25. Georgia Flame Pepper

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 33-34 Premium sudah dipost di Karyakarsa, ya!

Part 25 yang lebih lengkap dan nggak kentang juga bisa dibaca di Karyakarsa. Hihi

Kalau mau tetep diupdate di wattpad, vote dan komen, ya. Tadinya mau bodo amat, tapi kok kesel wkwk susah2 nulis, vote komen aja pelit banget.

Yang dukung di KaryaKarsa, makasih ya buat dukungannya. Love you. Muach!

"Ah! Moud, mh!"

Begitu kakiku melangkah mundur, Mahmoud maju. Bukan hanya maju, secara mengejutkan dia merengkuh pinggangku dengan satu tangannya sampai aku terhuyung nyaris jatuh. Pintu di balik punggungnya ditutup pelan dengan tangannya yang lain. Mahmoud mengentak tubuhku rapat ke dadanya, kemudian bibirnya dilekatkan rapat padaku, digerakkannya ke kanan, setengah memaksa agar bibirku membuka membalas cumbuannya. Brosur di tanganku sudah lama terpuruk di lantai, refleks-ku mengatakan aku mungkin akan jatuh kalau kedua tanganku tidak segera berpegangan padanya. Sewaktu bibirnya memupus jarak dengan bibirku, aku masih mencoba berusaha untuk mengatakan bahwa bukan ini maksudku mengundangnya masuk. Yah... bukan sepenuhnya ini. Namun, pagutan bibirnya begitu lembut, begitu menuntut hingga aku menyerah kalah. Kedua tanganku terkulai di sisi tubuhku, lemas, sebelum akhirnya kuputuskan... ya sudahlah, lalu melingkari lehernya dengan pelukanku.

Gila. Mahmoud berani juga. Dia merangsek bos perempuan yang mengajaknya masuk ke apartemen hanya berdasarkan asumsi. Karena aku mengajaknya bercinta sebelumnya, dia pikir aku sedang melakukannya lagi. Tadi aku hanya membujuknya masuk demi kesopanan. Salahku juga aku sengaja genit pakai ngomongin brosur yang jelas-jelas tentang apa. Tetap saja, Mahmoud nggak seharusnya begini. Dia harus diberi tahu soal ini. Tapi... tapi... Oh! Siaaal!

Otakku terus bekerja sementara bibirku melayaninya bercumbu. Napasnya tersengal, kedua tangannya kini merengkuh pinggangku erat seolah aku ini kekasihnya. Inilah yang kamu dapat dari mengajak cowok kampung naik ke tempat tidurmu, Wilhelmina! Dia mungkin sekarang berpikir kamu adalah kekasihnya. Bodoh, bodoh, bodoh, tapi-sekali lagi tapi-ciumannya cukup hebat si Mahmoud ini. Caranya mengulum bibirku, mengisapnya lembut, dan melepaskannya hanya selama sepersekian detik untuk dicumbunya lebih dalam lagi nyaris membuatku melayang. Punggungku diusapnya penuh tekanan seiring ritme ciumannya yang melambat, seolah ia sedang mengalirkan gelora yang menguasai tubuhnya keluar lewat sentuhan tangannya. Mahmoud menyatukan dahinya dengan dahiku, napasnya memburu. Jemari tangan kanan Mahmoud merambat turun dari punggung ke pinggangku, aku mencengkeram erat kerah jaket berkendaranya saat dengan ragu-ragu ia menyentuh perutku yang kutahan kencang, merayap naik dan menyentuh payudara kiriku.

Mataku menjegil.

Mahmoud yang semula menatap ke bawah menaikkan bola mata hitam kelamnya, mempertemukannya dengan manik mataku. Dia menatapku lekat, penuh makna. Dadaku berdebar kuat. Oh, tidak. Jangan sampai Mahmoud berniat mengutarakan perasaannya. Dia menarik napas dalam, menyebut namaku-"Bu Min...!"-aku membungkam mulutnya cepat dengan kedua tanganku sebelum ia menuntaskan sepotong kata itu. Mataku memejam, kepalaku menggeleng. Itu akan jadi turn off besar-besaran kalau sampai dia menyebutku demikian dalam posisi seperti ini.

"Ini-umh," Mahmoud menggeser kepalanya supaya bungkaman tanganku terlepas. "Ini sudah sempurna, M-ehm... Mina...."

Aku tergemap. Sampai kemudian jemari Mahmoud yang merangkum dadaku mengerat, aku baru sadar apa yang sedang ia katakan. Astaga... kupikir dia mau menyatakan cinta! Napasku terembus lega, tawaku menyembur tertahan. Mahmoud menatapku bingung sekali, lalu aku menyingkirkan tangannya dari dadaku, dan mengembalikannya ke balik punggungku.

"Mahmoud... mungkin ini akan jadi pelajaran berharga buatmu," kataku sambil mengelus rambut hitam tebalnya dengan jemariku. "Kuharap kamu nggak tersinggung, atau langsung merasa bersalah setelah mendengarnya. Kalau kamu bukan anak buahku yang masih hijau, aku bisa saja langsung mengusirmu dari sini."

Bola mata Mahmoud membulat besar mendengar ucapanku, kilat ketakutan langsung terlihat jelas membayangi tatapannya. Pelukannya di pinggangku mengendur. Aku menahannya ke tempatnya semula, "Bukan salahmu," kataku. "Mungkin aku yang kurang jelas menyampaikannya sampai kamu menyalahartikannya, Mahmoud... tunggu... hey... aku nggak apa-apa. In fact... aku menyukainya. Aku juga memikirkan hal ini dan memperhitungkannya apabila kembali terjadi. Tapi... kita memang harus membicarakannya. Okay?"

Warna merah yang mendominasi muka Mahmoud perlahan merambat hingga ke dua daun telinga dan lehernya. Matanya dipejamkan paksa menahan malu. Kalau aku tidak menahan tangannya di kedua sisi pinggangku, mungkin dia bakal lari terbirit-birit keluar dari apartemenku. Aku merasa kasihan sekaligus geli, kuajak Mahmoud maju dengan melangkah mundur. Dia memandangiku dengan alis melengkung memohon belas kasihan, meminta dibiarkan lari keluar karena kepalang malu. Aku tertawa kecil. Gemas.

Kubawa Mahmoud duduk di sofaku. Kutahan bahunya agar punggungnya tetap bersandar. Mahmoud berpaling jengah, alisnya menyatu di tengah sewaktu aku melepaskan kedua sepatu dan berlutut di atas sofa tepat di depannya. Kaki Mahmoud menyatu rapat di antara kedua kakiku. Pinggulku perlahan turun. Aku terus mengangguk sementara Mahmoud menggeleng-geleng ngeri. Pantatku menimpa pahanya dengan lambat sekali sampai kemudian aku sepenuhnya duduk di pangkuannya. Mahmoud melipat bibirnya, mengembuskan napas berat lewat lubang hidung bangirnya. Aku tak kuasa menahan tawa tanpa suara.

"Pertama," kataku lembut. "Konsensual."

Mahmoud menelan ludah.

"Tidak perlu secara verbal. Yang barusan itu juga termasuk, kok, jangan khawatir, Moud. Hanya saja... kita belum membicarakannya lagi, jadi seharusnya kamu menunggu sampai aku benar-benar mengajakmu berciuman, atau... kamu mengajakku berciuman dan aku bersedia. Kalau hubungan kita berlanjut, maksudku... hubungan... fisik kita berlanjut, ciuman seperti tadi itu sah-sah saja, kok. Please." Aku mengangkat wajah Mahmoud yang menunduk. "Kalau kamu bersikap begini, nanti kamu nggak dengerin penjelasanku."

Akhirnya, bisa kulihat Mahmoud lebih relaks.

"Kedua," sambungku. Mahmoud menahan napas. "Rahasia."

Kami bertatapan saat kata itu terucap dari bibirku. Aku agak khawatir dengan reaksi Mahmoud untuk yang satu ini. Bisa saja sebagai bawahan dia tersinggung. Bos perempuan mana yang ingin merahasiakan hubungan dengan bawahannya kalau alasannya bukan karena malu? Gelombang inferioritas sedang kunantikan, tapi ekspresi tersakiti itu tak kunjung tampak. Sepertinya, Mahmoud justru sudah bisa menduga mengenai syarat yang satu ini.

Aku menjilat bibirku resah, tak tahu harus memberi penjelasan semacam apa. Kemudian, Mahmoud berdeham, "Adrian...," katanya. "Juga tidak boleh tahu?"

Kepalaku menggeleng saja.

"Kira-kira kalau dia tahu... apa yang akan dilakukannya?" tanya Mahmoud cemas.

Dari caranya bertanya, aku langsung tahu concern utama Mahmoud ke arah mana. Dia juga nggak mau Adrian tahu, makanya dia nggak terkejut mendengar syarat kedua dariku. Hanya saja, aku nggak terlalu paham maksud pertanyaannya.

"Apa dia akan menganggap saya merebut Bu Mina darinya?" Mahmoud memperjelas.

Aku menarik napas panjang secara spontan, mataku memandang jauh ke balik bahu Mahmoud untuk memberi diriku sedikit waktu berpikir. Secara tak sadar, aku memainkan daun telinganya dengan ibu jariku. Pundak Mahmoud yang masih kutekan dengan kedua tanganku bergerak resah, matanya menyorot tajam seolah aku sengaja melakukannya. Bibirku tersenyum, ternyata bukan Cuma aku yang sensitif di daerah situ.

"Sejujurnya, aku nggak tahu apa yang akan Adrian pikirkan kalau dia tahu kamu dan aku diam-diam tidur bersama. Selama ini... kalau enggak dengan orang asing... aku melakukannya dengan Adri, tapi kami bersahabat, tidak ada ikatan. Kami juga tidak melakukannya sesering itu. Hanya sesekali. Kalau kuingat-ingat... tidak lebih dari tiga kali."

Mahmoud tak menyimak penjelasanku, sebaliknya, hanya satu kata yang terserap olehnya. "Orang asing?"

Bola mataku tak sempat kugulirkan ke mana-mana, Mahmoud keburu menyekapnya. Seperti maling yang tertangkap tangan, aku tak bisa menyangkal. Aku bahkan tidak punya pembelaan apa-apa dan cuma bisa memaki-maki dalam hati. Baru kemarin kubilang aku tidak pernah memercayakan diriku pada seorang pria, kenapa aku melakukannya padamu, Moud? Sial. Dia pasti langsung tahu itu cuma gombalanku saja. Cowok lugu seperti Mahmoud mungkin memercayainya. Aku sudah membuatnya iba, makanya dia jatuh dengan mudah ke pelukanku.

Tentu saja, Mahmoud nggak ngomong apa-apa.

Aku sudah hampir menyerah, kemudian Mahmoud bertanya, "Apa syarat ketiganya... sama seperti dengan Adrian dan orang-orang asing itu? Tidak ada ikatan?"

Mulutku terkunci.

"Saya mengerti," kata Mahmoud lagi. "Cinta tidak ada dalam prioritas hidup Bu Mina karena ibu menghabiskan waktu untuk bekerja. Sama seperti Adrian. Saya juga mungkin... akan punya banyak sekali piring dan cangkir untuk dicuci. Siapa tahu? Bedanya, bukan cinta yang tidak bisa masuk prioritas hidup saya, cinta yang enggan memasukinya."

"Jangan bilang begitu," ucapku sambil menyentuh bibir Mahmoud dengan jari telunjukku. "Kamu nggak perlu jadi ikut-ikutan sinis begitu, Moud. Aku yakin kota besar nggak akan bisa menyingkirkan cinta dari prioritas hidupmu."

"Kenapa? Karena saya hanya seorang pesuruh yang punya banyak waktu luang?"

"No. Bukan begitu. Karena nggak ada yang melukai hatimu," kataku sambil membawa kedua tanganku merayap turun mengelus dada Mahmoud. "Nggak ada alasan buatmu menyingkirkan cinta dari prioritas hidupmu, Adrian juga tidak. Karenanya dia nggak menyukai ideku, dia hanya melakukannya karena dia... yah... laki-laki... kadang kalian hanya tak kuasa berkata tidak. Itu saja. Biar aku saja yang begini, kamu jangan...."

"Lalu... bagaimana saya bisa menemukan cinta kalau saya begininya sama Bu Mina?" tanyanya polos.

"Oh, Mahmoud," kataku geli. Kugosok rahangnya pelan dengan buku-buku jariku. Puncak hidungku dan hidungnya beradu. Napasnya membayangi napasku, Mahmoud memejamkan matanya khidmat saat aku berbicara dengan nada rendah yang kusengaja untuk menggelitik kembali hasratnya, "Orang bilang, cinta yang akan menemukanmu, bukan sebaliknya."

Kelopak mata Mahmoud membuka dan menemukan bola mataku yang menyongsongnya. Bibir dan wajahnya maju ragu-ragu menyasar bibirku sebelum kulihat ia meneguk ludahnya. Aku memupus jarak, bibirku dan bibir Mahmoud melekat satu sama lain selama beberapa saat sebelum tangannya kembali berani merengkuh pinggulku dan meremasnya. Remasan itu mendesirkan darahku demikian hebat hingga lekat bibir kami terurai. Kami sama-sama menarik napas gugup. Wajah Mahmoud begitu dekat, embusan napasku dan napasnya tertukar. Aku menelekan siku di pundaknya dan bergerak mengunci erat lehernya. Mahmoud, pada saat yang sama, mengentak punggungku maju hingga dadaku terhimpit dadanya. Mahmoud membuka kecil mulutnya melumat bibirku.

Aku menarik lepas kausnya. Mahmoud membuka butir-butir kancing kemejaku dengan bibirnya terpagut pada bibirku.

Kami melakukannya di situ dan dalam pelukan hangatnya, aku bisa membayangkan kami akan melakukannya di setiap sudut apartemen ini. Cepat atau lambat.

Berikutnya, aku akan dengan mudah menyetir Mahmoud sesuai kehendakku.

Baca part ini tiga kali lipat lebih panjang di Karyakarsa hanya dengan mendukung 11k

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro