Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chacha melangkahkan kakinya menuju bagian lain kampus yang di rasa pasti akan lebih tenang dan nyaman untuk menenggelamkan dirinya dalam tumpukan buku yang setiap hari di bawahnya. Sesekali matanya menatap jam yang melingjar indah di pergelangan tangan kirinya, memastikan jika dirinya mempunyai cukup banyak waktu untuk membaca dan menyelesaikan salah satu buku bacaannya.

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya Chacha sampai di belakang kampus yang memang jarang di singgahi oleh para mahasiswa. Tempatnya sangat adem dan tenang, pohon-pohon tinggi menjulan hingga dapat melindungi siapapun yang berada di bawahnya--termasuk rumput-rumput yang bernaung dari teriknya Sang mentari.

Tempat ini memang sangat jarang dilalui mahasiswa karena semuanya berpikir tak ada yang asyik dari bagian kampus yang tersembunyi itu. Tapi lain bagi Chacha, di tempat ini dia mendapatkan ketenangan dan sejenak dalam melupakan semua permasalahan hidupnya yang terasa begitu berat dan menyiksa.

Chacha mulai duduk di salah satu kursi yang terbuat dari tembok. Kadang suatu pemikiran terselip di benaknya, untuk apa pihak kampus membuat kursi tempok ini sedang para mahasiswa jarang sekali berada di sini, apalagi duduk di tempatnya saat ini.

"Chacha...," terdengar sebuah teriakan yang begitu nyaring tepat sebelum Chacha membuka bukunya. Lagi, ketenangan yang di harapkannya terusik dan mau tak mau dia harus menyimpan buku yang sudah empat hari di bacanya tapi belum juga selesai.

Chacha memalingkan wajahnya dan melihat ke arah suara itu berasal. Dari jarak beberapa meter dia dapat melihat Diana berlari dengan riangnya hingga membuat rambut yang kini di kucir ekor kuda bergoyang ke sana-ke mari.

"Cha kenapa sih kamu tidak menolak perintah Pak Broto? Aku kesukitan tau barusan jawab kuinya. Dia memang dosen tak tau diri dan tak pernah merasakan bagaimana rasanya jadi seorang mahasiswa. Taunya cuma jadi dosen yang suka menyiksa mahasiswanya," kata Dian saat sudah berada di samping Chacha yang terus mengeluarkan umpatan kekesalannya atas sikap Pak Broto yang telah membuat dirinya kesulitan dalam kuis dadakan itu.

Mendengar perkataan Diana, Chacha hanya dapat memiringkan wajahnya lalu menatap tajam Diana. Sesekali bibirnya tertarik ke sisi masing-masing hingga terlukis sebuah senyuman yang begitu indah di wajahnya. Ini adalah satu kebiasaan Diana yang takbbisa hilang sejak Chacha mengenalnya.

"Kalau aku gak ikutin mau Pak Broto, maka sudah dapat di pastikan jika bea siswaku akan hilang bersama menurunnya nilaiku," kata Chacha yang kinu sudah tak lagi terfokus pada buku-buku yang kini sudah berada di atas meja yang ada di hadapannya.

Nilai dan nilai, sepertinya Chacha hanya memikirkan yang satu itu. Sebagai mahasiswa yang dapat berkuliah karena prestasi yang di dapatnya, maka sudah barang pasti nilai adalah hal utama yang harus di pertahankannya.

"Oh iya tadi ada yang mencarimu, namany itu siapa ya?" kata Diana yang seolah sedang mengingat nama seseorang.

Chacha yang menyadari akan segera di hadapkan pada satu nama yang sampai kapanpun tak ingin di dengarnya segera mengalihkan pembicaraan mereka. Menyebut atau mendengar nama pria itu sama artinya dengan sebuah kesialan yang tak dapat di halang oleh apapun.

Chacha mulai membicarakan mengenai kuis Pak Broto hanya untuk membuat Diana benar-benar lupa pada nama pria itu. Mulai dari bahasan sampai dengan penyelesaian dari semua soal yang diberikab oleh Pak Broto.

Sebagai mahasiswa yang terkenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata, Chacha memang dapat mengingat semua soal-soal itu dengan baik walau soal-soal itu tak lagi berada di hadapannya.

"Aku ingat sekarang, nama pria yang mencarimu itu bernama Zein, dia pria yang sangat tampan. Tubuhnya tinggi, putih, dan hidungnya mancung. Duh bener-bener bikin kesengsem deh," kata Diana yang entah bagaimana caranya berhasil mengingat nama pria yang dihindari oleh Chacha sejak pagi.

"Tuhan... kesialan apa yang akan menimpaku hari ini?" tanya Chacha dalam hati.

Chacha mencoba untuk bersikap biasa dan tidak terguncang dengan nama yang dikatakan oleh Diana. Dia tak ingin jika sahabatnya yang dia kenal sejak awal kuliah ini curiga pada pria yang sedari tadi memang sudah mencarinya bahkan hingga harus dihadang oleh Davin.

Ya, nama Zein memang selalu menjadi mimpi buruk baginya. Setiap kali nama itu di dengarnya, maka sesuatu yang tidak baik akan menimpa dirinya, tapi semoga kali ini tidak.

"Perutku sudah bernyanyi sangat nyaring, kita ke kantin yuk cari makan, kali ada sesuatu yang bisa di makan," kata Chacha sambil beranjak dari duduknya.

Cara ini memang cara terampuh untuk menghindarkan dirinya dari pertanyaan yang pasti akan di lontarkan oleh Diana mengenai Zein. Pertanyaan yang pasti akan langsung di tanyakan oleh Diana adalah mengenai jati diri Zein dan ada urusan apa hingga dia mengejarku.

"Tapi...,""kata Diana yang berusaha menolak ajakan Chacha.

"Aku sangat lapar, perutku sudah bernyanyi dari tadi meminta jatah yang tidak kuberikan padi tadi," kata Chacha sambil terus berjalan hingga mau tak mau Diana harus mengikuti langkah kaki Chacha agar dia tak tertinggal.

Sambil melangkahkan kakinya, Diana terus berbicara mengenai segala hal, dia memang seorang perempuan yang tidak bisa diam walau hanya sejenak. Dan Chacha, tentu saja dia tak menanggapi perkataan Diana walau hanya sedikit. Pikirannya terlalu kalut dengab kemungkinan pria itu masih mencarinya dan berusaha untuk berbicara padanya. Jika saja Chacha bisa memilih, maka dia akan memilih untuk menghilang dari dunia ini agar terhindar dari pria berhidung mancung yang satu itu.

"Cewek kenalan dong," terdengar beberapa nada sumbang yang mulai hingga di telinga Chacha dan Diana saat mereka melewati bagaian kampus yanh sedang di renovasi.

Sejenak Chacha menoleh ke arah suara godaan itu berasal. Jarak lima meter darinya dia melihat beberapa orang kuli yang tengah bekerja sambil sesekali menggoda para mahasiswa yang lewat--termasuk dirinya dan Diana.

Tanpa meladeni godaan mereka, Chacha terus melangkahkan kakinya bahkan sedikit lebih mempercepat langkahnya. Bagi dirinya, ini adalah kesialan pertama yang harus dia hadapi karena dirinya mendengar nama pria yang seharusnya tidak di dengarnya.

"Neng kok buru-buru amat sih, kenalan dulu dong tak apa," terdengar suara kuli yang lain menimpali hingga membuat Chacha sedikit bergidig dan terus memperceoat langkah kakinya

"Cha, tungguin," protes Diana yang kini langkahnya telah tertinggal dari Chacha.

"Owh... namanya Cha ya Neng?" goda para kuli itu.

"Sial... kenapa Diana harus manggil namaku sih? Kenapa di tak bisa sejenak saja dalam keadaan seperti ini tidak memanggil namaku?" rutuk Chacha yang menyesali dengn apa yang dikatakan Diana dan baginya ini adalah kesialan dia yang kedua.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro