11. Avocado Toast

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Males bikin healthy fun facts.

Lagi datang bulan males mikir wkwk

Vote dan komen kayak biasa, ya...
Komennya 500, vote 600 langsung aku update lagi.

Kalau suka ceritanya, rekomendasiin ke temen-temen kamu, dong ❤️

***

Mahmoud

Tempat kerja apa-apaan ini?

Belum genap tiga hari di Jakarta aku sudah dilecehkan dua kali, hampir mati satu kali, ditampar satu kali. Orang kota memang sinting-sinting!

(Nyebut... nyebut....)

Aku masih mencoba menenangkan diri di dalam pantry setelah tiga orang perempuan memaksaku bertelanjang dada. Maksudku aku bertelanjang dada di mana-mana, tapi rasanya aneh kalau disuruh-suruh dan dijadikan tontonan. Setelah puas, aku diusir dan diminta segera mulai bekerja. Tugas pertamaku pagi ini adalah membagikan kopi sesuai selera penikmatnya.

Untung karyawannya sedikit. Kalau banyak, aku bisa gila.

Yang satu minta teh ini, gulanya segini. Yang itu teh apa, gulanya harus lain lagi. Kopinya harus disaring, mereknya harus dari toko itu. Apa bedanya? Toh waktu pesuruh sebelumnya dipecat mereka minum kopi instan juga. Cangkirnya juga beda-beda, tapi tidak boleh dikasih nama. Nanti jelek. Jadi aku harus menghafalkan setiap cangkir itu punya siapa.

Tidak ada daftar selera makan siang. (Kalau ini aku maklum. Mereka bukan kambing yang makan rumput setiap hari.) Aku harus menanyai apakah mereka makan siang di kantor, atau di luar. Kalau di kantor, apa yang mau mereka santap. Daftar harus sudah ada padaku usai membagikan kopi supaya bisa kupesankan sebelum jam makan siang. Untungnya yang kedua, karyawan sini sepertinya gajinya pas-pasan, jadi mereka semua mau makan dari kantin kantor tak jauh dari sini. Sebelum mulai membagikan kopi, aku harus menelepon kantin dan menanyakan apa yang mereka sajikan hari itu.

Merepotkan.

Terus, kenapa aku mau-mau saja?

Kalau aku mau, aku bisa jadi teknisi di bengkel mesin, atau mobil. Ngurusin ratusan onderdil kayaknya lebih ringan daripada disuruh telanjang dada di depan perempuan dengan alasan nggak jelas sama sekali. Aku meraup mukaku dan menggosoknya cepat. Rasanya ingin teriak. Aku sangat terganggu dengan sikap Bu Mina yang enggan membelaku.

Aku di sini karena dia!

Ya. Aku di sini karena dia....

Sialan.

Padahal Abhi sudah berkali-kali ngasih nasehat supaya tidak mengambil keputusan dengan alasan syahwat, alias mengedepankan hawa nafsu, alias gara-gara perempuan. Laki-laki gampang jadi gila kalau sudah disetir perempuan.

Ini perempuannya nggak menyetirku, aku yang pegang kemudi ngikutin dia.

Kenapa dia bisa begitu cantik?

Bukan, ini bukan hanya karena Bu Mina sangat cantik. Ini karena aku penasaran sama dia. Penasaran kenapa dalam perbedaan waktu yang begitu singkat, dia bisa menunjukkan dua sisinya yang berlawanan kepadaku. Kupikir dia perempuan manja yang sewenang-wenang, ternyata dia bisa jadi seorang pemimpin yang tenang dan bijaksana.

(Selain memang aku butuh uang cepat supaya tabunganku nggak raib dalam waktu singkat.)

(Itu membuatmu merasa tidak terlalu berdosa?)

(Sedikit.)

Aku jadi tergoda untuk melihat lebih jauh bagaimana kesehariannya.

Tergoda melihat lebih jauh bagaimana kesehariannya...? Konyol sekali kamu, Mu? Untuk apa? Jelas-jelas dia bukan kelasmu. Jelas-jelas dia menyukai Adrian yang berprofesi sebagai model terkenal sampai berani menaiki tubuhnya saat ia tidur. Apa yang kamu harapkan dengan jadi pesuruh di kantornya? Ngarep dia khilaf lagi?

"Mahmoud?"

Aku terperanjat.

Bu Mina sudah berdiri di ambang pintu pantry, aku gelagapan tapi berhasil mengangguk kaku padanya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku.

Perempuan cantik itu tersenyum canggung sambil menggosok sebelah lengannya. "Anu... makasih, ya, kamu udah nolong aku," katanya sambil melangkah lebih ke dalam dengan suara lembut. "Selan itu... aku... ya ampun... aku sama sekali nggak tahu di ruangan itu ada nyamuk."

Aku mengernyit. Apa dia sedang berusaha mengarahkan topik pembicaran pada tamparannya? Apa aku harus bilang, tidak apa-apa, Bu, saya mengerti? Atau... tidak apa-apa, Bu, tamparannya tidak sakit? Atau mungkin aku harus jujur... aku memang ingin menyentuh pipinya yang mulus, yang tentu saja tidak akan kulakukan kalau sebelumnya tidak ada nyamuk usil mendarat di sana. Tapi akhirnya aku hanya diam menanti.

Bu Mina menggigit bibirnya cemas, "Maaf aku menamparmu, ya?"

Aku bingung mau jawab apa. Kubilang nggak apa-apa, sebenarnya aku agak tersinggung. Aku cuma mengelus pipinya, dia nampar. Dia memasukkan lidahnya ke mulutku, aku protes aja enggak.

Sampai lama, aku malah cuman menggaruk keningku saja.

"Harusnya aku nanya-nanya dulu kenapa kamu megang pipiku...," imbuhnya makin canggung.

Aku mengangguk. Mata Bu Mina membola melihatku mengangguk. Habis itu memang benar, sih. Dia juga seharusnya nanya dulu kenapa aku bisa ada di atas kasur Adrian, bukannya marah-marah seolah aku lah yang menjamahnya.

Ayo, katakan Mu!

(Aku nggak tega.)

"Pipimu nggak apa-apa, kan?" tanyanya lagi.

Saat itu, gobloknya aku, gara-gara melamun aku terhenyak dan mundur sedetik sebelum jemari Bu Mina menggapai pipiku. Melihatku tersentak, Bu Mina langsung menarik tagannya lagi dan menatapku dengan ekspresi bersalah.

"Aduuuh...," celetuknya. "Maaf... kenapa aku terus bikin kesalahan kayak begini, sih? Tapi pipimu nggak apa-apa, kan?"

Sebenarnya akan lebih nggak apa-apa kalau dia benar-benar mengelusnya, tapi sudahlah. Aku masih punya harga diri. Aku tersenyum dan mengangguk.

Minta maaf terus, tapi yang paling penting dimintakan maaf malah diabaikan.

Apa dia masih nggak mau minta maaf setelah menggagahiku tanpa izin dengan alasan seharusnya aku menolak, bukan diam saja? Dia baru minta maaf soal dia mabuk dan salah sasaran, kan? Bagian dia menuduhku tidak menolak, padahal posisiku sedang tidur lelap luput dari perhatiannya. Apa perempuan selalu begitu? Terlebih, perempuan secantik dia yang berpikir semua laki-laki nggak akan keberatan diperlakukan seperti itu?

(Kamu keberatan?)

(Enggak, kok, tubuhnya seringan bulu.)

"Aku juga minta maaf soal Tam tadi," dia bicara lagi.

Soal yang barusan kubilang itu, tidak minta maaf sekalian?

"Kami sedang kebingungan karena public figure yang mau kami ajak kerja sama sepertinya sedang terlibat dalam skandal. Ini perusahaan kecil, kami harus memikirkan segalanya, tidak boleh gegabah—"

"Memangnya, apa hubungannya dengan menyuruh saya telanjang dada, lalu diteliti seperti barusan?" aku memotong. "Mohon maaf, saya agak... em... tidak nyaman. Apa semua pesuruh diperlakukan demikian?"

Bu Mina memejam, melipat bibir merahnya. Bibir merah yang kemarin dia pakai untuk mengulum bibir—(diam, Mu. Bukan saat yang tepat buat ngomongin itu.)

"Tentu saja tidak," jawabnya gusar. "Aduh, gimana jelasinnya, ya? Mereka berpikir... tapi aku yakin ini hanya wacana saja, jangan terlalu dipikirkan. Mereka berpikir... kalau kamu mau... dan kamu cocok dengan image perusahaan kami, kamu bisa difoto untuk... iklan?"

"Iklan?"

"Ya... semacam itu. Untuk... image perusahaan. Semacam brand ambassador, tapi tentu saja ini kalau kamu mau, dan kalau... kalau proyek kami dengan seorang public figure itu benar-benar nggak bisa diselamatkan. Tapi ini cuma—"

"Cuma wacana," kataku. "Saya mengerti. Pasti sulit sekali kalau memang terpaksa harus menyuruh saya melakukannya. Saya hanya pesuruh."

"Bukan begitu... jadi model itu..."

"Sulit," selaku lagi. "Saya juga tahu itu. Adrian sudah bilang berkali-kali betapa sulitnya melakoni pekerjaannya. Saya mungkin tidak bisa. Mungkin sebelumnya, sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, saya...."

"Tidak mau," Bu Mina gantian menyambung kalimat yang sulit kuucapkan lebih karena masih kesal pada perlakuan mereka, dibanding benar-benar memikirkan baik buruknya.

Tapi aku nggak akan menyesal menolak tanpa memikirkannya, aku nggak pernah bercita-cita jadi model. Ummi ingin aku punya bengkel. Dulu aku sekolah kejuruan. Ummi yang nyuruh aku ngelanjutin kuliah supaya nanti bengkelku sukses. Kalau dulu aku batal kuliah saat Abhi masih kaya raya, mungkin sekarang aku malah sudah punya bengkel mobil sendiri.

"Aku ke sini hanya mau meminta maaf soal tadi, juga mengucapkan banyak-banyak terima kasih untuk pertolonganmu. Yang lain bilang... aku jatuh menimpamu, ya? Kalau badanmu nggak enak, atau ada hal-hal yang terjadi di kemudian hari berkaitan dengan kecelakaan itu... kamu bisa bilang padaku, ya? Aku akan bertanggung jawab."

Aku mengangguk dan tak lupa tersenyum.

"Kalau begitu...."

Dia mau buru-buru kembali bekerja karena berlama-lama meminta maaf kepada orang kampung sepertiku pasti sangat tidak nyaman, begitu, kan? Tapi entah mengapa sulit dikatakannya. Memangnya kenapa kalau dia mengatakannya dengan terus terang? Dia toh tidak perlu tahu aku memaafkannya, atau tidak. Dia bos-ku, mungkin pikirnya masih bagus dia mau minta maaf.

Untuk mempermudahnya, aku mengangguk lagi. Aku juga harus cepat-cepat bekerja dan bersiap ke kantin kantor untuk memperkenalkan diri sebagai pesuruh baru di perusahaan kecilnya.

"Saya juga mau cuci piring dan membagikan kopi," kataku.

"Oh, iya... maaf mengganggu, ya? Selamat bekerja."

Selamat bekerja sebagai pesuruh, batinku nyeri dalam hati.

Untuk apa aku mau jadi pesuruh? Aku nggak mau jadi pesuruh, tapi siapa juga yang mau jadi pesuruh? Aku mau. Aku menyanggupinya, itu berarti aku mau, dan semua ini karena perempuan cantik di depanku ini. Muka gusarnya yang manis bikin aku lupa posisiku sendiri. Aku nggak boleh melihatnya dengan cara seperti ini. Dia bisa risih. Aku berbalik sebelum Bu Mina benar-benar pergi.

Di depan setumpuk cucian, aku mengucurkan air keran dan mulai menuang sabun pencuci piring. Yah, paling enggak, ilmu bersih-bersih dari Ummi selama aku menjadi pesuruh Abhi sekarang berguna.

Nah, aku sudah mulai terdengar sinis.

Abhi bilang, tinggal di kota membuat Adrian menjadi sinis. Kalau ditanya kapan dia mau nikah, jawabannya seolah pertanyaan itu begitu mengganggu hak asasinya sebagai manusia. Padahal tinggal bilang saja belum tahu kapan, bukannya jodoh ada di tangan Tuhan? Apa ini yang bikin orang kota pada sinis-sinis? Tetanggaku yang bekerja jadi pembantu di kota selalu bilang orang desa nggak tahu susahnya hidup di kota, sekarang aku tahu kenapa dia sesinis itu. Memang sulit mencuci piring dan gelas milik orang lain, semiskin apapun kita.

Gelas pertama yang kucuci baru saja kutiriskan ketika aku merasakan kehadiran seseorang di balik badanku. Aku menoleh mendapati seorang pria yang kuduga penghuni salah satu kubikel yang kosong. Pria itu berkaca mata, berbrewok tebal dan berambut keriting. Mirip Reza Rahardian yang selalu muncul di semua sinema Indonesia.

"Mahmoud, ya?" sapanya sambil menawarkan jabat tangan. "Gio. CMO. Gue baru dari luar ninjau lapangan. Kita bisa bicara sebentar, Moud?"

"Ya, tentu, Mas. Soal makan siang?"

"Soal makan malam sebetulnya."

"Oh... untuk lembur, ya?"

"Ya... bisa dibilang begitu. Nanti Mbak Mina pasti mau bayar lembur lo. Kira-kira lo ada baju buat dipakai nanti malam, Moud? Buat nemenin Mbak Mina ke pesta ulang tahun rekanan, lo butuh kemeja yang bagusan. Kalau nggak ada, bisa gue pinjemin."

Aku terdiam.

Apa lagi ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro