9. Water Spinach

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Okay, maaf banget... harusnya kemarin aku update, tapi aku kebanyakan makan kangkung terus perutku kayak nyimpen kentut dua bulan. Huhu....

(Makanya judul part-nya water spinach alias kangkoong. LOL)

Mau komen yang banyak lagi, yah? 600 votes, 550 komen. 

Kali ini karena kemarin aku telat update, begitu terpenuhi aku langsung update, deh, buat bayar yang kemarin.

Sama jangan lupa jawab pertanyaan di part sebelumnya soal asal kamu. Aku lagi pesan custom tumbler dengan logo kincirmainan buat satu atau dua orang yang nanti bakal kupilih.

Healthy Fun Facts

Mungkin nggak sih, kurusan tanpa kehilangan berat badan?

Mungkin banget, kok.

Hal ini terjadi saat kamu mulai kehilangan lemak dan membentuk massa otot. Kemungkinannya, kamu tidak melakukan deficit calories, tapi menambah aktivitas gerak kamu dengan berolah raga. Ingat penjelasan tentang lemak dan otot sebelumnya, kan?

Pas aku awal-awal mulai olah raga, aku mengalami ini. Sebelum defcal, aku udah olah raga duluan. Perutku mengecil dengan sangat signifikan (saat itu kira-kira tujuh bulan habis aku melahirkan dan perut lagi buncit-buncitnya) tapi berat badanku cuma berkurang 0.5KG. Dari situ aku mulai nyari-nyari tahu seluk-beluk diet, olah raga, dan nutrisi. Nyari tahunya nggak jauh-jauh, cuma dari Youtube. Aku saranin kalau kamu berusaha mengubah gaya hidup, bekali diri dengan pengetahuan. Kalau udah, lama-lama hidup sehat bisa mengandalkan insting. Otak dan tubuhmu akan sinkron mengenai apa-apa saja yang pantas kamu konsumsi dan yang enggak. 

Follow semua sosmed-ku, yaaa...

***

Aku baru sampai di ujung tangga ketika pergelangan kaki Bu Mina benar-benar terseok.

Sebenarnya beberapa langkah sebelum itu, aku sudah menduga dia akan jatuh.

(Sejak aku melihat sepatu itu, aku tahu dia akan jatuh.)

(Memang kakinya kelihatan sangat bagus mengenakannya, tapi tetap saja... itu ide yang buruk.)

Aku berjalan lebih cepat sambil memperingatkannya, sayangnya terlambat.

Ponsel yang terlempar dari tangan Bu Mina tak pernah sempat terselamatkan. Perhatianku hanya tertuju pada tubuhnya yang meliuk-liuk sebelum terayun ke belakang. Keseimbangannya hilang. Kemungkinan kakinya terkilir.

Dia berdiri terlalu jauh dari tepi tangga sehingga kedua tangannya tak mampu meraih pegangan apapun. Syukurlah aku tiba di balik badannya tepat waktu. Tanganku terentang ke depan bersiap menangkapnya, tetapi karena ternyata jarakku masih sedikit terlalu jauh sebelum beliau akhirnya jatuh, aku tidak berhasil mendekap pinggangnya dengan lenganku. Alih-alih, jari jemariku malah tanpa sengaja meremas kedua belah payudaranya sebelum kami jatuh bersama membentur lantai yang keras hingga berdebam.

"Ughhh!!!"

Untungnya, aku tetap waspada sehingga tengkorak kepalaku tidak sampai terantuk lantai keramik. Refleks tulang leherku cukup bagus, tapi tulang bahu dan ekorku tersengat nyeri teramat sangat gara-gara benturan di area-area tersebut tak terelakkan. Terlebih, berat tubuh Bu Mina sepenuhnya menimpaku. Bokongnya menggencet bagian vitalku tanpa ampun. Aku meringis menahan sakit. Hanya harga diri yang mencegah air mataku menetes.

Butuh beberapa detik sampai akhirnya napasku dan napas Bu Mina secara serempak terembus berat. Aku baru ingat tanganku masih menangkup erat kedua belah dadanya. Cepat-cepat kuangkat tanganku ke udara sebelum suara ketuk-ketuk langkah kaki yang berlomba mendekat menyaksikan apa yang kulakukan. Dengan bantuan kedua siku, susah payah aku mencoba menegakkan area bahuku ke atas.

Bu Mina diam saja.

Pasrah.

(Pingsan.)

"Lho... ini kenapa kok pada tidur-tiduran di lantai?" seru seseorang di ambang pintu ruang kerja yang berkubibel tadi.

Mbak Tamara, Bu Cynthia, Mbak Riana dan seorang lagi yang tergopoh-gopoh datang dari arah belakang hanya saling berteriak, bukannya membantu menyingkirkan badan Bu Mina dari tubuhku. Tulang kemaluanku mungkin cidera.

(Mungkin kamu berlebihan.)

Mungkin hanya sakit sedikit, tapi yah... sepadan.

"To—tolong, Mbak," pintaku. Punggungku yang lumayan sakit agak susah digerakkan. Lagipula, aku khawatir Bu Mina terguling kalau aku bergerak terlalu banyak.

"Mbak Mina pingsaaan," seru Mbak Riana sambil mengguncang bahu Bu Mina yang tergolek diam di dadaku.

Dengan bantuan yang lain, mereka mendudukkan tubuh Bu Mina, tapi sama sekali nggak memindahkannya ke manapun. Sekarang, malah seluruh berat badan Bu Mina bertumpu di pinggangku. Aku hanya bisa meringis, tulang kemaluanku kebas. Rasa nyerinya mengirim sinyal ke otak, kepalaku berdenyut.

"Singkirin tuh pantat Mbak Mina dari pinggang Mahmoud," bisik Bu Cynthia yang duduk dengan lututnya tepat di sisi kepalaku dengan nada mendesak. "Kasihan, itunya pasti sakit banget. Muka Mahmoud udah biru semua."

Pipiku merona.

Begitu Bu Mina digeser ke lantai dan disandarkan ke tubuh ibu-ibu yang belum sempat dikenalkan padaku, aku langsung menekuk kedua lutut sampai ke dada dan memeluknya erat-erat.

Lantunan zikir yang terlintas di kepala kurapalkan untuk menahan lara. Aku meringkuk seperti tanda koma di lantai, mati-matian berusaha menahan rintih supaya nggak lolos dari mulutku. Bagaimanapun juga, aku seorang lelaki di sarang wanita. Cukup kupendam di hati saja nyeri ini meski rasanya pengin teriak sampai urat leherku putus.

Ketika rasa sakit di pinggangku agak mereda, aku membuka mata mendapati empat pasang mata perempuan tengah mengawasiku dengan ekspresi iba. Mata Bu Mina masi terpejam. Kepalanya terkulai di bahu perempuan bertubuh subur yang kemudian kutahu namanya adalah Bu Steffani.

Menyaksikan Bu Mina tak sadarkan diri, tiba-tiba sakitku terasa setimpal. Kalau tadi aku nggak menangkapnya, entah apa jadinya kepala Bu Mina yang hilang kesadaran. Dia bisa saja terkena gegar otak karena jatuh dalam keadaan pingsan.

"Pegel banget, ya, Mas Mahmoud?" tanya Mbak Riana prihatin. "Gimana ceritanya kok bisa jatuh?"

Aku beranjak duduk pelan-pelan. Kakiku masih tertekuk untuk menyembunyikan tangan yang menekan area bawah pinggang, tepat di atas area berbahaya.

"Saya nggak tahu," jawabku jujur. "Kami barusan dari pantry, lalu Bu Mina mengajak saya ke atas menemui Mbak Riana. Karena saya harus menutup pintu dulu, saya agak terlambat memperingatkan beliau—"

"Lain kali pintu pantry biarin aja terbuka," Bu Cynthia menyela. "Mbak Mina memang gampang pingsan, mungkin karena diet bekepanjangan dan olah raga terlalu sering. Sebaiknya kita pindahin aja dia ke ruang tunggu supaya kita semua bisa segera kembali bekerja. Riana pegang kakinya, Mbak Stef bagian atas, aku sama Tam—"

"Biar saya saja," potongku menawarkan diri sambil berusaha meluruskan punggung dan meregangkan otot-otot bahu.

"Tapi kamu sendiri juga habis jatuh, lho," Mbak Tamara memperingatkan seraya mengelus bahuku pelan dan menyeret sentuhannya hingga ke bahu.

Refleksku tidak cukup cepat untuk menghindar, tapi keterkejutanku tak bisa kusembunyikan. Aku merinding.

"Lengan kamu kencang dan berotot banget, Moud, rutin nge-gym, ya?" tanyanya.

"Aku pikir juga tadinya model baru yang mau dipake buat resistance ban batch dua," celetuk Mbak Riana menimpali.

"Lho...," Mbak Steffani ikut-ikutan. "Emang mas-mas ini siapa kalau bukan model?"

"Pesuruh," jawab Bu Cynthia yang dari bahasa tubuhnya ingin cepat-cepat kembali pada tumpukan pekerjaan.

Bu Steffani mengulang jawaban Bu Cynthia sambil memegangi kedua pipinya yang tembam seolah hal itu sangat tidak wajar. Aku nggak ngerti mengapa rata-rata mereka bersikap demikian. Apa yang aneh kalau aku jadi pesuruh? Maksudku, mereka nggak mengenalku, apa yang membuat mereka berpikir aku lebih pantas menjadi model? Karena tampangku? Sejak kapan tampang menentukan profesi seseorang?

Sudahlah, aku memutuskan mengabaikan para perempuan yang memang sudah kodratnya senang berasumsi itu. Aku bangkit berdiri dan membungkuk di dekat tubuh Bu Mina yang setengah tergolek di lantai. Kuselipkan lengan kananku di balik ketiak kirinya dan kusangga kuat punggungnya di sana. Tangan kiriku memegang erat bagian dalam kedua pahanya. Setelah lenganku menyangga sempurna tubuh itu, aku mengangkatnya dekat dengan dadaku. Ringan seperti bulu. Dengan sekujur tubuh nyeri pun, aku sanggup membopong tubuh ramping itu seorang diri. Mbak Riana menunjukkan di mana aku harus meletakkan tubuh Bu Mina.

"Otot-ototnya," bisik Mbak Tamara.

"Besar, ya?" gumam Bu Steffani.

"Hsst!" hardik Bu Cynthia.

Kalau tanganku nggak sibuk megangin tubuh yang menguarkan aroma surga ini, aku pasti sudah mengurut dada.

"Mas Mahmoud tunggu sini bentar, ya?" pinta Mbak Riana setelah melepas sepatu Bu Mina. "Aku lagi ada urgent ngirim invoice ke vendors di atas, nanti aku ke sini lagi sekalian ngambilin seragam Mas."

"Iya, Mbak," aku mengangguk patuh.

Mbak Riana meninggalkan ruangan dengan pintu tertutup. Aku jadi nggak enak ditinggal berduaan dengan Bu Mina yang pingsan. Rautnya damai seperti sedang tertidur pulas. Kuambil sebuah kursi plastik dari sudut ruangan dan duduk sekitar satu meter jauhnya.

Diam-diam, kuendusi lenganku. Wanginya tertinggal di sana.

Begitu banyak yang terjadi dalam dua hari ini dengan wanita yang sama, dadaku berdebar-debar.

Saat sedang khusyuk menyilangkan kaki dan menopang dagu memandangi wajah ayu yang nggak membosankan itu, ponsel di sakuku berdering. Nama Adrian tertera di layar, aku menjawab panggilannya.

"Pesanku hanya satu, Mu," katanya, tanpa menyapa, atau berbasa-basi dulu. "Kamu ati-ati sama Mina. Kamu udah lihat sendiri, kan, gimana dia ke kamu kemarin malam? Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa, lho, tapi ya begitu itu dia. Pokoknya kalau dia mabuk dikit, kamu jauh-jauh. Kalau nggak mabuk sih biasa aja."

"Oh...," ucapku santai, sejujurnya... aku sama sekali nggak merasa terancam. "Memang dia sering mabuk?"

"Ya enggak, sih, harusnya. Tapi akhir-akhir ini dia banyak datang ke acara jamuan buat urusan bisnisnya. Look... aku bukannya mau menghalang-halangi niatmu cari duit, tapi sayang banget kamu jadi pesuruh. Kamu mesti tetap nyari pekerjaan lain yang lebih... pantes lah. Aku sendiri nggak enak sama Abhi-Ummi-mu kalau sampai mereka tahu di sini kamu cuman dijadiin babu. Nanti aku juga usahain kamu dapat kerjaan lain. Gimana kalau kamu jadi asisten pribadiku aja?"

"Kerjanya ngapain itu?"

"Ya ngurusin kebutuhanku."

"Ya nggak jauh beda lah sama jadi pesuruh," kataku pelan. "Cuma beda bahasanya aja. Tenang, aku udah cukup berterima kasih kamu mau ngasih tumpangan selama aku di Jakarta. Aku nggak mau ongkang-ongkang kaki menggantungkan hidup sama kamu. Kalau nanti ada kesempatan lebih baik lagi, aku pasti pindah. Yang penting sekarang... aku cuma berharap hubunganmu sama Bu Mina baik-baik aja. Jangan sampai kalian bertengkar gara-gara aku. Dia kayaknya... suka sama kamu, ya?"

"Nggak! Nah, di sinilah masalahmu. Kamu masih terlalu lugu. Mina tuh udah lama jadi batu sejak ditinggalin pacar brengseknya lima tahun lalu"—jeda—"tck, harusnya aku nggak cerita soal ini ke kamu. Mina nggak suka urusan pribadinya diumbar-umbar."

"Ya udah kalau gitu nggak usah ngomong apa-apa. Kalau kamu peduli sama aku, tolong rahasiain ini dari Abhi-Ummi-ku dulu, ya? Kalau mereka tahu, aku pasti disuruh pulang."

"Ya terserah kamu aja lah! Pokoknya ingat-ingat aja pesanku. Sekali kamu ngeladenin Mina, bakal susah kamu ngelepasin dia. Kamu belum ada pengalaman menghadapi makhluk-makhluk kayak dia. Konsultasiin terus hubuganmu sama dia ke aku. Kalau aku lagi nggak di apartemen, call me. Okay?"

Aku mengiakan perintah Adrian secepatnya supaya dia segera mengakhiri panggilan. Ada seekor nyamuk bertengger di pipi Bu Mina. Aku menoleh ke luar, ternyata mereka membiarkan jendela sedikit terbuka. Dari tempatku duduk, aku meniup-niup ke arah nyamuk itu bertengger. Tapi makhluk jahat itu tidak mengacuhkanku, malah kulihat pantatnya bergoyang, tanda dia mulai mau mengisi perutnya.

Akhirnya aku mengangkat pantatku, mengendap mendekat. Kukibaskan tanganku, tetap percuma. Jemariku terulur hingga sepersekian mili saja jarak dari sayapnya, si licik itu berhasil meloloskan diri. Akan tetapi jariku justru meneruskan perjalanan ke tujuan semula, mengelus pipi sehalus pualam itu... dan membangunkan si putri tidur.

Lalu...

PLAK!!!

Aku kena gampar.

Kencang sekali. Panas.

Tapi sebenarnya nggak sakit.

Malah sesudah itu terasa hangat.

(Harus buru-buru ambil air wudhu.)

Anyway udah tahu belum?
Aku kemarin bikin cerita baru di KaryaKarsa.com/kincirmainan cerita tentang Kintamani dan Hendrawan, tokoh pendukung dalam Enjoy The Little Things?

Dukung aku, dong, biar aku lanjutin part-part selanjutnya.
Murah kok, IDR 17.5k kamu bisa baca 80 halaman pdf.

Semoga suka, ya!!!

Cari di akunku yang kovernya ini

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro