55. Overjoyed Cake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rencananya hari ini atau besok, TMM di Karyakarsa bakal tamat. Makasih ya buat yang mau dukung aku di karyakarsa juga. Love you!

Mas Mahmoud, kelanjutan pembicaraan kita kemarin bagaimana, ya? Apa kita bisa membicarakannya lagi? Saya mencoba menghubungi Mas Mahmoud dari kemarin tidak ada tanggapan. Di kantor juga sepertinya saya dihalang-halangi bicara dengan Mas Mahmoud. Klien saya sudah melihat contoh-contoh foto yang kita ambil kemarin. Mas Mahmoud masih ingin membantu Adrian, kan?

"Sayang..."—Bu Mina menggeser pintu pantri—"yuk?"

Aku mengangguk sambil buru-buru menutup dan menyimpan ponsel ke sakuku. Pesan Stevan sudah kuabaikan selama seminggu penuh, kurang lebih setelah aku dan Bu Mina resmi menjadi sepasang kekasih. Aku sibuk mencurahkan dan dicurahi kasih sayang, rasanya hal-hal lain jadi kurang penting. Lagipula, Bu Mina terus menyiratkan bahwa dia sangat senang aku menolak draft kontrak Stevan, aku nggak bilang waktu itu aku sampai bikin sample foto sama agensinya buat klien yang katanya hanya akan memakai Adrian sebagai model kalau aku bergabung.

"Kamu udah siap, kan?"

Aku mengangguk.

Bu Mina mencuri-curi pegang tanganku saat kami berjalan beriringan dari pantri menuju studio. Pacarku sudah mengenakan gym short ketat yang memperjelas lekuk pinggul dan bokongnya, juga sport bra yang menekan dadanya hingga membulat di tengah. Aku baru akan ganti baju sesekali membalas menggesekkan punggung tanganku ke jemarinya sambil pura-pura terus memandang lurus ke depan. Kalau aku melirik, Bu Mina biasanya sedang tersipu-sipu malu. Kami akan sama-sama buang muka dengan senyum miring dan alis menukik Kalau sudah begitu, dadaku biasanya berdegup lebih kencang. Hubungan diam-diam ini terasa jauh lebih mendebarkan dibanding sebelumnya.

Semakin dekat dengan pintu studio, aku membisik di telinganya, "Jangan lupa imbalan yang ibu janjikan kalau saya bekerja dengan baik hari ini."

Aku berkelit menghindari cubitan yang disasarkan ke pinggangku.

Imbalannya apa?

Yang jelas, seputar hal-hal dewasa yang tak ada habisnya kugali bersamanya. Kalau hari ini aku bekerja optimal, Bu Mina akan menyanggupi harapanku saat aku tak sengaja menemukan setelan bikini hitam kecil di laci pakaian dalamnya. Kupikir itu pakaian dalam anak-anak, sampai kemudian saat kutarik, seutas tali panjang menjuntai di empat ujung kain mungilnya. Aku memintanya mengenakan hanya itu sepanjang hari akhir pekan ini dan aku boleh melucutinya kapan saja.

"Good morning, Mr. Mahmoooud!"

Kedatanganku disambut rombongan penata rias dan pengarah gaya yang sudah di-briefing Mbak Tamara sejak pagi tadi. Aku sudah digodog habis-habisan seminggu belakangan, jadi sewaktu Bu Cynthia memanggilku buat tanda tangan kontrak (yang kububuhi tanda tangan tanpa benar-benar membacanya) Mas Gio nggak perlu mengulang apapun lagi. Aku dibiarkan mengurus pekerjaan utamaku di pantri, bikin heboh mas-mas kemayu yang memadati kantor, diunggah ke IG story mereka, dan pengikutku bertambah lima ribu orang dalam satu jam (Mbak Riana yang bilang)

Mas Jamie—sang kepala suku pria-pria genit itu—kali ini tidak menyerahkanku pada staf-nya, dia menanganiku dengan tangannya sendiri. Semata-mata karena hari ini pemotretan sesungguhnya untuk produk-produk kolaborasi antara Mr. Mahmoud dan Wilhelmina Santoso bertajuk MinaXMahmoud. Sebelum benar-benar launching, sudah ada sekitar 1500 orang yang book paket lengkap merchandise tersebut tanpa tahu apa saja yang akan mereka dapatkan. Mereka bahkan rela membayar lebih mahal karena hanya 2000 pembeli pertama yang akan mendapatkan sepuluh lembar photo card-ku.

(Aku mengira mereka bercanda waktu itu. Photo card-ku sampai sepuluh lembar? Buat apa? Nakut-nakutin kecoa di rumah mereka?)

"Let's go, Mahmoud!"

Aku melompat-lompat kecil untuk merelakskan syaraf-syarafku yang agak tegang. Aku nggak menyangka studio siang ini bakal seramai itu. Meskipun sebelumnya sudah diberitahu, aku tetap saja gugup menghadapi tiga orang fotografer profesional yang menangani pengambilan gambar untuk official promotion. Untungnya, tadi sore aku sudah dipertemukan duluan dengan tim fotografer itu, kami mengobrol cukup banyak bersama Bu Mina dan yang lain mengenai konsep promosinya. Jadi walaupun Pak Tommy—pemegang kamera utama—orangnya sudah seusia Abhi dengan rambut wajah tebal dan sorot mata tajam, aku tidak lagi merasa kelewat amatiran untuk bekerja dengan seorang pro di bidang pemotretan sepertinya.

Tetap saja, aku tidak sepuas biasanya saat kamera mulai rolling. Gerakanku sering diulang meskipun mereka tidak terlihat keberatan, aku sendiri yang nggak enak. Hampir tiap sesi, staf Mas Jamie turun ke set untuk menghapus keringat dan menotolkan entah apa di hidung dan keningku. Sesi berfoto dengan Bu Mina lebih buruk lagi, aku gemetaran. Setiap kali aku diminta menyentuhnya, aku merasa semua mata menuduhku.

"Kenapa?" Bu Mina mengikutiku ke balik bilik untuk berganti pakaian dan menyuruh staf Mas Jamie keluar.

"Saya nggak apa-apa," aku berdusta.

"Kamu gugup sekali, Mahmoud... Mahmoud!" Bu Mina mencengkeram kerah jaketku dan mengguncangnya. "It's okay... mereka hanya orang-orang biasa... anggap saja mereka seperti Gio dan Albert... hey...."

"Bukan itu masalahnya," aku menggenggam tangannya. "Saya merasa semua orang menatap saya curiga. Saya merasa semua orang tahu kenapa saya bisa berada di sana, dan bukannya model-model lain yang lebih berpengalaman"—suaraku memelan—"Saya merasa mereka sudah tahu apa yang saya lakukan untuk mendapatkan pekerjaan ini. Saya nggak membaca semua hal yang tertera di kontrak, tapi saya melihat nominal yang sangat besar, saya merasa seperti... koruptor."

Bu Mina sontak mengernyit.

"Yah... bukan koruptor, apa ya namanya... kalau seseorang mendapatkan pekerjaan karena"—suaraku lagi-lagi kupelankan sambil melirik ke arah pintu bilik—"meniduri Bu Mina."

"Astaga...," kesahnya. Tangannya berhenti merenggut pakaianku dan sekarang memijat pelipisnya sendiri. "Mahmoud... duduk sini," katanya, lalu membimbingku duduk di kursi dan dia sendiri bersimpuh di antara kedua kakiku. "Ini nggak ada hubungannya sama sekali. Aku mengajakmu tidur denganku, kamu nggak merayuku...."

Aku menggeliat resah, itu nggak benar. Aku tahu dia menginginkanku, dan aku menginginkannya lebih lagi. Aku bahkan memintanya jadi pacarku, siapa yang tahu dia menyanggupinya karena tak ingin aku lari? Siapa yang tahu dia khawatir saat aku menyebut-nyebut nama Stevan dan menganggapnya ancaman? Perempuan di depanku ini... bukankah beberapa saat lalu dia masih sangat takut menjalin komitmen dengan siapapun karena luka hatinya di masa lalu?

"Mahmoud... please...," pelas Bu Mina terdesak. "Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan padamu, aku nggak pintar membujuk. Tapi... apapun yang kamu pikirkan itu nggak benar. Aku sayang sama kamu, Mahmoud... mungkin bagimu aku berubah pikiran terlalu cepat, tapi memangnya kamu pikir... setelah sekian lama kita bemesraan... nggak ada yang diam-diam berubah dalam hatiku? Aku ini manusia, Moud... perempuan... aku bukan robot. Aku punya perasaan. Soal kamu merasa semua orang menuduhmu curiga...," Bu Mina mengambil jeda sejenak untuk menarik napas panjang dan memejam, saat ia membuka matanya kembali bibirnya masih terlipat. Gantian aku yang mengerutkan kening menunggu apa yang akan dikatakannya. Lalu hati-hati sekali dia bilang, "Semua orang memang sudah tahu—"

"Apa?"

"Mungkin nggak semua orang...."

"Apa yang mereka tahu? Tapi bukannya semua ini seharusnya rahasia?"

"Aku tahu...," Bu Mina mengeluh putus asa. Dia melepaskanku sama sekali dan menjatuhkan bahunya. Kedua tangannya terjalin jadi satu di antara pahanya yang bersimpuh. Lehernya menekuk patah, kepalanya menunduk. "Aku membeberkannya gara-gara kupikir kamu pergi. Pagi itu... setelah kejadian dengan Adrian... kupikir Adrian mengadu dan kamu pergi. Aku... aku nggak tahu apa yang harus kulakukan saat itu. Aku takut semua rencana kami berantakan dan aku disalahin karena udah ngecewain kamu... akhirnya aku... mereka mendesakku, Moud... aku tahu itu peraturanku, tapi—"

"Bu Mina," potongku cepat, menghentikan ocehannya yang sudah mulai terdengar seperti meracau. Tubuhku condong ke depan, tanganku meraih kedua sisi rahangnya, mengusapnya lembut. Apa dia nggak tahu betapa leganya aku sekarang? Aku mencintainya, aku ingin seluruh dunia tahu dia milikku.

"It's okay...," ucapku, dengan nada yang sama dengan caranya bicara padaku. "Sebaliknya... saya capek sekali diam-diam seperti ini, tapi... apa ibu tidak apa-apa?"

"Aku?"

"Ya... apa ibu tidak apa-apa? Bukankah semua peraturan itu... ibu yang membuatnya? Ibu yang tidak ingin orang tahu ibu dekat dengan seorang pesuruh seperti saya—"

"Kamu bukan pesuruh lagi, Moud...."

"Mereka akan tetap menganggap saya seperti itu, terlebih setelah kita bersama. Predikat itu akan melekat terus kepada saya. Mahmoud si pesuruh berkencan dengan CEO yang dijadikannya model supaya bisa dikencaninya—"

"Mahmoud aku sama sekali nggak punya pikiran menjadikanmu model supaya aku bisa tenang-tenang macarin kamu!" sergahnya nggak terima. "Aku pernah memikirkannya... kuakui... saat kamu pertama kali mengesankanku dengan performamu di tempat tidur"—kami sama-sama tertawa kecil dengan kikuk—" tapi sungguh... aku justru mengubah keinginanku, aku menidurimu supaya kamu mau melakukan semua hal yang kuinginkan... oh, sial... aku mengatakannya juga."

Aku menata hatiku dengan cepat, kutekan tengkuknya erat. Aku nggak bodoh, aku sudah menduga itu sejak awal.

"Tapi Mahmoud...," katanya lagi. "Kamu percaya, kan, semua orang bisa berubah pikiran? Aku... maunya kita melupakan semua yang kita lakukan sebelumnya, alasan-alasanku, alasan-alasanmu... yang penting sekarang... aku duduk lebih rendah darimu, Mahmoud... memohon... bukan hanya untuk perusahaan ini dan orang-orang yang bekerja di sini... tapi juga untukku... untuk hatiku yang sudah tertambat ke kamu. Apapun yang kita lakukan dulu... nggak penting lagi... please...."

Dia tidak perlu memohon, tapi jujur saja... aku menyukai apa yang kulihat. Perempuan angkuh yang dengan seenaknya merayu bawahannya, mengajaknya menjalin hubungan dengan peraturan yang hanya menguntungkan baginya, menentukan kapan saja dia mau, dan tak pernah bertanya kapan aku mau, lalu bahkan setelah mengaku dia meniduri sepupuku di malam yang sama, masih bersikeras sudah melakukan hal yang benar, kini bersimpuh dengan mata berkaca-kaca. Aku masih belum yakin apakah dia sungguh-sungguh menyukaiku, atau ini masih bagian dari caranya memintaku tinggal supaya bisa mengerjakan semua perintahnya. Terlebih, kalau semua orang di kantor ini sudah tahu, bisa saja mereka menyusun rencana ini di belakangku.

Aku ingin tahu... apakah air mata ini sungguhan, atau....

"Apa itu?" Bu Mina berdiri tiba-tiba gara-gara terdengar suara ribut-ribut di luar. Aku beranjak bersamanya dan secara refleks melindunginya di balik tubuhku ketika Adrian mendobrak masuk bilik. Matanya yang merah terbakar amarah sedetik kemudian membeliak menemukan Bu Mina di balik punggungku. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro