Part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Trapped by Hot CEO

###

Part 2

###


Liora memeluk Jenna, raut penuh penyesalan memenuhi wajahnya. "Kau tak pantas menangisi pria itu seperti ini, Jenna," bisik Liora. Mengurai pelukannya lalu menghapus air mata Jenna.

"Dua tahun kami bersama," gumam Jenna pelan. Dan semua berakhir begitu saja.

"Aku tahu. Tapi kau harus menguatkan diri."

Jenna memejamkan mata, menghentikan tangis yang masih menggelitik ingin menghambur keluar. Namun, bayangan Juna dan wanita itu yang telanjang bersama di atas tempat tidur malah semakin jelas di benaknya. Keduanya yang saling mencumbu, saling menyentuh dengan penuh hasrat. Jenna menggigit bibir bagian dalamnya dan membuka mata. Kali ini tak ada tatapan luka tersirat di bola mata hitam itu, digantikan tatapan penuh tekad yang kuat. "Aku akan membantumu."

"Hah?" Liora melongo.

"Aku akan menggantikan tempatmu." Ya, dengan luka yang masih menganga basah di dadanya. Jenna butuh waktu selama beberapa saat untuk dirinya sendiri, dan itu tak akan bisa ia dapatkan jika dunianya masih berkeliling di sekitar Juna. "Aku akan menikahi Jerome."

"K-kau yakin?"

Jenna mengangguk mantap. Di dorong sakit hati dan benih dendam yang mulai tumbuh di dadanya. Ia bukan wanita suci yang dengan begitu mudah disakiti lalu memaafkan. Seharusnya sudah cukup sikap Juna yang selama ini menghindari pembicaraan tentang hubungan yang lebih serius, sebagai pertanda bahwa pria itu memang tak ingin serius terhadap dirinya. Pria itu masih menginginkan kebebasan. Dan akan Jenna berikan. Seharusnya ia memberikan kebebasan tersebut lebih cepat. Setidaknya sebelum ia memergoki pria itu dengan wanita lain.

"Katakan semua tentang Jerome. Aku membutuhkannya."

Liora tak langsung mengangguk.

"Apa aku perlu mengganti model rambutku?"

Liora menggeleng. "Kau tak perlu merubah penampilanmu. Aku sering berganti model rambut. Jika kau nyaman dengan model ini kau tak perlu merubahnya."

Jenna mengangguk. Lagipula ia tak suka jika harus menyemir rambutnya berwarna pirang seperti Liora.

"Dan ini." Liora mengangkat kedua tangannya, melepas cincin bermata berlian merah di jari manisnya. "Ini cincin tunangan kami."

Jenna menatap cincin itu. Membiarkan Liora mengambil tangannya dan menyelipkan cincin tersebut di jari manisnya. Sangat pas.

Liora menatap puas jemari adiknya.

'Cincin pertunangan,' ulang Jenna dalam hatinya. Memandang cincin yang digunakan Jerome ketika melamar Liora. Akhirnya ia melihat sebuah cincin melingkar di jari manisnya, meskipun itu bukan dari Juna.

"Aku sudah pernah memperlihatkan foto Jerome padamu, kan." Liora mengambil ponselnya. Jemarinya dengan lihai bermain-main di layar tersebut dan menunjukkan foto Jerome. "Ini fotonya sekitar sebulan yang lalu. Sekarang rambutnya sedikit panjang."

Jenna mengamati gambar foto tersebut. Pria berkulit maskulin dengan rambut hitam legam yang sedikit bergelombang. Bibir tebal dan tegas, hidung mancung dan berdiri tegak. Bola mata hitam dan gelap, namun terlihat jernih. Dulu saat Liora menunjukkan kekasih wanita itu, Jenna belum pernah memperhatikan sedetail ini. Dan ia bisa merasakan aura kegelapan yang dikatakan oleh Liora.

Apakah ia mampu menghadapi pria ini? Pertanyaan itu meragukan keputusan Jenna untuk sesaat. Sebelum kemudian bayangan Juna dan wanita itu kembali muncul dan ia pikir, ia lebih mampu menghadapi Jerome ketimbang pengkhianatan Juna yang masih menganga lebar di dadanya.

"Lalu bagaimana denganmu?" tanya Jenna.

"Aku sudah menyiapkan penerbangan ke luar negeri. Sementara aku akan tinggal Paris. Aku punya seorang teman di sana yang bisa membantuku."

"Bagaimana aku menghubungimu?"

"Aku yang akan menghubungimu."

Jenna mengangguk. Dan malam itu ia tak bisa tidur memikirkan hari baru yang menunggunya. Jantungnya berdebar gugup setiap mengingat, ekspresi macam apa yang harus ditampilkan ketika ia berhadapan dengan Jerome. Apakah pria itu akan mengenali perbedaannya dan Liora?

***

Tak banyak yang perlu Jenna bawa selain koper kecil yang dibawa oleh Liora. Dan meski ukuran tubuh mereka sama, Jenna selalu merasa tak nyaman dengan pakaian Liora yang satu ukuran lebih kecil dari seharusnya. Liora mengantarnya ke bandara, keduanya berpelukan dan berpisah. Jadwal penerbangan Liora besok, Jenna berharap Juna tak pergi ke rumahnya meski ia mewanti-wanti kakaknya untuk tidak membukakan pintu untuk pria itu.

Tiga jam kemudian, sambil menarik turun rok jeans Liora yang mulai meresahkannya karena tatapan tak senonoh yang dilayangkan ke arah pantatnya, ia tak tahu bagaimana Liora bisa bertahan hidup dengan pakaian semacam ini, pandangan Jenna mencari di antara para penjemput. Mencari pria yang ada di layar ponsel Liora.

Jerome

Jerome ...

Seketika tatapan Jenna berhenti. Pria itu, pria itu mirip dengan gambar foto yang ditunjukkan Liora padanya. Hanya saja, yang aslinya terlihat lebih tampan, dan lebih ...

Cup ...

Jenna tersentak kaget ketika pria itu menghampiri dalam tiga langkah besar dan langsung mengecup bibirnya.

"Aku begitu merindukanmu, Jenna," bisik Jeroma seraya menarik pinggang Jenna hingga menempel di tubuh pria itu. Telapak tangan pria itu menempel di pantatnya, seluruhnya. Wajah Jenna memerah, menahan godaan menampar kekurang ajaran Jerome. Tapi ... bukan itu lebih mengejutkan Jenna.

Jenna? Apakah pria itu baru saja memanggilnya Jenna? Jadi ... jadi selama ini Liora berhubungan dengan Jerome menggunakan namanya? Liora tak pernah menjelaskan tentang hal ini. Pantas saja Liora tak memintanya menukar id.

Jerome menyipitkan mata. "Kenapa? Kau terlihat pucat hari ini. Dan kau merubah model rambutmu. Lagi."

Jenna menggeleng. Menyampirkan tangannya di pinggang Jerome, berharap tindakan itu tak membuat Jerome lebih menyelidiki ekspresi di wajahnya. Ia takut jantungnya yang berdebar kencang terekspresi di wajahnya dan mengundang curiga pria itu.

"Ya, aku kurang tidur nyenyak semalam," jawab Jenna setengah jujur setengah sebagai dalih untuk menepikan kegugupannya. "Bolehkah aku beristirahat di mobil?"

Jerome tersenyum, menyentuh dagu Jenna dan lagi-lagi menyambar satu lumatan di bibir kekasihnya sebelum mengangguk, "Tentu saja."

Jenna membiarkan Jerome mengambil koper di sampingnya, dengan satu tangan masih menggantung di pinggangnya dengan posesif, pria itu membawanya menuju sebuah mobil hitam mengkilat yang tak akan Jenna kagumi kemewahannya. Dari pakaian, cincin di jari manis, kalung, anting, dan semua hal pemberian Jerome untuk Liora, semua sudah tak mengejutkan Jenna. Jerome memberikan kopernya pada sopir, lalu membukakan pintu mobil untuknya. Ia pun masuk lebih dulu, menyusul Jerome.

Jenna duduk ke sudut terjauh, hanya untuk sesaat. Saat Jerome mengambil tempat di sampingnya, pria itu menarik pinggang Jenna mendekat. Kemudian meletakkan kepala Jenna di pundak pria itu.

"Tidurlah," bisik Jerome. Meninggalkan kecupan lagi, kali ini di puncak kepala Jenna.

Jenna menggigit bibir bagian dalamnya. Pria itu tak henti-hentinya melemparkan begitu banyak perhatian, yang seolah memenuhi dadanya. Dan sikap pria itu sangat lembut terhadapnya. Membuatnya tak bisa menahan diri membandingkan Jerome dan Juna.

Jenna mendesah pelan, menepis pemikiran picik itu dari kepalanya dan memaksa matanya terpejam. Aroma mint yang segar, menyelimuti hidungnya. Membuat kepalanya sedikit lebih ringan setelah menempuh perjalanan yang melelahkan. Dan matanya perlahan terpejam.

***

"Bangun ... Sayang."

Kelopak mata Jenna bergerak pelan, sementara kesadaran perlahan memenuhi raganya. Satu kecupan yang mendarat di kening seketika menyentakkan Jenna dari kesadaran. Tubuhnya melompat kaget, menatap pria asing di sampingnya. Ingatan Jenna segera mengambil alih keterkejutannya. Liora, penerbangan, Jerome.

"Apa aku mengagetkanmu?" Jerome mengulurkan tangan menyelipkan rambut Jenna ke balik telinga.

"Sedikit." Jenna mengusap wajahnya dan mendesah pelan. Ia tertidur di pundak Jerome.

"Kita sudah sampai. Apa kauingin menunggu sejenak untuk menghilangkan pusingmu?"

Jenna menatap keluar mobil. Mobil memasuki sebuah halaman gedung yang luas. Di kanan kiri jalan masuk gedung ada taman bunga. Menuju sebuah air mancur tinggi tepat di depan pintu utama gedung.

Luxury Apartment

Jenna membaca monumen kecil di tengah air mancur. Ah, ya. Ini apartemen tempat Liora tinggal. 2803, Jenna mengingat-ingat nomor unit Liora. Kartunya sudah ada di dalam tas.

"Masih pusing?" tanya Jerome lagi karena tak mendapatkan jawaban dari pertanyaan pertamanya.

Jenna menggeleng. Membuka pintu ketika mobil berhenti. Jerome mengambil koper Jenna di bagasi dan langsung melangkah memasuki teras gedung sambil membawa Jenna. Lengan pria itu lagi-lagi bertengger posesif di pinggang Jenna.

"Selamat siang, Tuan Lim, Nona Jenna." Sapa seseorang yang berjaga di dekat lift khusus. Yang langsung bergegas menekan tombol lift untuk mereka.

Jerome mengangguk kecil, menarik Jenna masuk ketika pintu lift terbuka.

Rasanya aneh disapa oleh orang yang tak kita kenal dan mereka menyangka telah mengenal kita. Jenna tak banyak bicara sepanjang perjalanan menuju lantai 28. Membiarkan Jerome memimpin langkah sekaligus mempelajari denah tempat ini dalam diam karena ia tak mungkin bertanya. Pintu lift terbuka, lagi-lagi Jerome memimpin langkah mereka. Melewati dua pintu dan 2803. Ah, ini unit Liora.

Saat Jenna hendak mengeluarkan kartu apartemen yang diberikan Liora, Jerome mendahuluinya. Pria itu menempelkan kartu yang sama dengan milik Liora. Sesaat membuat Jenna tertegun dengan akses yang dimiliki oleh Jerome ke dalam apartemen Liora. Itu berarti pria itu bisa datang dan menerobos kapan pun tanpa sepengatahuannya?

"Kauingin minum?" tawar Jerome yang langsung melepaskan Jenna dan menyingkirkan koper ke dinding.

"Air putih saja," kata Jenna ingin sejenak menyibukkan Jerome. Pandangannya berkeliling. Mengamati ruangan yang luas tersebut. Dinding kaca mengeliling mereka, ruang tamu, meja makan, dapur, dan ada dua pintu. Ia tak tahu kamar Liora yang mana.

Jerome memggulung lengan kemeja sembari melangkah menuju dapur. Sedangkan Jenna berjalan mendekati pintu yang paling dekat dengannya. Membukanya dan berharap menghampiri pintu yang benar. Sebuah kamar, Jenna berjalan masuk dan sedikit bernapas lega.

"Apa yang kaulakukan di sini?" Kepala Jerome muncul dari celah pintu yang setengah terbuka.

Jenna memutar tumitnya. Melihat Jerome memegang segelas air putih berjalan mendekatinya. Kernyitan tersamar di kedua alisnya, bukankah ia masuk ke ruangan yang tepat.

"Kupikir kau ingin segera ke kamarmu dan beristirahat." Kerutan heran muncul di kening Jerome.

Sekali lagi Jenna mengamati seluruh ruangan. Ranjang, lemari, set kursi, dan meja bercermin yang kosong. Kamar tamu! Jenna menelan keterkejutannya ketika napasnya terhent sejenak, menyembunyikan seapik mungkin dari tatapan Jerome.

Jenna mendekati Jerome, mengambil gelas di tangan Jerome dan meneguknya. "Aku hanya melihat."

Sesaat Jerome mengernyit lebih dalam sebelum kemudian kerutan itu lenyap dan tersenyum. "Tidak ada apa-apa di sini yang perlu dilihat," komentarnya.

Jenna mengangguk sambil melangkah keluar, menuju pintu satunya. Kali ini ia memasuki kamar yang lebih luas. Tempat tidur berwarna merah muda, dua lemari besar, lemari kaca yang berisi koleksi tas juga sepatu Liora, dan meja rias yang dipenuhi segala macam make up dan pernak-pernik. Ia masuk ke kamar yang tepat, desahnya lega.

Jerome mengambil gelas di tangan Jenna, meletakkannya di nakas lalu memeluk wanita itu dari belakang dan langsung mengendus cekungan leher Jenna.

Jenna menahan kesiap tak sampai lolos dari bibirnya. Ia menoleh ke samping dan Jerome langsung menyambar bibirnya. Menciumnya. Merasakan kungkungan di pinggang, Jenna memilih pasrah. Membiarkan pria itu melumat bibirnya

Jerome memutar tubuh Jenna menghadapnya, semakin merapatkan tubuh mereka dan satu tangannya naik menahan tengkuk Jenna. "Buka bibirmu," bisik Jerome serak. Lumatannya menjadi semkain dalam.

Pandangan mereka bertemu, Jenna tak bisa berpaling. Tenggelam dalam kegelapan dan membuka mulutnya. Lidah Jerome menelusup masuk, mengabsen deretan giginya. Kemudian ia merasakan tubuhnya melayang dan punggungnya mendarat dengan lembut di atas tempat tidur.

Jenna tersadar dari pusaran tersebut ketika lumatan Jerome menjadi lebih panas dan penuh gairah. Tangan pria itu sudah menelusup di balik kaosnya. Menyentuh kulit telanjang perutnya, bergerak naik dan meremas dadanya. Desah napas pria itu menjadi lebih dalam dan mata pria itu terpejam. Menikmati setiap sentuhan dan gesekan tubuh mereka.

Jenna mulai kewalahan mengikuti cumbuan lihai pria itu, ia sudah kehabisan napas. Dalam benaknya menyangsikan pernyataan Liora yang mengatakan Jerome tak pernah meniduri wanita itu. Cumbuan sepanas ini tak mungkin berakhir begitu saja tanpa menelanjangi tubuhnya dan kepanikan mulai merayapi hati Jenna. Ia belum pernah dicium seseorang seintim ini. Satu-satunya kontak fisik yang dilakukan oleh Juna hanyalah kecupan singkat di pipi, yang itu saja sudah membuat wajahnya terbakar. Tetapi mungkin karena Juna tak menginginkan dirinya, pikiran itu muncul begitu saja. Nyatanya pria itu mampu meniduri wanita lain.

Perih di dada Jenna berdenyut nyeri. Sesaat ia hendak membiarkan Jerome bertindak lebih. Didorong keinginan untuk membalas sakit hatinya pada Juna. Namun, mendadak Jerome menarik tubuh menjauh dan tangan pria keluar dari balik pakaiannya.

Dengan napas terengah hebat menerpa wajah Jenna dan kening mereka yang masih menempel, Jerome berbisik serak, "Maaf, aku sedikit kelewatan. Aku tak bisa menahannya setelah dua hari tidak bertemu denganmu. Aku benar-benar merindukanmu."

Jenna tak tahu harus merasa lega atau sebaliknya. Ketika Jerome menjauh, rasa sakit di hatinya kembali mendera. Masih terengah, Jerome menarik tubuhnya terduduk.

"Aku benar-benar tak sabar menunggu hari pernikahan kita." Jerome mengecup bibir Jenna sekali. "Hari ini istirahat saja di apartemen. Nanti malam aku tidak bisa datang karena harus menyelesaikan banyak urusan. Kau tidak keberatan, kan?"

Jenna menggeleng, napasnya sudah kembali normal. Begitupun Jerome.

"Dan besok pagi aku akan menyuruh sopir menjemputmu untuk membawamu ke butik. Fitting gaun pengantinmu. Mereka ingin memastikan gaunnya pas di tubuhmu menjelang hari H."

Jenna mengangguk.

Jerome mendekat, menyentuh dagu Jenna dan memaksa wanita itu menatap matanya. "Kau jadi lebih pendiam," gumamnya dengan kerutan di kedua alis.

Pupil Jenna tampak melebar. "A-aku sedikit merasa tidak enak badan."

"Hm, begitu. Apa aku perlu menyuruh dokter memeriksamu?"

"Tidak. Aku hanya ingin istirahat."

"Baiklah. Aku akan menelponmu nanti sore. Aku pergi sekarang." Jerome melumat bibir Jenna sekali dan beranjak pergi.

Jenna termangu di pinggiran tempat tidur. Mendesah pelan. Berharap ia berhasil mengelabui Jerome untuk saat berikutnya. Ia merapikan pakaiannya, melangkah ke satu-satunya pintu yang ia yakini adalah pintu kamar mandi.


***

Yang kepo dan ga sabaran pengen baca lanjutannya, segera mampir di webnya GoodNovel, ya. Kalo nyari lewat judul ga ketemu, langsung aja klik di pemberitahuan author.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro