Arc 1-2: Ekosistem Sawah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cristopher benar-benar tahu cara membuat orang lain penasaran. Mau tak mau, aku harus membuat pria itu buka mulut secara terang-terangan mengenai persoalan ini. Karena bila tidak, aku akan menjadi anak bawang lagi yang tak tahu apa pun selain harus menunggu tindakan serta instruksi darinya. Ya, Cris sama sekali tidak menjelaskan misi apa yang akan kami kerjakan!

"Cris, ayolah! Setidaknya beri tahu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Aku memprotes dengan sedikit desakan. Kutatap wajahnya yang tak lepas terus fokus ke depan. Selagi para kesatria lain berjalan di belakang, aku harus terus berusaha membuatnya buka mulut.

Cris menghela napas kasar dan terdengar "huh" nan panjang dari bibirnya. Raut muka agak gondok melengkapi jawaban yang ia eja kata demi kata:

"Kita-akan-menyewa-kereta-kuda-!"

Aku mengerjap. "Mau ke mana kita?"

Memejam mata, Cris melangkah lebih cepat dalam upaya untuk meninggalkanku di belakang.

"Cris!!!" Kukejar ia dengan gelisah bercampur kesal.

Kami berenam sampai pada salah satu sudut pedesaan, tempat kerumunan warga berbondong-bondong keluar masuk untuk melangsungkan kegiatan jual beli mereka. Berbagai barang serta bahan pokok ditata pada setiap lapak untuk ditawarkan kepada orang-orang yang hilir mudik. Cris menuju pada salah satu gang ditemukannya banyak kereta kuda nang ia maksud.

Barisan kereta kuda terparkir pada sisi kanan dan kiri dengan rapi, walaupun ada beberapa posisi yang cukup tak tertata pada sebagian tempat. Baik pria maupun wanita menjadi pemilik dari kereta-kereta yang siap untuk disewa itu. Segenap operasi transaksi pun berlangsung di sana.

Cris melakukan lirikan secara hati-hati, mengamati satu per satu orang sekaligus kereta kudanya. Cris mengincar pedagang dengan cermat lagi selektif. Sepertinya ia tahu cara memilih yang baik dan benar. Keputusan Cris berakhir pada seorang pria paruh baya yang berbadan agak sintal serta memakai baret. Pilihannya ini pasti tepat!

Lihatlah betapa sopannya ia menghampiri pria berkulit sawo matang itu. "Permisi, berapa harga sewa kereta ini?"

Namun, Cris dimasabodohkan olehnya.

"Ada yang bisa ane bantu, Aa?" Pria tersebut memandangku.

Aku terkesiap. Logat daerah Selatan yang jauh?!

"Sa-Pria ini ingin menyewa kereta kuda Bapak." Aku melirik Cris-yang menatap pria berlogat itu tak senang-untuk memaksudkan ucapanku.

"Ah, kereta kuda ini harga sewanya cukup mahal, Aa! Ane merawatnya sudah lama! Kualitasnya bagus kali ini! Lihatlah tidak ada kecacatan-"

Ucapannya terhenti kala aku bersama kesatria lainnya tertegun.

Pria gempal tersebut segera menyadari sesuatu, kemudian memohon ampun serta berucap maaf sebelum lanjut berkata, tetapi malah didahului Cris.

"Kalau harganya mahal begitu, memangnya berapa nominalnya?" Cris memasang tampang congkak, tangan pula ia silangkan depan dada.

"Ha-harganya tiga ratus ribu koin emas...!" jawab sang pedagang.

Pria itu memandangiku lagi.

"Y-ya!" Aku seperti orang bodoh.

Si pria mengernyit dahi. " 'Ya'?"

"Tiga ratus ribu? Mahal sekali untuk ukuran kuda biasa ini. Tau saja, ya, harga segitu hanya untuk kuda kelas atas yang dipakai oleh bangsawan kerajaan. Kuda seperti ini tidak pantas dihargai semahal itu!"

Pria tadi terus saja memandangiku.

"Seperti itu, Pak!" Sepertinya memang aku orang bodoh.

Cris menghendaki pembicaraannya ditanggapi agar kami mendapat titik temu dalam kesepakatan tawar-menawar ini, tetapi sang pedagang tampak tahu gelagat Cris dan lebih memilih bernegosiasi denganku yang terlihat sangat gampang diperdaya. Aku benar-benar bodoh! Kulirik Cris nan memelototi si pedagang seolah hendak membunuhnya.

Salah satu kesatria menepuk pundakku. Aku menoleh dan kulihat si pemilik tangan yang memegang bahuku itu merupakan kesatria pria. Tampaknya dia telah berusia setengah umur. Wajahnya berkeriput serta kantung netra berlapis. Namun, mata sang kesatria menatapku penuh keyakinan.

"Ketua Marjan, urusan menjadi lebih mudah jika kita menggunakan kereta kuda yang baik. Bagaimana pendapat Ketua?"

***

"Lewat sini."

Entah apa yang pria itu mau. Namun, satu hal yang kutahu ialah dia hendak mengantar kami menuju suatu tempat. Cris sudah menenangkan dirinya dari sikap si pedagang tadi, setelah pedagang itu tak berkutik ditinggal dengan tangan hampa.

Barang belanjaan berupa stok makanan dan keperluan lainnya ditenteng oleh para kesatria, sedangkan aku dan Cris dibiarkan tak membawa apa-apa. Si kesatria pria memimpin jalan menuju tempat yang dia ingin kami datangi.

Kami sampai di depan bangunan megah berupa rumah luas ditambah hipodrom yang menyatu di sisi kanannya. Terpampang tulisan timbul "SHELLY" besar dan "istal" di atas yang lebih kecil, dicetak pada papan raksasa yang dipasang pada bagian atas bangunan. Para petugas lalu-lalang membawa barang-barang masuk dan keluar hipodrom, seperti kotak kayu, jerami, karung, dan sebagainya.

Seorang gadis muda berambut poni berjongkok dekat sebuah gerobak beserta suatu benda yang bertalian dengannya, tersalut oleh kain polos besar. Ketika kami menghampirinya, gadis berpakaian bak koboi tersebut menoleh, kemudian bangkit dan menatap salah satu dari kami-si kesatria pria paruh baya.

"Akhirnya para kesatria datang." Dia berjalan mendekati sesuatu yang dibungkus kain. "Aku sudah menyiapkan kereta yang akan kesatria gunakan, Kakak."

Aku berkejap, terkaget. Heh?

Kesatria pria-yang merupakan sang kakak-hanya bergeming, lalu menimpali, "Seperti yang dikatakan adikku, kita akan menggunakan kereta milik keluarga kami."

Si adik, gadis muda nan ramping, mendekati kereta dan mengelus pelan salah satu rodanya.

Aku mengerling gadis itu yang mulai bicara. "Kereta ini memiliki keunggulan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain."

Aku mencerling kepada kakak si gadis itu. "Kalian pasti sudah tau tentang Profesor dari Kota, bukan?" tanya kesatria pria.

Aku menjuling ke arah papan di bagian atas rumah.

" -Penemuannya membuat usaha Istal Shelly menjadi berkembang pesat."

Aku menjeling ke kesatria pria lagi.

"-Orang-orang mulai mengikuti metode kami...."

Mataku mengambal kereta kuda di depan.

"... dan akhirnya kini menjadi hal yang paling umum di daerah ini."

Aku melirik kembali kesatria pria yang menyudahi perkataannya.

Si adik berjalan menyejajari kakaknya, berkata, "Kuda yang akan para kesatria naiki berbeda dengan kuda yang kami miliki selama ini. Aku dan beberapa pekerja lain memberikan semacam pengaturan baru supaya performanya jauh lebih baik dari sebelumnya."

Para kesatria yang awalnya menyimak maupun mengawasi sekitar, secara mendadak menoleh ke arah gadis tersebut. Mereka menantinya, menanti lanjutan dari perkataan si gadis. Mulut gadis itu akhirnya membuka dan berucap:

"Kuda yang cacat adalah kuda terbaik untuk bepergian."

Suasana hening seketika.

Memang benar apa kata gadis itu. Kuda nan cacat merupakan kuda yang paling cepat larinya dan paling banyak stamina. Bagaikan pohon, apabila dipangkas dahan yang tak diperlukan, maka buah yang dihasilkan akan lebih berkualitas. Begitu pun dengan kuda, apabila dipotong bagian tubuh yang tidak diperlukan, maka kuda yang dimiliki akan lebih berkualitas. Aku juga menyadari bahwa perlakuan semacam telah diberikan pada sejumlah kuda nang kujumpai sebelumnya di gang pasar.

Gagasan kuda cacat ini diciptakan oleh ilmuwan dari Kota, yang termasuk keluarga dari pemilik usaha kereta kuda di hadapanku.

Akan tetapi, lalu apa maksud dari pernyataan pedagang sebelumnya, "Kuda tanpa cacat memiliki kualitas bagus"? Anggapan kuno semacam itu bukankah sudah lama ditinggalkan?

Si adik menatap mantap para kesatria, lalu berjalan menuju sesuatu yang terselubung kain putih. "Ini adalah," gadis itu meraih kain tersebut dan menariknya, "kuda yang akan menarik kereta para kesatria."

Terdengar suara kuda yang meringkik dari situ. Adalah sebuah mimpi bila hal ini benar-benar sebuah kenyataan. Kuda itu tak memiliki kepala. Kepalanya terpancung, hanya disisakan otak merah muda serta tulang leher-yang menyambung dari bagian otak menuju tulang belakang. Bekas pancungan tersebut terlihat rapi, macam dipotong secara cermat. Rambut punggung dicukur habis dan ekornya dicabut lalu dibuang. Seluruh kulit si kuda seperti diampelas suntuk sebab tampak lapisan daging berwarna kemerahan pada sekujur tubuh.

Aku merasa bahwa ini sudah kelewatan. Hewan itu meringkih lagi. Entah dari mana suaranya, tetapi sangat jelas terdengar di telingaku.

"Bagaimana kuda itu bisa bersuara?" tanyaku, setelah mengenyahkan segala rasa tak enak.

"Pita suaranya. Pita suaranya bergetar, menghasilkan suara, lalu disalurkan keluar melalui saluran pernapasan hingga bisa terdengar oleh telinga kita. Seperti itu," jawab si gadis.

Kesatria pria paruh baya menaiki kursi depan, memasang sejumlah perlengkapan kemudian bersiap diri. Para kesatria lain mengikuti, naik memasuki gerobak. Mereka memuat barang-barang, berikutnya memasang kanopi yang membuat keadaan di dalam tak terlihat dari luar.

Aku menyusul kesatria-kesatria itu. Namun, aku berbalik terlebih dahulu. "Ayo naik, Cris." Akan tetapi, orang yang kucari tiada di belakangku.

Aku agak terkejut, kemudian kembali menghadap depan. Rupanya Cris ada di sana, sedang berusaha naik kereta. Ia melihat-lihat dahulu keadaan dalam, lalu akhirnya masuk.

Setelah kami berlima telah naik dan kesatria pria bersiap memegang cemeti, si gadis berdiri di belakang kereta, menghadap kami. Dia menundukkan kepala, mengucapkan beberapa salam serta doa.

"Semoga diberikan keberkatan. Semoga keuntungan berpihak. Semoga kalian berlima kembali dengan selamat."

Sang kusir mencambukkan cemetinya.

***

Suasana perjalanan terasa damai dan syahdu. Sepoi-sepoi nan lembut juga nyanyian dari serangga mengiringi kami. Kereta berkanopi ini ditarik oleh kuda modifikasi nan mungkin terasa ngeri bagi orang awam. Hewan yang hanya memiliki otak, dan otaknya itu terhubung ke badan, dan badannya bahkan telah dikuliti!

Di dalam kereta nan gelap, lima orang bersesak-sesak di antara tumpukan barang. Sementara itu, kesatria pria paruh baya menjadi sais. Aku, Cris, dan tiga kesatria lain berdiam diri, menanti perjalanan ini berakhir.

"Perjalanan ini diperkirakan akan berlangsung selama sehari semalam," begitulah kata kusir.

Mentari mencorong terik, bercokol di atas kepala. Langit biru cerah, tumbuhan hijau merimbun. Lambat laun, matahari mulai turun. Angkasa berangsur-angsur serona lembayung.

Rasa kantuk menyerangku. Cris menyuruh untuk istirahat terlebih dahulu. Maka, aku mengambil posisi berbaring yang nyaman di dalam gerobak, kemudian perlahan menutup mata.

Sang surya masih berhak untuk bertengger.

###

Tengah hari berangin ribut menjelma sebagai spektakor insan-insan pada suatu padang rumput. Entahlah, hanya ada aku, dan seorang pemuda lain. Pria asing nang beroman tak kuketahui ada di ambang kami. Retinaku belaka terefleksikan oret-oretan nan mengasak parasnya. Semata wayang identitas nang kukenali ialah sekadar pakaian anehnya-tersablon gambar eksentrik yang menurutku lebih seiras karikatur.

Aku dan pemuda itu berlari berdampingan, tetapi sesungguhnya hanya bergantian. Ya, aku ingat apa yang terjadi pada saat itu. Tes masuk...? Siapa pria di muka kami? Apa sebenarnya kejadian tersebut? Aku terlupa lagi.

Aku mengingatnya kembali. Pemuda itu yakni Cris. Cris masih muda. Bagaimana denganku? Tidak, ingatlah lagi...! Cris menyerahkan tongkat merah. Apakah itu...? Aku menyambut benda tersebut. Kujabat tongkat merah sementara aku terus berlari. Ya, berlari. Kami berdua berlari ... memutar. Bentuk lintasan ialah lingkaran. Aku dan Cris bolak-balik, terus begitu.

Aku di salah satu titik, menghampiri Cris. Cris menerima tongkatku. Ia berlari lagi, memutari lintasan. Sampai padaku, tongkat pun diberikan. Aku bergantian lari, menyusuri lingkaran. Kugapai Cris, tetapi gagal. Pria berwajah penuh corek seketika menghalangi jalurku. Dia menghentikan kami.

Aku ingat. Pria itu adalah ketua kami. Ketua di mana? Aku lupa. Pria itu memimpin tes kami. Tes untuk apa? Aku ingat. Tes masuk. Aku ingat lagi. Geng Alpha Besar. Ya, aku kini mengetahui semuanya.

Aku dan Cris adalah anggota baru Geng Alpha Besar.

"Kalian berdua akan bermain lari estafet dalam tes masuk ini. Penilaiannya sangat bergantung pada kerja sama dan semangat kalian. Aku berharap banyak pada kalian, Marjan dan Cris! Hihi!"

Perkataan itu diakhiri dengan tawa kecil yang dibuat-buat. Namun, entah mengapa? Tawa tersebut justru menjadi penanda akan hadirnya mimpi buruk bagiku.

Sleman, 14 Agustus 2019

±1790 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro