mimpi? Aku kembali ke masa lalu karena ... ibu? Hari ini seharusnya aku berada di kantor untuk membahas rencana proyek."

Di saat Mamat kebingungan lalu merebahkan diri di atas ranjang, sang ibu datang dengan membawakan makanan ke dalam kamar. Sepiring rendang dan tumis kangkung kesukaannya.

"Ibu!"

"Tidur saja yang enak, Nak," jari jemari wanita tua itu memijati kaki kurus Mamat. Mamat merasa tersentuh dengan pijatan sederhana dari sang ibu. Sudah lama sekali ia tidak dipijati ibunya. Terakhir kali ia dipijat pun saat ia sedang mengerjakan skripsi dulu. Mata cekungnya tak kuasa menahan rasa tangis.

"Mamat? Apa kakimu sakit? Apa perlu ibu panggilkan kakakmu kemari?"

"Tidak usah, Bu," Mamat mengusap air matanya perlahan. "Kak Nuri pastilah sedang sibuk di rumah sakit. Lagipula badanku memang pegal. Istirahat saja sudah cukup."

Sang ibu kemudian menyuapi sesendok nasi rendang ke mulutnya. Mamat terlihat bingung.

"Makanlah. Ibu akan menyuapimu hingga selesai. Ibu khawatir dengan kesehatan Mamat. Apalagi kau hampir setiap hari berada di kantor. Kau juga hampir tidak ada waktu untuk istirahat."

Memori masa kecilnya seakan terpanggil kembali saat itu juga. Ibu Mamat adalah wanita yang tegar. Selama bertahun-tahun hidup sebagai janda seorang tentara yang gugur di medan perang. Ia tak pernah terlihat bersedih atau mengeluh sedikit pun. Terlebih lagi soal Mamat. Berbeda dengan kakaknya, Mamat tergolong mudah sakit. Kelelahan sedikit saja bisa membuatnya demam. Salah makan pun bisa membuatnya terbaring lemah. Sang ibu sehari-hari menjaga dan menemani Mamat yang hampir setiap hari menghabiskan waktu di kamarnya. Pernah suatu ketika Mamat terbangun di tengah malam dan ingin pipis. Ia tak sengaja melihat sang ibu tertidur di dekatnya. Mamat kecil segera menyelimuti sang ibu yang amat kelelahan. Karena kondisi fisiknya, bisa dibilang Mamat adalah anak kesayangan.

Mungkin rendang yang ia makan saat itu adalah rendang terakhir yang dibuat oleh sang ibu dengan penuh cinta. Tanpa sadar Mamat kembali menitikkan air mata.

"Mamat? Apa rendang buatan ibu tidak enak? Kenapa, Nak?" Mamat segera merangkul wanita tua di hadapannya.

"Ibu. Maafkan Mamat, Bu. Mamat selama ini belum bisa membahagiakan ibu."

Wanita tua itu menaruh piring lalu membelainya lembut.

"Mamat. Sudah cukup ibu melihatmu wisuda dan bekerja bisa membuat hati ibu bahagia. Kau tidak usah pikirkan apapun lagi mengenai ibu. Ibu bangga denganmu, Nak. Sudah. Jangan menangis lagi. Dimakan rendangnya. Bukankah kau akan lembur semalaman nanti?"

Mamat tak bisa berkata-kata ketika disuapi. Piring telah bersih. Wanita tua itu kemudian mengelap sisa rendang di bibirnya.

"Anak ibu ini kepala proyek tapi kenapa masih seperti anak kecil? Masih belepotan. Apa kau tidak malu dengan anak buahmu nanti?" Mamat tersenyum.

"Ibu, terima kasih. Jika ibu tidak mengingatkan mungkin aku akan terus seperti itu hingga ke kantor."

Senyuman tulus merekah di wajah keriputnya. Begitu lepas dan sangat bahagia.

"Ibu, aku pamit dulu ya. Doakan aku agar sukses."

"Lho? Kau mau pergi lagi?" Mamat memberi salam pada ibunda tercinta. "Hati-hati di sana. Jangan telat makan."

"Iya, Bu!"

Mamat berjalan menuju ke luar rumah. Ia kemudian merasa ada seseorang berwajah kusut berjalan menuju ke halaman. Itu adalah dirinya di masa lalu. Dirinya yang amat kelelahan setelah bekerja di kantor. Mamat segera pergi ke dalam kamar mandi untuk bersembunyi. Ia mendengar sang ibu tengah berbicara dengan dirinya dari masa lalu.

"Mamat? Bukankah tadi kau bilang kau akan pergi bekerja?"

"Pergi? Aku baru saja pulang. Sudahlah, Bu. Aku tidur saja di kamar. Aku akan kembali ke kantor malam nanti."

Setelah itu, tak ada lagi sayup-sayup suara percakapan atau perabot rumah di sekitarnya. Mamat membuka pintu kamar mandi perlahan. Ia kembali berada di dalam kamar mandi perusahaan, dengan segala caci maki dari pengguna toilet yang lain.

"Lama sekali kau ini! Apa kau ini tidur di toilet?" bentak seorang lelaki gendut bersuara keras di depannya.

"Maaf, Pak. Aku minta maaf."

Kemudian Mamat pergi menuju ruangannya.

******

Pemakaman umum yang tidak jauh dari rumahnya, kala sore menjelang. Mamat membawa seikat bunga mawar yang ditaruh di atas pusara sang ibunda. Ia kemudian berdoa di samping pusara.

"Ibu, terima kasih atas segala perhatianmu. Kasihmu takkan kulupa hingga saat ini. Maafkan Mamat yang telah menyakiti hati ibu. Maafkan Mamat yang tidak hadir di saat-saat terakhir bersama ibu. Semoga aku dan kak Nuri bisa bertemu dengan ayah dan ibu di Surga sana. Amin."

Mamat tidak sadar jika kakaknya sedang berjalan menuju makam.

"Mamat? Kupikir kau takkan datang," ucap Nuri bernada kaget.

"Maafkan aku tadi, Kak. Aku sedang tertekan. Saat kakak menelpon, aku sedang melakukan presentasi di hadapan pimpinan perusahaan."

"Sudah kuduga. Aku tahu dari nada bicaramu tadi di telepon. Sebelum meninggal, ibu berpesan padaku untuk menitipkan ini padamu. Jangan kau pikir ini adalah surat wasiat. Surat ini dibuat oleh ibu karena ibu tahu kau pasti takkan datang."

Mamat kemudian membuka amplop yang telah diberikan oleh Nuri kepadanya.

Mamat tersayang,

Ibu sangat senang memiliki anak-anak sepertimu dan kakakmu. Kalian tumbuh dewasa dan sukses. Ibu hanya wanita tua renta yang sakit-sakitan, tetapi kalian begitu sabar merawat ibu.

Mamat, ibu merasakan ada hal yang aneh sekitar tiga hari yang lalu. Ibu seakan melihatmu begitu sedih. Ibu tahu saat ibu menyuapimu. Kau tak bisa berhenti menitikkan air mata. Ibu tidak tahu kenapa. Kenapa kau begitu aneh saat itu? Setelah itu kau kembali seperti dirimu yang baru pulang bekerja. Ah, mungkin itu perasaan ibu saja.

Mamat, jaga kakakmu baik-baik selama suaminya berada di luar negeri. Kau harus segera menikah. Buat apa kau sukses dalam pekerjaan tapi kau selalu sendirian? Lagipula ibu takkan bisa menemanimu untuk selamanya. Jaga kesehatan dirimu, Nak.

Ibu sengaja buatkan rendang untukmu di dapur. Kau pasti lapar setelah bekerja. Ibu sengaja membuatkan itu sebagai rasa syukur karena keberhasilan proyekmu. Jangan lupa olahraga, ibadah, dan istirahat yang cukup, Nak.

Salam cinta,

Ibu

Semilir angin berhembus dari arah barat, menggoyangkan dedaunan di pohon seakan-akan berbisik. Hembusan lembut menerpa tubuh Mamat yang tersenyum lega.

"Ibu, terima kasih atas segala perhatian dan pengorbananmu selama ini. Aku akan memenuhi setiap keinginan ibu yang belum terwujudkan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro