Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"AYO BERTARUH! Siapa yang akan terpilih menjadi pemain. Hanya antara kau dan aku." Kai terkekeh. Dia menyodorkan tangannya pada Matilda. Begitulah cara pemuda usil itu memulai taruhan receh.

"Aku?" Matilda ragu-ragu menerima taruhannya.

"Bagaimana jika aku ikut?" Paman Dean yang baru bergabung menawarkan diri.

Sejak Frea mendaftarkan dirinya dengan iseng, dia sejujurnya tidak berharap sama sekali. 2 hari selanjutnya bukan hal yang mudah bagi Frea. Rutinitas monoton saja sudah memuakkan, apalagi hari-hari berikutnya yang terasa makin berat. Frea ingin sebuah petualangan, tetapi takut untuk memulai. Tua? Dia tidak setua itu. Muda? Tapi dia tidak seberani itu.

Seperti biasa, restoran bibi Judith tutup di jam tujuh malam, dan sekarang jam berdetak menunjukkan pukul delapan malam, itu artinya siaran pengumuman yang dinantikan semua orang akan segera dimulai. Ketiga rekannya pun memutuskan untuk pulang terlambat demi menyaksikan siaran langsung tersebut bersama-sama.

"Selamat malam, kembali lagi dengan Camero Sébastia di undian pemilihan pemain Treasure Hunters!" Camero dari layar televisi, malam itu berpenampilan rapi dengan setelan jas layaknya seorang pembawa acara. Bagi Bibi Judith dan Matilda, pria itu tidak pernah gagal menebarkan aura ketampanannya, sehingga mereka pun betah memandanginya berlama-lama.

"Baik pemirsa, ini adalah acara yang dinanti-nanti oleh seluruh masyarakat Genova! benar pak produser?" Camero menyodorkan mic-nya kepada seorang pria lebih tua di sebelahnya, tak lain dan tak bukan adalah produser reality show itu sendiri.

"Benar sekali, Camero. Kami tim produksi sangat kagum dengan antusias masyarakat Genova yang luar biasa!" Pernyataan produser plontos itu mendapatkan sorakan dan tepuk tangan dari kru. "Kami berhasil mengumpulkan ribuan, bahkan hampir satu juta nama pendaftar dalam waktu tiga hari. Itu sangat menakjubkan!" Pria plontos tersebut bertepuk tangan dengan senyum lebar khasnya yang menurut Frea terkesan sedikit aneh, maksudnya lucu.

"Kami sudah menyiapkan kertas berisi nama-nama pendaftar di dalam lottery box, dan dalam hitungan detik kami akan mulai melakukan pengundian. Siap pak Produser?" Produser plontos yang berdiri disampingnya mengacungkan jempol.

"Baik, hitungan mundur dimulai!" Camero mengulas senyum manis berlesung pipi yang sukses memikat hati Matilda dan Bibi Judith. Matilda berteriak kegirang, membuat Frea memegangi dada sebab jantungnya nyaris melompat.

"Lima."

"Aku jadi deg-degan," celetuk Terrence.

Frea mengalihkan pandangannya dari layar televisi ke luar kaca restoran. Bukannya ia tidak tertarik, tetapi ada hal lain yang menarik atensinya. Di tengah kesibukan orang-orang yang berlalu-lalang, mata Hazel green-nya tertuju pada pria berbadan besar dengan setelan jas hitam dan topi tinggi. Entah kenapa, pria di seberang jalan itu terlihat sedang melangkah menuju restoran bibi Judith, mungkin hanya firasat anehnya saja.

"Empat"

Gadis itu menyipitkan mata, mengamati langkah pria misterius di seberang jalan nan makin bergerak gesit mendekati firasatnya. Namun mendadak, Frea tak bisa mengedarkan pandangannya dari pria itu, seolah ada sesuatu yang menahan gerakan bola matanya.

"Kenapa ini?"

Tubuhnya pun menjadi kaku bak membeku seperti es. Suhu dingin perlahan menjalar dari ujung kaki hingga kepala.

"Tiga."

"Sial! Kenapa aku tidak bisa bergerak?" rutuk Frea dalam hati.

Bulu kuduk Frea serempak berdiri. Sementara itu, sorot matanya tak berpindah satu senti pun dari pria bertopi tinggi yang kini sudah berada di tepi trotoar dekat restoran. Wajahnya tidak begitu jelas karena tertutup topi, tetapi Frea bisa merasakan aura tak biasa nan meruntuhkan ketidakpercayaannya terhadap eksistensi mahluk supranatural.

"Dua."

Tiga suara bercampur menjadi satu; detak jam, langkah orang-orang di sekitar, dan hembusan angin malam musim panas yang malah membuat gerah—hanya terjadi di Oleander. Ketiganya terdengar makin keras dan saling bertabrakan di dalam rongga telinga Frea, membuat dia pening. Pria bertopi tinggi tersebut bergerak dengan lincah seakan tubuhnya menembus kerumunan. Tinggal beberapa langkah lagi menuju restoran. Namun, pria itu malah mematung, lantas tanpa diduga oleh Frea, dia melemparkan sorot mata samar ke arahnya. Napas Frea tercekat di kerongkongan seperti dicekik, makin lama ia tidak bisa bernapas dan nyaris kehilangan kesadaran.

"Satu."

Frea membelalakan mata. 

Dia hilang! Pria itu menghilang!

 Frea membelalakkan mata takala pria asing itu lenyap bak debu yang disapu angin. Tidak berselang lama, Frea seperti dibangunkan dari mimpi paling buruk seumur hidupnya. Sayang, dia tidak sedang ketiduran. Ia berusaha mengatur detak jantung yang tak berirama ketika napasnya kembali normal. Frea mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapatkan tatapan heran sekaligus cemas dari orang-orang di sekitar.

"Kamu tidak apa, dear?" tanya bibi Judith dengan nada khawatir, Frea terdiam dengan pandangan kosong cukup lama. Wanita itu memegang bahu Frea kokoh.

Frea menggeleng. "Aku ... baik," jawabnya dengan napas terengah yang berusaha dibuat normal.

Baik pemirsa, pengudian pertama akan dilakukan oleh saya sendiri!

Perhatian rekan kerjanya dan paman Dean kembali beralih ke layar televisi.

"Kamu sepertinya kelelahan ..."

"Tidak."

Sementara itu bibi Judith yang selalu terlampau cemas masih memandangi Frea dengan gurat  khawatir.

"Baik, kita sudah mendapatkan nama pemain pertama!" Seru Camero dari layar televisi. Salah satu tangannya mengaduk kertas nama di dalam boks dan mengambil satu kertas secara acak. Camero membuka lipatan secarik kertas yang diambilnya. "Pemain Treasure Hunters pertama atas nama ... Frea Heather!"

"Apa?" Frea termangu, berharap ia hanya salah dengar.

"Kami ucapkan selamat kepada Frea Heather!"  seru Camero diiringi musik backsound euforia nan memeriahkan suasana.

"T-tidak tunggu"

"Namamu! Namamu disebut oleh Camero!" Matilda melompat kegirangan sambil menunjuk-nunjuk layar televisi.

Bibi Judith memeluk Frea erat sampai mengangkat tubuh keponakannya dengan gerakan berputar. "Astaga, dear!  Manis sekali kamu mendaftar diam-diam." Bibi Judith terkekeh.

"Paman sangat tidak menyangka hal itu." Paman Dean merangkul pundak Frea, membuatnya agak tersentak.

"Mustahil," lirih Frea tidak percaya. Tangan kanannya bergetar, refleks menutup mulutnya yang menganga.

Terkadang hidup itu memang lucu.

***

FREA butuh waktu guna mencerna semua keanehan yang terjadi. Namun, waktu tidak pernah memberi jeda untuk memahami, seolah membiarkannya mengalir bak jalinan takdir yang tak bisa ditebak.

Malam makin merangkak naik. Bibi Judith tidak akan membiarkan keponakannya pulang malam sendirian, jadi dia menyuruh paman Dean supaya mengantarkannya sampai ke rumah. Setibanya di rumah, Madeline menyambut Frea dengan makan malam kecil-kecilan.

Syok, terkejut, bimbang, ada tiga perasaan nan kini bercampur aduk dalam benak Frea layaknya benang kusut. Dia berniat mundur saja. Pasalnya apakah dia pantas? Gadis berambut keriting berantakan, berkulit cokelat, berwajah frekel, dan jerawat seperti dirinya mungkin hanya akan merusak pemandangan dalam acara tersebut, bukan mungkin tapi pasti. Kilas balik trauma akan penindasan di masa kecilnya bagai bekas luka yang tak kunjung memudar dalam hati.

Sekarang, Frea duduk termenung di meja makan bersama sang ibu seraya memandangi email resmi dari stasiun televisi Outlook Network di layar smartphone-nya. Stasiun televisi swasta itu meminta Frea untuk datang ke kantor pusat mereka di ibu kota New Lincoln, guna melengkapi data diri dan penandatanganan kontrak. "Sepertinya aku akan mundur saja." Ketidakpercayaan diri Frea begitu melambung tinggi.

Madeline tertegun mendengar pernyataan blak-blakkan dari putri tunggalnya. "Kenapa? Bukannya ini kesempatan bagus, Honey Sweetie?" Dia bertopang dagu di seberang meja. Berbeda dengan bibi Judith, nada bicara Madeline terdengar lebih tenang.

"Aku tidak pantas." Frea menunduk.

"Who said that, Honey Sweetie?" Madeline mengernyitkan dahi. "Memikirkan kekurangan dalam dirimu terus menerus bukan hal yang baik, benar? Seulas senyum terpatri dengan elok di wajah Madeline.

"Ya." Frea meremas jemarinya.

"Jangan membatasi langkahmu karena kekurangan. Ambil kesempatan yang kamu dapat," pesan Madeline sambil menyuap sesendok kari. "Bukankah itu yang sering dikatakan oleh ayahmu? Kalau Romanés ada di sini, dia pasti akan senang melihat putrinya yang sekarang sudah dewasa." Madeline tertawa kecil.

Frea mendongak. Ayahnya selalu megulang kalimat itu padanya, berharap jika Frea akan senantiasa mengingat dan berpegang teguh pada pesannya. Dia memijat kening. Bagaimana ia bisa lupa?

"Honey Sweetie dengar, ibu akan selalu mendukungmu apa pun yang terjadi, mengerti? Ibu selalu di sini untukmu." Madeline membuka kedua tangannya lebar, menawarkan sebuah pelukan hangat.

Frea beranjak memeluk sang ibu. "Terima kasih, bu." Dekapan hangat itu selalu memunculkan perasaan nyaman nan menghapus keraguan.

Madeline mengelus rambut Frea. "Terima kasih sudah mau bertahan di kondisi sulit bersama ibu." Madeline mengingat berbagai momen sulit yang dilalui bersama Frea dengan sabar. Memori itu selalu bermain di pelupuk matanya, menari-nari dan tak pernah lekang.

"Aku akan pergi demi ibu dan ayah," lirih Frea.

Madeline tersenyum bangga. "Pergilah, gapai bintangmu."

Pada akhirnya, usai mendapatkan banyak dukungan dari teman, bibi Judith, paman Dean, dan ibunya, Frea memutuskan berangkat ke ibu kota besok pagi. Pertama, dia menghubungi paman Dean jika ia akan pergi besok, dan sesuai janji dari pria itu sebelumnya, dia bersedia mengantar Frea sampai ke stasiun kota Oleander. Kedua, dia memesan tiket kereta untuk esok hari, dan Ketiga, tentu saja mengemasi barang bawaannya.

Frea merebahkan dirinya di atas kasur sambil memandangi poster Lincoln University yang terpasang di dinding kamarnya. Kalau Frea berhasil memenangkan permainan perburuan harta karun tersebut hadiah uang 100 juta Kash bisa dia gunakan untuk membiayai kuliahnya tanpa memberatkan sang ibu.

Hanya mencari harta karun tidak sulit,'kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#30dwc