70. Move Out

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini part terakhir yang aku post di wattpad. Aku udah bikin part lanjutan 71-100 dengan harga sangat murah, Rp20.000,- sebagai solusi buat yang budget mepet tapi mau tau kelanjutan Mahmoud sampai ending di karyakarsa.

Klik link karyakarsaku di bio wattpad biar kamu dukung via web aja, jangan via aplikasi. Via web kamu bisa langsung dukung pakai ewallet, gak usah top up koin. Misal mau top up pun, di web lebih murah. Baru kalau udah dukung, bisa baca di aplikasi.

Di PDF lanjutan itu nanti ada keterangannya part-part mana aja yang ada special part-nya. Jadi misal kamu mau baca special part-nya juga, mau tau adegan ewew Mahmoud sama Minul silakan dukung part2 special tersebut 😅

Selanjutnya kalau mau baca extra part, dukung paket aja, ya. Satuan juga bisa.


Aku tahu dia sudah berdiri di belakangku, tapi pura-pura nggak tahu.

Ransel yang kubawa kemari tempo hari sudah penuh, tapi setumpuk lagi pakaianku masih tercecer di atas tempat tidur setelah kukeluarkan dari lemari. Selama tinggal di sini bersamanya, aku membeli cukup banyak baju baru untuk kepentingan konten. Sebagian besar boleh kubawa pulang karena Bu Mina memaksa. Mungkin aku harus meninggalkannya di sini supaya semua barangku muat ke dalam ransel. Aku mengeluarkannya lagi dan mulai memilih.

"Pakai kopor di kamarmu aja, Moud," katanya lembut.

Aku berhenti bergerak. Baru sekarang napasku terembus berat saat dia ada di sekitarku. Biasanya napasku hanya terembus berat kalau kami melakukan hal-hal lain yang mendebarkan. Aku menjawab tanpa menoleh padanya, "Nggak usah. Saya bawa barang-barang yang memang saya bawa ke sini saja. Terlalu bawa banyak barang malah merepotkan."

"Lagi pula... kamu kan masih bisa ke sini lagi buat mengangkut sisanya," imbuhnya enteng.

Kuputuskan untuk mengabaikan imbauannya itu dan melanjutkan mengepak barang. Bu Mina mungkin sudah menanggalkan sepatu hak tinggi yang masih terus dikenakannya meski kubilang lebih baik dia memakai sepatu teplek demi keselamatan janin yang dikandungnya. Buktinya, saat dia menyelipkan lengannya di pinggangku, aku sama sekali nggak menyadarinya. Posisiku yang membungkuk otomatis menegak. Otot-otot perutku yang sempat mengencang bereaksi akan sentuhannya perlahan mengendur ketika Bu Mina mengeratkan dekapan. Lengannya mengunci erat pinggangku dan bertemu di depan perutku. Aku berdiri tegang dengan kedua tangan terkulai di sisi-sisi pinggang. Tubuh bagian depannya mendesak punggungku. Kulit pipi dan pelipisnya bergesekan dengan otot sayap kananku.

Untuk beberapa saat, aku membiarkannya tetap begitu sambil menata ulang napas dan aliran darahku yang berdesir. Namun ketika Bu Mina mulai bergerak mengecup punggungku dan menempelkan keningnya di sana, aku tak mampu bersikap dingin padanya. Aku menangkup kedua tangannya, melepaskan dekapan eratnya. Aku menarik kedua tangannya menemui bibirku, tubuhnya merapat semakin lekat padaku saat kukecupi buku-buku jarinya.

Bu Mina menyelinap ke balik lenganku yang kurentangkan ke belakang untuk merengkuh tubuhnya. Kutangkup kedua sisi rahang yang menunjang bentuk wajah bulat telur sempurnanya dan kupertemukan tatapanku dengan manik matanya. Bu Mina membelai dadaku dalam balutan kaus katun tipis yang biasa kupakai di rumah. Jemarinya menyusuri otot-otot dadaku, mempertemukannya di tengah, kemudian dibawanya turun dengan sangat pelan hingga menekan tulang kemaluanku. Sepanjang ia menyusuri tubuhku, bola matanya mengikuti gerakan tangannya. Aku menggigit bibir bawahku dengan resah saat dia memainkan kancing celana panjangku. Tatapanku terus terpaku di jarak antara dua matanya, siap menyongsong iris mata itu setiap saat ia ingin kembali bersitatap denganku.

"Kenapa?" tanyanya kecewa.

Aku memang meringkus pergelangan tangan yang jari-jari lentiknya berniat membuka kancing celanaku begitu saja dan menyatukannya kencang di dadaku. Aku cukup paham apa maksud Bu Mina melakukan itu dan menghentikan perbuatannya. Dia ingin menghiburku dengan memberikan pelayanan ekstra yang biasanya kudapat jika ia bermurah hati, atau kalau aku benar-benar mengarahkannya untuk melakukan itu. Tidak selalu kami lakukan, terutama jika keadaan sudah terlalu mendesak.

"Mahmoud," sebutnya manis sambil kembali membelai setelah cengkeraman tanganku mengendur. Aku memejam menikmati pijatannya di kedua sisi daun telingaku. "Kamu tahu, kan, ini untuk kebaikanmu?"

Kelopak mataku kembali membuka dan tatapan kami bersua lagi. Untuk kebaikanku? Alisku mengerut. Dari segi mana dia berpikir pergi dari sini adalah demi kebaikanku? Dia tahu benar aku memujanya, aku ingin menghabiskan waktu dengannya, terutama pada saat-saat seperti ini. Dengan perut yang akan terus membesar itu, dia akan membutuhkanku lebih dari sebelumnya. Aku akan dengan senang hati mendampinginya. Tanpaku, siapa yang akan merawatnya? Dia bahkan lebih sering merangkap sarapan dengan makan siang karena selalu bangun terlalu mepet dengan jam kantor. Siapa yang akan memeluknya jika ia resah dalam tidur tanpa disadarinya? Siapa yang akan mendengarkan keluh kesahnya sebelum tidur tentang banyak hal yang selama ini tak pernah kutahu melintas di benaknya? Kaki siapa yang akan dikuncinya sebelum ia memejamkan mata, atau siapa yang akan memandanginya dengan intens sampai ia terusik dan terjaga di pagi hari?

Ya semua itu adalah kebaikanku yang sekarang sudah direnggutnya, maka saat ia berkata itu demi kebaikanku, lalu kebaikan yang mana? Aku justru akan kehilangan semuanya.

"Kamu percaya padaku, kan, Moud?" tanyanya.

Terus terang, pertanyaan itu justru menajamkan sorot mataku untuk menyelidik lebih dalam ke balik redup pindaian matanya. Apa aku mempercayainya? Apa yang harus kupercayai? Sejak awal aku tahu dia menjebakku untuk melakukan semua hal yang diinginkannya. Bahkan setelah kami menjadi sepasang kekasih, aku tidak sungguh-sungguh tahu apa yang dirasakannya terhadapku. Aku begitu membenci kata-kata Adrian karena dia hampir tepat menebak motifku mengunjungi Bright Agency. Aku memang tidak pernah berniat meninggalkannya, atau melepas tanggung jawabku dengan HBM, tapi di lubuk hatiku yang dalam... aku memang ingin perempuan ini takut kehilanganku. Aku bahkan nyaris tak peduli apakah penyebab ketakutannya itu perasaan istimewa, atau sekadar takut kehilangan talent yang sedang dikembangkan untuk kepentingan perusahaannya.

"Mahmoud... kalau kamu tetap tinggal di sini, semuanya akan makin runyam. Apalagi setelah Adrian terlibat. Apa yang dikatakannya padamu di pantri tadi?"

"Dia ingin melibatkan diri," rangkumku, tak ingin menambah detail lain yang mungkin akan mengusik hati nurani Bu Mina sebagaimana apa yang dikatakan Adrian mengusikku.

"Aku nggak bisa melarang Adrian melakukannya, Moud."

"Saya tahu."

"Ya kamu jangan ngambek, dong," katanya manja sambil mencubit bagian bawah kupingku. "Keluarnya kamu dari sini akan meminimalisir konflik. Kita nggak tahu apa yang bisa dilakukan orang yang cemburu, padahal dia masih anggota keluargamu. Kamu sudah tahu Albert berniat mengajak pacar kecilmu bergabung dengan HBM?"

"Saya yang ngasih nomor ponselnya."

"Kenapa menurutmu itu ide yang bagus?"

"Karena saya nggak mau dia pergi ke Arab dan membahayakan dirinya."

"Kenapa kamu yakin dia akan berangkat ke Arab dan membahayakan dirinya?"

"Karena saya nggak akan menikahinya!"

Bu Mina mengangguk puas dengan jawabanku, bibir manisnya lantas membentuk senyuman yang lebih manis lagi. Seolah dia sudah berhasil membuatku paham dengan maksud pertanyaan-pertanyaannya, dia membelai rahangku dan menarik tengkukku hingga otot leherku menunduk. Bu Mina membayangiku bibirku dengan kecupan samar, embusan napas hangatnya yang harum perlahan melonggarkan urat-urat di pelipisku yang bertonjolan. Aku memejam relaks, mengendus mengikuti gerakan bibirnya. Lenganku tanpa kusadari sudah membelit pinggangnya.

"Moud... kamu harus tahu... hatiku ini milikmu, tapi tubuhku bukan milik siapapun. Aku yang menentukan sendiri akan kuapakan. Aku yang menentukan sendiri kapan aku akan menikah, dengan siapa, dan kapan. Tapi, aku tahu, sejak ada janin ini di perutku, akan ada banyak orang yang akan berusaha ikut menentukan apa yang harus kulakukan. Baik itu keluargamu, bahkan keluarga Adrian, atau sekadar orang-orang yang tahu aku lewat media sosial. Aku bisa menutup telinga dari mereka, Moud... aku justru memikirkan kebaikanmu...."

"Dan kebaikan HBM," potongku.

Bu Mina jelas-jelas menelan ludah.

"Saya mengerti," gumamku pedih.

"Dan kebaikan HBM," tutur Bu Mina membeoku. "Terus terang saja, kalau reputasimu tidak mempertaruhkan masa depan HBM, kalau Adrian bukan possible father buat janin di perutku, aku akan menikahimu kapanpun kamu siap, Moud!"

Aku berpaling sambil memutar bola mata, tapi Bu Mina menahan kepalaku supaya aku tetap berada di jangkauan tatapan matanya. "I mean it!" tandasnya. "Aku serius."

"Kalau begitu nikahi saja saya diam-diam!" kataku nekat.

"Kamu nggak mau ayah sama ibumu tahu anak kesayangannya sudah menikah, bahkan punya anak, meski belum tentu itu anaknya?'

Aku menutup mulutnya sigap dengan telapak tanganku, "Kenapa ibu harus tidur dengan Adrian di malam yang sama, tanpa pengaman?! Saya benar-benar ingin mencekik seseorang setiap kali mengingatnya!"

Dia masih bisa-bisanya tertawa. Aku benar-benar gemas dan menekan lehernya dengan kedua tanganku seperti akan mencekiknya, Bu Mina mencekal pergelangan tanganku sambil mengedip lambat. "Kalau Adrian ingin melibatkan diri, apa itu berarti saya harus berbagi? Dulu mungkin saya bisa, tapi sekarang saya nggak yakin saya bisa...."

"Sejak dulu kamu udah nggak bisa, Moud...," tuduhnya tepat. "Nggak usah sok kuat. Aku tahu ini bakal berat, makanya kamu jangan gampang putus asa, ya? Apalagi kudengar hormon kehamilan itu mengerikan. Pokoknya kalau aku aneh-aneh, kuminta kamu jangan cepat-cepat mengambil keputusan. Okay?"

"Kedengarannya berat."

"Memang."

Kelopak mata yang berwarna peach itu menutup nyaman dengan kening melekat pada keningku. Aku melepaskan lehernya, meraba naik ke rahangnya dan mengelusnya lembut dengan punggung buku-buku jariku. Begitu kelopak indah itu bergetar tanda ia akan membuka mata, aku menabrakkan mukaku ke mukanya setelah memperhitungkan tak terjadinya benturan batang hidung. Bu Mina tergemap tak siap, bibirnya membuka mencari celah untuk bernapas tepat saat aku memagut bibirnya dengan gairah yang membuncah.

Tangannya meremas bahan kausku di bagian dada sementara aku meremas lembut sepasang payudaranya, mengajaknya bercinta di atas lautan pakaianku yang tercecer untuk terakhir kalinya sebelum aku tak bisa menolak kehadiran Adrian di antara kami berdua. 

Bye-bye...

Covernya ini, ya... Cari di profilku kategori Trapping Mr. Mahmoud. Dukung yang Lanjutan 71-100.

Lanjut extra part juga biar puas.

Kalau ini dukung di kategori PAKET
Kalau udah dukung, buka di kategori Extra Part TMM. Di sana kalau dukungan paket udah beres, semua part bisa dibuka.

Makasih ya udah baca ceritaku. Muach!

Love,
Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro