46. Caffeine and Nicotine

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mau lanjut TMM versi Wattpad dari kemarin ternyata votes-nya masih jauh.

Kalau gitu, nanti aku bikin baca lanjutan versi wattpad aja ya di karyakarsa setelah premiumnya tamat.
Btw Premiumnya ini udah mau tamat. Udah sampai part 94-95, udah ketahuan siapa anunya si ininya Mina. Wkwkwk...

Jadi nanti setelah premium tamat, buat pembaca wattpad yang nggak sabar nunggu update karena vote-nya lama goal, bisa ke Karyakarsa. Versinya tetep versi wattpad, bukan versi panjang, hanya lanjutan part terakhir yang diupdate di wattpad sejak premium tamat. Di sana dalam satu unggahan langsung tamat. Mungkin mulai part 50an kali, yah. Harganya nanti nggak mahal-mahal amat. Kualitasnya tentu beda dari premium, yah.

Di wattpad akan tetep dilanjut sampai kapanpun asal target vote per part-nya masuk. Kalau mau lama-lama, silakan, tapi yang pengin baca tamat buruan, juga bisa. Jadi sama-sama enak, ya.
Muach!

Sejak kecil, Adrian lah yang selalu menginginkan apa yang jadi milikku. Sepeda, mainan telur-teluranku yang kalau diutak-atik menjadi monster babi, pensil warna, dan macam-macam lainnya bisa tahu-tahu berpindah ke rumahnya setelah kami memainkannya bersama-sama. Ada yang terang-terangan direbut, ada pula yang diam-diam dipinjamnya. Sesekali aku merelakannya, tapi lebih sering aku memilih baku hantam.

Ummi selalu memintaku mengalah, tentu saja. Abhi yang selalu mengajariku untuk mempertahankan hak diam saja karena kurang setuju dengan imbauan Ummi. Tapi itu sudah lama berlalu, saat kami masih anak-anak. Aku tidak pernah mendendam karena setelah kami sama-sama remaja, dia pemuda yang sangat baik. Aku kadang iri akan impiannya yang begitu besar, dia selalu tahu kapan dia akan meninggalkan desa untuk meraih gemerlap kehidupan kota, tapi hanya sebatas itu saja. Aku tak pernah menginginkan apapun darinya.

Sebelum ini.

Aku nggak bilang Bu Mina sepadan dengan segala mainan dan sepedaku yang dirampasnya dulu, tapi ini pertama kalinya aku menginginkan sesuatu yang dimilikinya lebih dulu. Hanya karena aku masih waras saja, aku nggak berteriak di depan mukanya untuk sekali saja merelakannya untukku. Lepaskan dia buat ganti monster telur babiku dua puluh tahun yang lalu!!! Tuhan masih melindungiku dengan akal sehat.

Aku nggak pernah menginginkan sesuatu secara berlebihan. Malahan, aku jarang sekali menginginkan sesuatu. Aku hanya menerima dan pasrah, apa saja kulalui seperti embusan angin dan aliran air. Tak pernah kuterjang. Abhi-ku pernah bilang, Mahmoud ini bahaya. Anaknya nggak punya ambisi apa-apa. Makanya saat kubilang aku ingin merantau, Abhi langsung menebak sebenarnya apa tujuanku pergi. Aku menyangkal dan sayangnya aku menyangkal terkaan Abhi waktu itu. Abhi menuduh aku nggak mau dinikahin sama Lastri. Yah, itu nggak sepenuhnya salah. Aku betah hidup di desa mengangkut beras atau nantinya membantu Mas Ahmad mengelola kios, tapi semua gagasan pasrah yang sederhana itu jadi mencekam ketika Abhi dan Ummi mulai mendesakku untuk menikah. Kuliah gagal, pegangan nggak ada, disuruh menikah. Lastri sendiri tidak bekerja, lalu mau jadi apa keluarga kami nantinya?

Ketika aku menginjakkan kaki di Jakarta, aku nggak ada pikiran akan menemukan cinta. Aku hanya ingin kabur saja. Kalau aku perginya lama, aku yakin orang tua Lastri akan capek nunggu, lalu mencarikannya lelaki lain dan berhenti mengusik kehidupanku. Beberapa bulan sejak saat itu, yakni sekarang... aku malah sudah lupa sama sekali pada tujuan awalku pergi ke kota. Cinta membuatku melakukan banyak hal gila. Aku meniduri perempuan yang bukan istriku, memikirkan cara bagaimana agar aku bisa selalu memenuhi harapannya meski harus melakukan sesuatu yang tak kusukai, bahkan dengan sengaja menjelek-jelekkan sepupuku sendiri, serta membuatnya cemburu. Akan tetapi dalam kondisi seperti ini, yang bisa kupikrikan hanya satu: Adrian sedang berusaha mencuri gadisku. Semua pikiran di atas itu kurekap setelah perasaanku sedikit lebih tenang.

Sewaktu Adrian memeluk erat tubuh perempuan itu, perutku langsung mual. Rasanya aku ingin muntah. Oh iya... kalau marah sekali, aku begini. Biasanya, tinjuku baru bicara sedetik setelahnya. Kadang kala yang lain, isi perutku meluap setelah tinjuku melayang. Apa ini sering terjadi? Tidak. Sangat jarang, tapi pernah. Yang paling parah sewaktu aku menghabisi orang yang datang ke rumah untuk menagih uang yang tidak dipinjam Abhi dan mulai kurang ajar padanya. Aku membuat semua orang takut karena mereka tak pernah mengira aku punya sisi seperti itu.

Tenang, Mahmoud..., tenanggg... berulang kali aku mencoba meredam gundah yang mengaduk-aduk dadaku. Semakin aku membayangkan tubuh Bu Mina dalam pelukan Adrian, urat-urat syarafku mengencang. Aku mencoba mengatur napas, kalau kubiarkan begini... pembuluh darahku beneran bisa pecah. Tetangga kami di desa ada yang begitu. Pulang dari merantau yang jauh, istrinya ternyata tertangkap basah bercinta dengan sahabatnya. Sial, aku nggak mau stroke sebelum usia 30. Aku meregangkan otot-ototku, menarik napas panjang.

Sejak awal toh aku tahu dari peraturan-peraturannya, dia tak ingin dimiliki olehku.

Aku tahu, aku tahu, aku tahu, tapi aku nggak bisa membayangkan orang lain-apalagi Adrian-berada di dalam ruangan yang sama dengannya, memeluknya, merajuk padanya. Aku bahkan nggak pernah punya kesempatan melakukan semua itu. Yang kami lakukan hanya bercinta, bercinta, dan bercinta, tak ada kemesraan seperti yang barusan kulihat dicurahkannya pada sepupuku. Aku mulai menginginkan semuanya dan itu membuatku frustrasi. Aku juga nggak tahu apakah benar alasannya tak ingin menjalin hubungan benar-benar karena luka di masa lalunya, atau kesibukannya, dan bukan karena dia punya perasaan khusus pada Adrian.

Sebaiknya aku keluar saja dari sini, atau aku akan jadi gila.

Pintu lift di depanku membuka tepat saat aku mendengar pintu apartemen Bu Mina dibuka dari dalam. Dia terengah di depan pintu, bibirnya membuka seperti akan memanggilku, tapi karena sebelumnya mata kami bertemu, dia hanya diam dengan alis melengkung. Memohon supaya aku mengurungkan niatku untuk pergi.

Pergi saja dulu, biarkan dia berpikir dia sudah kehilanganmu, Mahmoud....

Kemudian aku sama sekali tidak menghentikan langkahku meski Bu Mina berlari ke arahku. Hal terakhir yang kulihat sebelum pintu lift sepenuhnya menutup adalah wajah cantiknya yang penuh penyesalan.

Dan bisa-bisanya, pada saat seperti ini, ekspresinya membuatku sangat terangsang. Sialan. Aku menjotos pintu lift yang memantulkan mimik mukaku. Brengsek. Apa gunanya membuatnya merasa kehilangan kalau di dalam apartemennya ada laki-laki lain? bagaimana kalau dia malah merasa benar-benar kehilanganku dan melampiaskannya pada pria lain?

Pintu lift membuka, aku berniat naik kembali, tapi ponselku bergetar.

Nomor tak dikenal. Abhi lagi? Tidak mungkin. Aku menjawabnya, tapi karena posisiku di dalam lift, penerimaanku kurang baik. Saat kudengar suara yang kukenal di ujung sana, kuputuskan untuk keluar. Pikiran jahatku kembali menyusup ke balik punggung, menyelinap ke relung hati. Suara agen Adrian yang menawariku pekerjaan tempo minggu.

"Saya sudah bilang, saya tidak tertarik," kataku galak, jual mahal sedikit. "Lagi pula, Bapak menelepon jam segini, ini sudah larut malam. Apa tidak berpikir hal seperti ini sangat mengganggu kedamaian orang lain? Saya bisa saja sudah tidur!"

"I am so sorry, Mas Mahmoud... Begini, saya nyari-nyari Adrian sejak tadi... apa Mas Mahmoud tahu dia di mana?"

Aku menunggu.

"Saya khawatir sekali dengan keadaannya. Beberapa waktu lalu dia nanya, apa Mas Mahmoud ada hubungannya dengan pekerjaannya yang tersendat, apa Ma Mahmoud bicara padanya apa yang saya bicarakan waktu itu?"

"Saya nggak ingat Mas menyebut-nyebut mengenai pekerjaan Adrian, Mas hanya bilang kalau saya tertarik... ada klien yang mungkin cocok dengan kriteria saya. Jadi, benar kekhawatiran Adrian tersebut? Kalau benar, pantas sekali Adrian tampak sangat kecewa pada saya. Saya pikir ini tidak adil, sayang bahkan nggak tahu apa-apa!" Dan gara-gara itu, sekarang orangnya sedang merajuk di pelukan perempuan yang baru saja kutiduri! Aku sama sekali lupa pada niatku untuk kembali ke atas dan menjumpai Bu Mina

Kudengar Stevan menghela napas panjang. "Adrian... yah.. bagaimana kalau kita bertemu saja supaya saya bisa menjelaskannya? Mas Mahmoud sekarang di daerah mana?"

Aku menyebutkan daerah tempat apartemen Bu Mina. Ada banyak tempat bertemu yang masih buka hingga pagi di sekitar sini.

Stevan sepertinya termenung sesaat mendengar jawabanku, "Ada Adrian juga di sana? Mas Mahmoud yang mengantarnya ke apartemen Wilhelmina?"

Jadi dia juga tahu apartemen Bu Mina di mana?

"Inilah kenapa saya agak mewanti-wanti sepak terjang Adrian selama ini. Klien kami sangat membutuhkan image yang bersih, tanpa skandal. Wilhelmina Santoso, meski perusahaannya masih sangat kecil, tapi bergerak di bidang yang sama dengan produk yang akan dipasarkan Adrian," terang Stevan sesaat setelah kami akhirnya bertemu di coffee shop terdekat. Dia memesan secangkir kopi hitam tanpa gula. Usai menghirup uapnya, dia meletakkan cangkir itu kembali ke meja. "Klien saya baru tahu Adri punya hubungan yang dekat dengan Wilhelmina, untuk itu mereka kurang menyukainya. Tapi di sisi lain... walaupun tahu Mas Mahmoud justru bekerja untuk perusahaan Mina, mereka malah semakin ingin menggaet Mas Mahmoud untuk bergabung."

"Kalau saya bergabung...."

"Kalau Mas Mahmoud bergabung... di sinilah hal tersulitnya... saya sendiri juga bingung... awalnya... mereka menginginkan dua model sekaligus dengan Adrian sebagai talent utama, tapi baru-baru ini... mereka mengubah keputusan tersebut. Mereka mau Mas Mahmoud yang jadi face utamanya, baru Adrian setelahnya. Mereka lebih menyukai Mas Mahmoud!"

Mereka lebih menyukai Mas Mahmoud? Aku mengernyit, terdengar gombal sekali, tapi lalu aku ingat ini urusan bisnis, bukan urusan asmara. Meski bisa jadi sama saja, urusan bisnis kalau belum deal juga awalnya penuh rayuan. Hanya saja... aku sungguh nggak mengerti. "Kenapa saya? Apa istimewanya saya dibanding Adrian?"

"Saya yakin... mereka memiliki pikiran yang sama dengan orang-orang yang mempekerjakanmu di perusahaan Wilhelmina. Mas Mahmoud sangat representatif untuk mewakili produk-produk kesehatan dengan tubuh bugar, sehat, serta wajah yang rupawan. Muscular, tapi tidak berlebihan, ideal seperti Adrian. Bedanya... belum banyak yang mengenal wajah Mas Mahmoud sebelumnya, itu yang menjadikan klien saya sangat menyukai sosok Mr. Mahmoud di instagram. Mereka jatuh hati pada konten-konten amatir Mas Mahmoud yang apik, bersahaja, dan tulus. Sayangnya... di situ kekurangan besar Adrian, dia kurang terampil memainkan media sosial. Di zaman sekarang ini... orang lebih tertarik pada kehidupan sehari-hari seseoang, semakin orang banyak tahu keseharian idolanya, mereka akan semakin mudah dipengaruhi."

Aku hampir saja menyemburkan air kopi yang barusan kusesap gara-gara kesulitan menahan tawa. Mereka mengira itu perbuatanku? Yang benar saja....

"Sebagai kawan... saya sangat sedih mengenai hal ini, tapi di sisi lain... ini pekerjaan saya," tutur pria berwajah bulat dengan bibir kelewat tipis itu gundah. Sepanjang pengamatanku, dia tidak memalsukan kegelisahannya. "To be honest... kalau saya gagal mendapatkan Mas Mahmoud... reputasi saya di depan klien bisa buruk, apalagi... kalau sampai saya didahului oleh pihak lain. Apa Mas Mahmoud benar-benar tidak tertarik?"

"Maksudnya?"

"Kontrak semacam apa yang mengikat Mas Mahmoud sekarang ini dengan HBM?" tanyanya to the point.

Kontrak konsensual, rahasia, dan justru tanpa ikatan sama sekali, batinku, tapi tak bisa kulepaskan karena terlalu menyenangkan. Tubuh telanjang Bu Mina berkelebat di benakku, sedang apa dia sekarang? Sedang memeluk Adrian? Menyusui bayi besarnya yang menggerutu? Sialan, darahku mendidih lagi.

Aku menggeleng untuk menjawab, "Sejujurnya... itu lebih seperti kewajiban sebagai karyawan." Aku diam sejenak dan menambahkan, "Sejauh ini."

Mata Stevan membola, "Tidak ada ikatan lain? Jadi benar konten-konten itu dibuat secara sukarela?"

Karena seingatku itulah yang ingin Mas Gio perlihatkan kepada publik, aku mengangguk.

"Dengar, Mas Mahmoud... saya yakin sekali... dari lonjakan pengikut dan penjualan HBM, Mas Mahmoud setidaknya harus punya nilai kontrak dalam jumlah yang lumayan. Lupakan sebentar soal Adrian, asal saya bisa menggaet Mas Mahmoud... saya yakin saya bisa mencarikan celah untuk Adrian, selain dia toh sudah mendapatkan uang yang sangat banyak meski kontrak itu gagal... memangnya... Mas Mahmoud tidak ingin mendapatkan kesempatan lebih besar... dan uang yang... lebih banyak?"

Alisku mengerut, "Adrian tak akan menyukainya."

"Sebaliknya, Adrian seharusnya berterima kasih pada Mas Mahmoud. Mas Mahmoud tahu kenapa? Karena mungkin proyek ini nggak akan jalan sama sekali kalau Mas Mahmoud tidak bergabung sama sekali."

Adrian akan berterima kasih? Aku nggak yakin. Dia akan jauh lebih terluka lagi, apalagi setelah dia curiga ada rahasia antara aku dan Bu Mina. Menurutku meski Bu Mina menyangkal bahwa kami tidur bersama, bahwa aku menyukai perempuan itu, Adrian tetap berpegang teguh pada asumsinya. Buktinya, dia sengaja memeluknya erat di hadapanku, menunjukkan padaku dia lebih berhak.

Tiba-tiba, aku berkata, "Tunjukkan pada saya kontraknya dan apa saja yang bisa saya dapatkan. Saya akan mempertimbangkannya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro