Arc 2-1: Cekaman Lingkungan: Salinitas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 15: Cekaman Salinitas

Cris PoV

Note: bab ini berisi drama organisasi

Ketua= Marjan

###

Ini adalah ruang kerja para kesatria yang tergabung dalam party bernama Geng Beta Besar. Tahukah apa itu party? Party merujuk pada kumpulan orang-orang berjumlah lebih dari dua, dengan adanya pemimpin, yang menjalankan misi bersama-sama. Perkumpulannya bersifat temporer. Meski demikian, para anggota mesti sering menjalin kerja sama juga rasa kekeluargaan. Ngomong-ngomong, Ketua sering menyebut ruang kerja ini sebagai "ruang tempat berkumpul". Istilah yang sama seperti yang digunakan ketua sebelumnya.

Di tempat nang lega berlantai ubin cokelat ini, cahaya surya masuk melalui jendela dan pintu. Meja lagi kursi tersusun rapi, papan tulis terpampang di depan, barangkali mengingatkan akan tatanan ruang kelas.

Di sini kami biasa berkumpul-seperti namanya-sebelum melaksanakan tugas request misi atau untuk menjalankan piket. Jarang sekali kami mengadakan rapat seperti sekarang ini. Rapat paripurna.

Perkenalkan para anggota Geng Beta Besar. Ada wanita cantik yang agak tomboi. Tubuhnya lumayan tinggi. Surai biru gelap dikepang memanjang sampai punggung. Dia adalah kesatria tipe petarung. Perhatikan pedang tajam yang terpasang di pinggangnya.

Satu lagi perempuan muda yang juga cantik, tetapi berkepribadian pemalu. Dia jauh lebih pendek, mungkin setinggi dada wanita tadi. Rambut perempuan itu bermodel poni, warnanya merah. Dia merupakan kesatria tipe witch, bisa menggunakan sihir. Tengoklah tongkat kayu yang dibawa dan topi model penyihir yang dikenakan.

Selain itu, ada laki-laki tinggi, bertubuh proporsional. Matanya agak sipit. Rona surai si laki-laki yakni cokelat, sama seperti netranya. Dia adalah tipe petarung, terlihat dari pedang yang tersarung di pinggang.

Nama mereka berturut-turut ialah-

"Baiklah, karena waktu sudah menunjukkan jam yang ditentukan, mari kita mulai diskusinya!"

Ketua telah berseru untuk memulai rapat. Dia berdiri di depan tengah, sementara aku di pojokan untuk mengawasi. Ketua sebenarnya masih terbilang muda, bisa jadi berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuh tinggi pemuda itu tegap bak dilatih dengan baik. Baju zirah tampak pas dipakainya. Senjata pedang besar tersandar di meja dekat Ketua.

Rupanya tiga anggota lain telah berunding sendiri di bangku masing-masing. Mereka tampak serius, sibuk membahas sesuatu.

"Apa yang kalian tunggu? Ayo mulai diskusinya!"

Kesatria wanita petarung menatap intens si Ketua. "Ketua, kami sudah memutuskan."

Ketua tampak heran. "Eh? Memutuskan apa?"

Pandangan ketiga kesatria terarah lurus kepada Ketua. Serempak, mereka menjawab, "Kami bertiga menyatakan keluar dari party Geng Beta Besar."

Ketua pun bergeming. Terpegun, dia laksana orang kebingungan. Kedua lengan diam di samping badan. Netra si pemuda tak berkedip. Entah mau bagaimana dia bereaksi, tetapi kata yang keluar dari mulutnya ialah:

"Kenapa?"

Tanggapan tersebut tampaknya tidak memuaskan para kesatria. Mau dibilang bagaimana? Nadanya tidak menunjukkan keterkejutan maupun kewibawaan, melainkan lebih tepat sebagai seseorang yang tanpeduli.

(tan- = (bentuk terikat) tak, tidak)

Kesatria wanita menggeram tak senang, kesatria perempuan menyembunyikan kepala di balik topi penyihirnya, sedangkan kesatria lelaki mengertak gigi.

Sang wanita pun memukul meja. "Ketua-"

Namun, tiba-tiba kedatangan orang lain membuat aksinya terurungkan. Sepasang pria-wanita paruh baya berada di luar, dekat ambang pintu. Yang pria, gempal, berkumis tebal. Yang wanita, bangsai, bermimik nanar.

Wanita paruh baya itu berteriak dari luar, "Apa yang kau lakukan? Ayo, cepat pergi dari sini!" Seruannya mengarah kepada satu dari tiga kesatria yang duduk berjejer.

"Ba-baik!"

Kesatria perempuan segera berdiri kikuk, menggenggam tongkat kayunya. Kesatria lain yang duduk di kiri dan kanan tak ayal terperanjat. Si penyihir muda langsung berlari terbirit-birit menghampiri wanita dan pria tua di pintu. Ketiga orang itu lalu berjalan pergi, meninggalkan ruangan berikut orang-orang yang terheran menyaksikan mereka.

Kesatria wanita menggeram lagi, kali ini raut mukanya kesal benar. "Tahu tidak, Ketua? Ketua sangat menyebalkan. Tadi Ketua menanyakan kenapa kami keluar 'kan? Baiklah, akan kujawab...."

Dia menghela napas dalam-dalam.

"Aku keluar karena tidak suka dengan sikap ketua party ini. Ketuanya tidak tegas, tidak berwibawa, tidak bijaksana, tidak tanggap, tidak berkarisma, tidak jelas, pokoknya segala tidak! Ketua tidak bisa membimbing kami ke jalan yang benar, tidak bisa mengarahkan kami, tidak bisa memberikan fasilitas untuk mengasah kemampuan kami. Ketua adalah ketua paling buruk di dunia ini!"

Perkataan menggebu-gebu itu terlontar begitu saja dari mulut si wanita yang merah padam wajahnya. Kesatria lelaki pula menatap Ketua dengan tak ria.

"Lihat, Meta saja sampai keluar karena orang tuanya tidak setuju dia kerja di tempat yang tidak jelas begini! Skill top witch-nya hanya sia-sia jika terus berada di sini!

"Selain itu, aku sangat menyayangkan tentang Pak Pungi. Selama ini beliaulah yang menyemangati kami supaya tetap bertahan di sini. Tapi, beliau malah meninggalkan kami lebih dulu. Yah, yang namanya manusia pasti ada batasnya. Dan, ini semua memang sudah melewati batas wajarku."

Ketua mencoba bersabar, walau terlihat memaksakan diri. Dengan hati-hati, dia menanggapi, "Lalu, itu sajakah? Sudah cukup?"

"Sepertinya cukup. Oh, satu lagi. Tapi, Ketua pasti tidak tahu ini."

Si wanita bersurai biru menjulurkan kepala, bola matanya seakan-akan membesar guna mengintimidasi Ketua.

"Ketua Marjan pasti tidak tahu namaku?" Senyap, tanada jawaban. "Hayo, coba tebak! Siapa namaku?"

Ketua tidak bisa menjawabnya. Peluh menghiasi dahi serta pelipis.

"Tuh, kan! Nama bawahannya saja tidak tahu! Ketua macam apa kamu ini." Si wanita melipat tangan di dada, mengisap udara malas, laksana sudah bodoh amat dengan semua ini.

Ketua mengejam mata, menghirup napas perlahan. Manik netranya kemudian terpaku kepada kesatria laki-laki.

Kesatria lelaki di samping wanita tadi membenarkan posisi duduk. Badan ditegakkan, mengerjap sekali, lalu dia membuka cerita.

"Sekarang giliran aku yang memberikan alasan, ya? Bagaimana bilangnya, ya? Sebenarnya aku biasa-biasa saja bekerja di sini. Meski memiliki Ketua yang aneh pun, aku bisa menahannya. Bahkan meski ketuanya tak tahu nama bawahannya dan tak bisa membedakan bawahannya pun, aku bisa menahannya. Selama ini aku bisa menahan Ketua yang membiarkan bawahannya bekerja sendiri, yang tak tahu harus melakukan apa, tak tahu arah. Bahkan Juny sampai mengatakan 'menangis darah' atas usaha kami para bawahan guna berjuang menyelesaikan segala masalah yang tidak masuk akal yang anehnya ketuanya sendiri yang menyebabkannya. Aku bisa menahan semua itu.

"Tapi, segalanya berubah saat hari itu. Saat Ketua datang menanyakan tentang Pak Pungi. Ketua tidak tahu alasan Pak Pungi keluar dari party, tidak tahu alamat Pak Pungi sehingga aku harus bertanya sana-sini. Syukur Ketua bisa sampai. Tapi! Rumornya sudah menyebar sejak pemakaman Pak Pungi kemarin.

"Ini semua salah Ketua! Ketua malah membiarkan Pak Pungi mati! Kenapa Ketua tidak menghentikannya! Kasihan beliau sudah berumur, menikah tua, tapi anaknya masih kecil begitu. Kasihan juga istrinya! Tega sekali Ketua membiarkan Pak Pungi mati. Ketua seharusnya menghentikannya. Ketua yang berada di depan Pak Pungi di saat-saat terakhirnya, seharusnya bisa menghentikannya! Ketua adalah orang yang terburuk yang pernah kuketahui!"

Laki-laki tersebut kemudian mengatur pernapasan yang bergejolak akibat hormon adrenalin nang mengalir pada peredaran darah.

Ketua mencoba bersikap lapang dada, menghirup napas kuat. Dia menenangkan diri dahulu. "Baiklah, aku sudah mendengar alasan kalian keluar. Pertama, sebagai ketua kalian, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Aku meminta maaf telah menelantarkan kalian, tidak memperhatikan kalian, tidak mengayomi kalian. Aku juga meminta maaf karena telah membiarkan Pak Pungi mati di depan mataku sendiri. Kalian telah kehilangan sosok panutan kalian. Pasti sangat berat, ya.

"Kedua, aku menerima alasan kalian dan memberikan izin kepada kalian untuk keluar dari Geng Beta Besar. Ini adalah pilihan ... dan kalian telah memilihnya. Tolong beri tahu si kesatria satunya yang keluar tadi. Jaga diri kalian, semangat terus, jangan pernah menyerah, jangan pernah berhenti berjuang, pasti di situ ada jalan. Aku harap kalian bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan bisa sukses ke depannya."

Perkataan Ketua mengalami interupsi kala seseorang masuk dengan malu-malu. Perempuan penyihir kembali lagi, menundukkan kepala, tanpa memakai topi. "Permisi." Suara kesatria itu berubah sedikit lebih berat dari sebelumnya.

Kesatria wanita bertanya-tanya. "Meta...?"

"Mohon maaf, aku ketinggalan sesuatu," ucapnya.

Ketua mengulas senyum kecil. "Jadi namamu Meta, ya? Tadi aku sudah mendengar alasan kamu keluar. Kalau boleh tau, kenapa kamu bergabung dengan Geng Beta Besar, ya?"

"Alasan kenapa aku bergabung?"

Semuanya terdiam.

"Ya, karena uang, lah!" Perempuan itu telah berada di depan Ketua, mengacungkan jari tengahnya seraya menunjukkan wajah mengejek ala anak punk, seolah berkata, 'Makan ini, berengsek!'

Kesatria wanita dan lelaki pun tak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutan mereka. Si penyihir cukup berani beraksi kasar di depan ketuanya-mantan ketuanya-sendiri.

"Gajinya sangat besar! Uang tiap bulannya cukup untuk hidup selama sepuluh tahun! Aku bisa beli ini, beli itu, untuk meningkatkan skill witch-ku! Ahaha!" Perkataan bernada tingginya diakhiri dengan gelak panjang.

Berdecih puas, perempuan muda tersebut langsung melenggang keluar.

Kesatria lelaki menjadi histeris tatkala pelupuknya menitikkan air mata. Dia menjerit ketakutan seiring dua anak sungai mengalir pada pipi. Wanita di sebelah mau tak mau harus menenangkan dengan menepuk-nepuk pundaknya, tetapi tidak berhasil. Wajah si wanita mulai berpeluh hebat.

Dia ikut meneteskan air mata. "Memang benar gaji bekerja di sini sangat besar karena bayarannya dari Pusat langsung. Tapi, bukan itu yang menjadi alasan kami bergabung ke sini! Aku murni tertarik karena ingin mengasah kemampuanku karena mendengar party ini dulunya adalah Geng Alpha Besar. Benar, aku tidak bohong!"

Kesatria lelaki membalas sambil tersedu-sedu, "Aku pun, hiks. Aku tidak tertarik dengan uang, hiks," dia meronta, "Sudahlaaah, aku tidak kuat dengan semua ini! Ayo kita segera keluar dari tempat mengerikan ini!"

Keduanya pun berdiri. Laki-laki itu dituntun si wanita menuju pintu keluar. Ternyata, agaknya bahu kesatria wanita lebih tinggi sedikit daripada milik kesatria lelaki.

"Selamat tinggal, Ketua Cris," pamit kesatria wanita yang masam mukanya, sementara kesatria laki-laki masih terisak-isak.

Pada akhirnya, semuanya pergi. Suasana ruang tempat berkumpul mendadak sunyi. Tak bakal kembali lagi orang-orang itu, sampai kapan pun. Pintu masuk, jendela terbuka, serta meja lagi kursi menjadi saksi bisu kejadian ini.

Ketua hanya bisa pasrah, mematung di tempat. Dia tak bisa bereaksi apa-apa lagi. Mengulas senyum pun tidak. Laksana, sumber kehidupan si pemuda telah dicabut seakar-akarnya.

Namun, masih ada aku. Aku menghela napas, tak habis pikir menyaksikan kelakuan bawahan yang jelas-jelas kurang ajar kepada atasannya-mantan atasannya.

Akan tetapi, inilah konsekuensi atas kinerja Ketua yang buruk. Bahkan, Ketua sampai menyebabkan salah satu mantan anggotanya mati sia-sia di depan matanya sendiri.

Aku melayangkan raut muka bersimpati, tersenyum kaku. Mendekat, kulempar plastik bening ber-zipper berisi lembar kertas seukuran 10x10 cm ke atas meja di sebelah Ketua.

Masih bergeming, Ketua tersenyum getir. "Sungguh, keputusan Pusat sangatlah mengejutkan."

Dia menoleh kepadaku. Pemuda itu tak hirau walau mukanya sudah merengut begitu. Dia tersenyum. Mungkin, senyum terbaru yang selama ini tak pernah kulihat. Entah bagaimana aku menjelaskan? Senyum setelah kalah, memaksakan tegar, mencoba harapan baru?

"Tapi, tidak apa. Kita berdua saja bisa melaksanakan misi ini. Dengan berdua saja, kita bisa membuat Geng Beta Besar berjaya seperti dulu, Cris!" Dia mengacungkan kedua jempol. Mendengar itu, kelopakku melebar, pupilku menyempit. Aku syok tak bereaksi.

Berdua saja ... dengan Marjan-ku...?

Kuteguk ludah. Mungkin, saat ini wajahku terlihat kegirangan akibat perasaan euforia nan bergejolak.

###

Kudus, 18 Januari 2020

Menerima kritik dan saran :)

Tinggalkan komentar yaa ....
Jangan lupa tekan bintang/vote untuk mendukung cerita ini!

±1790 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro