Arc 2-3: Hujan Asam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 17: Hujan Asam

###

"Cris, akan kutunjukkan sesuatu yang bagus padamu!" Pemuda bersurai hijau tersebut agak mendongak untuk menatapku. Dia tersenyum miring tatkala selembar kertas diambil dari saku baju, berikutnya dia mengeluarkan sebuah kamera bermodel ganjil.

Aku meliriknya tak acuh. "Apa?" Aku masih muda saat itu. Wajah bersih lagi putih.

Dengan bangga, dia mengangkat-angkat lembar kertas dan kamera aneh di genggaman, persis seperti anak kecil yang habis dibelikan mainan baru. "Ini adalah foto yang diambil dari alat sihir kuno bernama Fotox. Di situ ada pengaturan 'Jelajah Waktu' dan 'Teleportasi'. Aku menemukannya dari barang-barang simpanan kakekku! Ada banyak foto lain pada zaman dulu, tapi hanya ini yang kuketahui tempat asalnya. Kau bertanya bagaimana aku mengetahuinya? Aku mempertimbangkan posisi horizon langit, keadaan kontur tanah, vegetasi setempat walau sudah sebagian besar hilang, dan fitur pendukung seperti rumah kosong di sebelah konstruksi itu."

Dahiku berkedut. "Katakan kenapa kau mengajakku ke sini. Cepat." Aku melayangkan tatapan mata nan menusuk.

Pemuda yang kutanyai malah mengerising tak jelas. Sengaja sekali dia tidak langsung menjawab. Kuperhatikan kacamata yang terpasang di atas kepalanya, nang biasa dipakai pengendara motor dalam perjalanan jauh-motorcycle goggle.

Aku berdecak-decak, mengabaikan orang yang berdiri di sampingku itu. Beralih, kuamati sekitar. Tempat ini adalah semacam permukiman kumuh yang letaknya tidak jauh dari pusat keramaian. Di depan aku dan si pemuda sedang ada pembangunan konstruksi rumah, sepertinya, tetapi barangkali bukan karena kerangka baru separuh selesai. Oleh karena tengah hari, para pekerja masih melakukan pekerjaan masing-masing dengan giat tanpa lelah, bisa jadi.

Di bawah naungan atap etalase toko makanan, aku dan si pemuda memperhatikan konstruksi bangunan itu dari jarak antara jauh dan dekat: jarak menengah. Sang surya bercokol pada angkasa tepat di atas kepala sehingga kami tak mau dipanggang cahaya terik jika tidak meneduh.

Dan-ya ampun....

"Lime."

"Apa?"

"Jangan bermain seperti bocah."

Pemuda bernama Lime itu memain-mainkan kamera di tangannya, mengidentifikasi bagian-bagian dengan teliti sambil berkata hal-hal yang tak dimengerti, kemudian pada akhirnya mengembuskan napas kala dia tak mendapat hasil.

"Aku tidak bisa memakai alat ini," ujarnya, lesu, lemah, badan membungkuk, dan dengan wajah kecewa.

Aku menarik napas, lumayan kesal. "Lim-" Baru hendak kupanggil dia, pemuda berkaus putih dan jaket kulit tersebut berkata terlebih dahulu.

"Hei, Cris, di suatu tempat yang indah, damai, asri seperti ini, menurutmu ada bahaya apa di sana?"

Aku berpikir sejenang. "Kecelakaan kerja?"

Jawaban yang terlontar dari mulutku terbang melayang, bertujuan untuk masuk ke dalam saluran telinga si pemuda yang memberikan pertanyaan. Namun, angin nan seketika berembus kencang membawa pergi jawaban itu, memainkannya sebentar, berputar-putar, berkeliling di lelangit atap etalase, kemudian bercerai-berai bagai balon yang meletup.

Agak menunduk, Lime tersenyum paksa, memasang wajah pilu yang tak bisa kutebak apa maksudnya. "Bisa jadi. Entahlah, aku pun tidak tau jawabannya pasti."

Aku bertanya-tanya, ada apa dengan pemuda ini? Kenapa dia tiba-tiba memberikan pertanyaan aneh, dan setelah kujawab, dia tidak menanggapi jawabanku, malah dia juga tidak tau apa jawaban yang sebenarnya.

Pemuda itu mendongak supaya bisa bertatapan dengan mukaku yang kebingungan. "Yang terpenting, aku mengajakmu ke sini ialah karena...," biji netra hijau Lime menatapku lekat-lekat, "tempat ini dulunya adalah tempat tinggal Sister Mint."

Aku terlonjak kaget. "Apa?!"

"Ya. Di sinilah dulunya Sister Mint berada, termasuk ingatan masa kecilnya yang hilang."

Netra cokelatku memicing penuh curiga. "Berapa banyak hal yang kau ketahui tentang Sister Mint?"

Lime melakukan gerakan menghitung menggunakan jari jemarinya. "Memiliki masa kecil yang kelam, terkurung di tempat tertutup, dan tidak bisa berkembang, dan tidak sedikit pun berinteraksi dengan dunia luar, dan terakhir, hanya itu yang bisa diingat olehnya."

Aku menyeringai sinis. "Hebat sekali si Pendengar Setia ini. Lalu, kenapa kau bisa tau di sini dulunya adalah tempat tinggal Sister Mint?"

Lawan bicaraku tersenyum licik. "Aku mencari tau sampai ke seluk-beluknya."

"Bagaimana bisa?"

"Jangan meremehkan keturunan Keluarga Geile sang Pustakawan." Dia menyilangkan tangan.

Mataku memejam ketika keningku berkerut. Sementara tangan kiri meremas dahi, aku mengibaskan tangan kanan sebagai isyarat menyudahi pembicaraan. "Baiklah, baiklah. Terus, apa yang akan kita lakukan?"

"Tidak ada," jawab Lime, lugas.

Aku terperanjat, mata dan kedua tanganku berberaian. "Hah?"

"Tidak ada. Karena aku tidak bisa menggunakan alat ini, mari kita pulang." Pemuda itu berbalik, meninggalkanku yang mematung keheranan.

Aku menggertakkan gigi. Darah mendidih seketika, kutinju pipi kiri Lime dengan keras. Dia jatuh goyah ke atas tanah, berikutnya bersimpuh dan mengaduh kesakitan.

Mengelus sisi muka yang babak belur, Lime mendongak perlahan. Dia terlonjak ketakutan. Di matanya, rupaku sudah mirip seperti iblis yang mengamuk.

***

"Lime adalah orang yang mengirim request ini, sekaligus menyuruh kita untuk mencari tahu masa kecil Sister Mint yang kelam, yang berhubungan dengan suatu 'tempat' yang ada di foto ini." Begitulah kesimpulan yang kutarik.

Ketua yang sudah berada di depanku menanggapi, "Tapi, bukankah Lime sudah tidak ada?"

"Dia mengirim dari masa lalu untuk disampaikan di masa kini, Ketua." Setelah memberi jawaban, aku mengulum, "Si Lime keparat itu...."

"Tapi, lalu apa tujuannya? Kenapa mengirim dari masa lalu untuk masa sekarang? Kenapa tidak saat dulu saja, mengingat banyak orang yang akan membantu? Kenapa harus repot-repot menunggu bertahun-tahun untuk melakukannya?" Mendadak sok pintar, Ketua memberondongku dengan berbagai pertanyaan.

"Itu masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab, Ketua. Kemungkinan ada sesuatu tentang alat bernama Fotox-nya yang tidak bisa segera dipakai. Atau foto berumur puluhan tahun saat itu belum bisa digunakan."

Aku menempelkan kepalan tangan kiri ke dagu.

"Atau bisa juga...."

Aku berpikir keras.

Ketua terdiam menunggu jawaban dariku.

"Foto ini baru bisa berfungsi setelah Sister Mint mati."

Mendadak suasana menjadi hening bercampur canggung.

Ketua tertawa kecil. "Aduh, Cris ini, jangan berlebihan dong. Maksudmu, Lime ingin kita agar membuat kematian Sister Mint damai dengan memperbaiki masa lalunya, bukan?" koreksinya.

"Entahlah."

Seolah tak puas, Ketua menunjukkan wajah senderut dan bibirnya mengerucut.

Aku berpikir lagi. "Kira-kira seperti apa masa kecil kelam yang Lime maksud? Lime juga mengatakan tentang tempat yang terdapat 'bahaya'."

Ketua pun ikut-ikutan berasumsi. "Jika memang Sister Mint tinggal di rumah yang ada di foto, berarti jawabannya ada hubungannya dengan rumah itu."

Sepertinya, kali ini cakram yang menggerakkan otak Ketua bergerak lancar. Berkat kecerdasan sesaatnya itu, aku bisa mendapatkan jawaban spekulatif.

"Oh, jadi begitu. Aku tau beberapa kemungkinan tempat yang dimaksud. Mungkin kamar luas dengan fasilitas lengkap, tetapi tanpa pintu. Seperti penjara, Sister Mint diperlakukan tanpa interaksi sosial, rasa kekeluargaan, dan pengetahuan tentang dunia luar. Atau, ruangan putih yang tidak berisi apa-apa, atau hanya ada kursi dan meja putih, secara rutin ayah atau ibunya datang untuk memeriksa dan memberi makan. Atau bisa saja, Sister Mint dipasung dan dikurung di kamar tidur."

"Ternyata kau tau banyak, ya, Cris?"

"Itu karena kau bodoh."

Ketua berkacak pinggang. "Hei! Setelah aku membantumu menjawab tadi, lalu sekarang kau mengatakan aku bodoh?"

"Diamlah."

Meskipun begitu, masih banyak hal yang belum terjawab. Ini sangatlah mencurigakan. Kenapa Lime dan Sister Mint harus terlibat dalam misi melawan musuh yang berbahaya ini? Aku tidak bisa memikirkan kemungkinan jawaban yang lebih masuk akal lagi.

"Cris?" Pemuda itu menatap heran tatkala aku mendadak diam saja.

"Ayo kita jalan."

Aku mendahului Ketua, tak memedulikannya yang mungkin saja sedikit penasaran dengan sikapku yang terdiam tiba-tiba.

"Ah, sebelum itu, ayo kita ke tempat langgananku dulu!"

"Langganan?"

Ketua mengangguk. Tangannya menunjuk ke gorden ungu memesona yang terpasang pada tembok bangunan.

###

Kudus, 21 Januari 2020

Sepertinya ada yang salah dengan dialog-dialog di atas, tapi mari kita berpura-pura tidak terjadi apa-apa ._.

±1200 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro