27. Instant Noodle

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yuhuuu...
Siapa yang nungguin mas mahmoud?
Udah masuk reading list belum, niih?

Maaf semalam aku baru sempet post part 39-40 di KaryaKarsa.

Buat ikutan kehebohan harbolnas, selama 12.12 part 39-40 cuma 7k ya. Besok udah balik ke harga normal 9k.
Aku nggak pake vocer tapi pake potongan harga dengan waktu terbatas ya.

Untuk part 27 yang lebih panjang, bisa dibaca di KaryaKarsa. Ada paket part 17, 21-35 juga di KaryaKarsa supaya kamu yg baru nemu bisa buru-buru ngejar ketinggalan ❤️

Jangan lupa simpan semua bukti dukungan kamu, ya. Karena hanya yang dukung lengkap akan dapat pdf versi premium.

Mon maap kuulang2 terus habis masih aja ada yang nanyain 🤭

Makasih ya udah dukung. Dengan mendukung di KaryaKarsa atau beli buku original, secara langsung kamu support aku untuk terus menulis ❤️
Sebagai gantinya, aku ngasih kamu bahan bacaan yang jauh lebih memuaskan daripada yang bisa dibaca gratis.

Buat yang baca di wattpad doang juga makasih banget 😭 tanpa kalian aku nggak akan terus nulis gini. You really change my life.
Tapi... tolong ya jangan lupa vote dan komen ya...🤣

Lampu merah kedua, dan kali kedua juga aku nyaris menerabasnya.

Apa yang dipikirkan Bu Mina setelah aku mencium bibirnya? Kami memang bertukar banyak ciuman saat berbuat, tapi tadi itu aku sengaja melakukannya karena kesal. Perempuan satu ini dinginnya level mematikan. Bukan dingin sikapnya, melainkan dingin hatinya. Dengan terang-terangan dia memperlakukanku seperti alat pemuas, dia tahu pasti aku mau-mau saja. Dia tahu aku sudah jatuh hati padanya. Dia tahu aku nggak bisa berkutik. Dia tahu aku mau bukan karena aku bawahannya, aku mau karena aku mau.

Dia nggak berusaha terus mengingatkanku bahwa kami harus bercinta tanpa ikatan, dia memakai kausku dan mengatakan hal yang jelas-jelas akan menggetarkan jiwaku. Boyfriends's shirt. Sialan. Dia juga seenaknya menelanjangi dirinya sendiri di depanku padahal permainan cinta kami telah usai. Aku merasa dia sedang merencanakan sesuatu. Tapi apa? Kenapa aku merasa dia sengaja membuatku jatuh hati, padahal dia sendiri yang mengajukan syarat-syarat itu. Syarat-syarat yang hanya menguntungkannya sepihak.

Apa dari awal dia sudah merencanakannya? Jangan-jangan secara fisik dia sudah tertarik padaku, ingin tidur denganku, kemudian menyusun rencana? Mungkin saja. Namun, apapun kemungkinannya, nyatanya aku bersedia. Aku mengambil tawaran itu karena aku ingin melihatnya lagi, dan bisa jadi dia tahu itu. Wilhelmina Santoso tentunya punya kepercayaan diri tinggi, bukan? Sayangnya, meski semua kemungkinan itu kusadari, aku tetap saja nggak bisa berkata tidak. Lagi-lagi bukan karena aku bawahannya, aku nggak terpaksa-terpaksa amat sampai mau jadi pesuruh, aku memang mau melakukannya lagi. Terlebih sekarang.

"WOI JALAN WOI, ANJING!"

Lampu hijau kedua, dan kali kedua juga aku diteriaki anjing. Kota besar memang keras.

Aku baru saja meninggalkan motorku di parkiran depan gedung apartemen Adrian. Sengaja nggak kuparkir di basement karena aku mau langsung berangkat sehabis mandi. Petugas keamanan yang membukakan pintu menyambutku hangat, aku membawakannya seplastik odading hangat yang kubeli di depan.

Ponselku berbunyi sebelum pintu elevator membuka. Aku menjawabnya. Suara pria tak dikenal, tapi entah bagaimana aku bisa menduga siapa dia, menyapaku hangat seolah kami sudah berbincang akrab sebelumnya.

"Mas Sigit Handam Almahmoudi, kita sudah pernah bicara di apartemen Adrian waktu itu. Saya Stevan Adipura, manajernya Adrian. Gini, Mas... saya tahu Mas Mahmoud nggak tertarik di dunia modeling, tapi bagaimana kalau coba sesekali main ke agensi kami? Saya bisa ngasih gambaran lebih jelas mengenai dunia yang digeluti Adrian. Saya yakin Mas bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan pekerjaan ini-"

Aku memotong, "Saya sudah punya pekerjaan, Mas."

"Pekerjaan yang saya bicarakan ini sangat menjanjikan, lho, Mas, dan untuk orang-orang seperti Mas Mahmoud, jalannya bisa jadi sangat mudah. Mas tentu tahu, menjadi model adalah impian banyak orang, pekerjaan yang akan membawa banyak kemudahan di kemudian hari. Mas bisa menghasilkan lebih banyak uang dengan pekerjaan ini. Saya tidak menghubungi orang-orang sampai seperti ini setiap hari, Mas, kebetulan Klien yang sedang bekerja dengan kami membutuhkan orang yang kriterianya sangat cocok dengan Mas Mahmoud-"

"Saya nggak tertarik," tegasku.

"Mungkin... Mas bisa membicarakannya dulu dengan Adrian."

"Tidak perlu, Mas, saya-"

"Saya yakin Mas akan berubah pikiran setelah Mas berbicara dengan Adrian," katanya, yang membuat alisku lebih menukik daripada sebelumnya. "Adrian membutuhkan Mas Mahmoud sekarang ini...."

Aku menunggu, tapi Stevan yang sejak tadi kalimatnya selalu berhenti gara-gara kupotong malah sama sekali nggak melanjutkan ocehannya. Lift di depanku membuka, di dalamnya kosong. Aku menahannya untuk satu kalimat terakhirku, "Kalau Adrian membutuhkan saya, Adrian pasti langsung bicara. Saya tinggal di rumahnya, Mas Stevan. Untuk saat ini, saya tidak tertarik. Saya akan hubungi kalau saya berubah pikiran. Selamat pagi."

Kalau aku niat jadi model, aku udah jadi model buat Wilhelmina Santoso. Siapa tahu itu membuatnya bahagia. Aku menyimpan ponselku di saku sambil geleng-geleng kepala. Kalau aku beneran jadi model, apa syarat-syaratnya itu bakal dihapus?

Lift membawaku ke lantai unit Adrian, tapi sewaktu kumasukkan kunci ke lubang pintu, kunciku nggak mau diputar. Aku menariknya kembali, memutar handle pintu, dan terbuka. Jantungku berhenti berdetak sedetik, Adrian ada di rumah? Di dapur kecil yang langsung menyambut begitu aku membuka pintu, mataku disuguhi punggung dan bokong Adrian yang telanjang bulat. Di pinggangnya, sepasang kaki perempuan muncul entah dari mana menjepit pinggangnya. Aku tertegun. Kalau aku tidak habis melakukan hal-hal tak senonoh semacam itu beberapa jam sebelumnya, aku pasti sudah mengucap. Adrian sedang mengentak pinggul perempuan lain, entah mengapa aku merasa lega.

"Sorry, Mu, Ah! Ah!" katanya.

"Nggak apa-apa, lanjutkan aja," kataku sambil menutup pintu, masuk ke kamarnya untuk mengambil baju, lalu pergi mandi.

Perempuan itu tersenyum malu sewaktu aku selesai mandi. Adrian masih bertelanjang dada, sedangkan si perempuan sudah mengenakan kembali gaun yang mungkin semalam dipakainya. No boyfriend's shirt, ya, pikirku. Aku mencoba bersikap santai, menghampiri dapur saat Adrian menawariku secangkir kopi.

"Sorry, ya, berisik pagi-pagi," kata Adrian sambil meringis.

Aku baru menjawab saat perempuannya berkata, "Semalam nggak ada orang, kok."

Adrian menowel hidung mungil perempuan itu. "Sok tahu. Kamu aja mabuk berat, diapa-apain cuma ah, uh, aja, tahu apa? Lampunya juga mati. Mahmoud tidur di kasur lipat itu, iya, kan, Mu? Sarapan di luar, Mu?" tanya Adrian. "Kamu, sih, berisik pagi-pagi udah minta lagi."

"Habis semalam nggak kerasa," kata perempuan itu manja, lalu mereka mengekeh.

Aku nggak berniat meluruskan anggapan Adrian sebab itu menguntungkanku. Mau jawab apa aku kalau dia nanya? Tidur di kantor? Mustahil, kan? Terakhi kali dia menyuruhku menyusul Bu Mina, bisa saja dia menuduhku macam-macam kalau dia peka. Rupanya semalam dia hanya berpesta, bukan ada pekerjaan. Aku mengangsurkan amplop yang ditunggunya begitu perempuan itu meninggalkan apartemen.

"Pacarmu?" tanyaku.

Adrian sepertinya bosan mendengarku bertanya begitu. Aku sendiri juga ngerasa agak munafik, kayak aku nggak paham aja apa yang barusan terjadi. "Mina bilang apa soal amplopku? Dia nanyain aku nggak?" tanyanya, tanpa menjawab pertanyaanku.

"Cuma kenapa kamu nggak mengambilnya sendiri," bualku.

"Dia sama sekali nggak menghubungiku setelah aku marah-marah kemarin. Dia memperlakukanmu dengan baik, kan?"

Aku menatap Adrian, agak sangsi dengan apa maksud pertanyaannya. Apa dia bertanya tanpa maksud, atau dia berpikir yang tidak-tidak? Akhirnya aku hanya mengangguk. Gara-gara gugup dan aku merasa masih punya cukup waktu untuk sarapan, aku berkelit ke balik punggung Adrian untuk membuka kabinet dan mengambil sebungkus mie instan.

Adrian memperhatikanku dengan sorot mata heran, "Kamu bukannya keluar sarapan?"

Brengsek.

"Kamu semalam tidur di sini, kan?" tanyanya lagi.

Aku berdeham, "Aku mau bikinin kamu ini," kilahku. "Aku nggak tahu mau beliin kamu sarapan apa, nggak jelas kamu di dalam sama berapa orang."

Dia tertawa. "Berisik banget, ya?" kekehnya, terdengar agak pongah. "Aku suka yang agak berisik."

Oh... apa karena itu dia menolak ajakan Bu Mina? Bu Mina tidak berisik saat bercinta, desahannya tepat, pada saat-saat yang menurutku dibutuhkan, dan ya... aku menyukainya. Kurasa aku dan Adrian punya selera yang berbeda. Bu Mina memang perempuan pertama yang kutiduri, tapi rasanya aku nggak perlu banyak mencoba lagi untuk tahu apa yang kusukai.

"Nggak usah bikinin aku mie. Aku nggak bisa makan makanan kayak gitu sampai pekerjaanku yang ini selesai. Aku masih harus ningkatin massa otot dan nurunin berat badan sedikit. Pengambilan sampel gambarku ditunda gara-gara menurut mereka, posturku agak lebih mengembang daripada saat terakhir di-audisi. Oh iya... Stevan nelepon kamu, enggak?"

"Oh.. iya," jawabku pendek sambil menyimpan kembali mie instan ke dalam kabinet.

"Sorry, ya, dia mendesakku terus. Kupikir ya sudahlah, toh kamu paling-paling juga nggak mau. Kalau kamu berubah pikiran, coba aja tanya-tanya aku dulu. Agensi kayak gitu kalau sama orang baru suka menindas, kamu harus paham dulu seluk beluk mereka. Salah-salah, kamu malah bakal diperas aja. Mau jalan ke kantor?"

Aku mengangguk saja, sambil diam-diam berpikir, tapi buru-buru kutepis karena malas. Adrian benar, toh aku nggak akan tertarik. Kurasa Stevan juga cuma membual waktu bilang Adrian membutuhkanku. Aku meninggalkan dapur, mengemasi barang-barangku ke dalam ransel dan berpamitan.

"Mu, anu... jangan bilang ke Mina soal yang barusan, ya?" pesan Adrian sebelum aku membuka pintu.

Aku mengerutkan alis, Adrian menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Kenapa?"

"Yah... dia kan orangnya kadang terlalu hati-hati, kalau tahu aku ada main sama perempuan lain, pasti dikira pacarku. Kalau dia mikir aku punya pacar, nanti dia menjauh. Bukannya apa-apa, sih, tapi-"

"Bukannya kamu nggak mau sama dia?"

"Memang nggak mau, bagaimanapun juga, dia sahabatku. Aku peduli dan sayang padanya, tapi... yah... siapa yang tahu ke depannya gimana, kan? Lagipula, daripada dia tidur sama laki-laki nggak jelas, lebih baik dia tahu kalau aku selalu ada. Aku nggak akan nyakitin dia."

Aku tercekat sejenak sampai lupa bernapas. Untung Adrian tidak berlama-lama menanti reaksiku dan segera berlalu. Aku nggak akan nyakitin dia, katanya? Memangnya aku akan nyakitin dia, apa?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro