Empat Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Siapa?" tanya Chacha yang baru saja kembali dan melihat dua orang pri mulai menjauh dari lelakinya.

"Apa?" Conan pura-pura tidak paham dengan apa yang ditanyakan oleh Chacha.

"Orang tadi," jawab Chacha sambil menatap netra milik kekasihnya.

"Owh, mereka hanya menyapa karena mengira aku orang yang mereka kenal," kata Conan sambil memalingkan wajahnya ke arah lain

Chacha yang melihat sikap Conan hanya dapat menundukkan kepalanya lemah. Ia mencoba menyembunyikan rasa sakit yang perlahan menyusup ke dalam relung jiwanya. Tanpa ia sadari, setitik cairan bening membasahi pipinya. Ya, Khansa menangis menyadari satu kebohongan yang dilontarkan oleh pria yang begitu dicintainya.

Selama ini Chacha hanya diam seribu bahasa menahan setiap gejolak jiwa yang merajai hatinya ketika pertanyaan-pertanyaan itu mengusik dirinya. Ia bukan perempuan bodoh yang tidak dapat menyadari semua kebohongan Conan, namun ia juga selalu gagal mengorek semua kejujuran yang kekasihnya sembunyikan selama ini.

"Sampai kapan kamu akan berbohong seperti ini? Tak peryakah kamu padaku? Tak cukup berartikah aku di matamu?" bisik hati kecil Chacha dengan begitu lirih dan membuat gadis itu semakin tersayat dalam.

"Cha ...." Conan memanggil kekasihnya dengan sedikit tinggi hingga membuat gadis di hadapannya mengangkat kepalanya dengan cepat.

"Eh ... apa?" kata Chacha sedikit tergugup sambil menyeka cairan bening yang masih berbekas di kedua belah pipinya.

"Kamu kenapa nangis?" tanya Conan yang menyadari ada setitik cairan bening di ujung mata kekasihnya

"Ah ... tidak, aku hanya kelilipan saja," jawab Chacha bohong sambil mencoba menggesek matanya, berharap jika aktingnya kali ini berhasil dengan baik.

Conan tidak memperpanjang hal tersebut, ia tahu apa yang Chacha rasakan tapi dirinya belum mampu mengungkapkan semuanya. Ini terlalu dan juga belum saatnya belahan jiwanya itu mengetahui semuanya.

Tidak lama kemudian pesanan mereka datang dan akhirnya kedua sejoli itu hanyut dalam perayaan kecil mereka yang sesekali diselingi dengan canda tawa. Obrolan mereka sedikit mengurai semua rasa sakit di hati Chacha, meski rasa itu tak sepenuhnya menghilang.

***

"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya seorang pria yang kini mengenakan pakaian santai dan mata elangnya menatap satu persatu anak buahnya yang kini hanya dapat diam. Mereka terlalu takut untuk menjawab pertanyaan boss mereka.

"Bukankah sudah kubilang, kalian harus hati-hati membawa barang itu dan pastikan semuanya beres sebelum keberangkatan!" Geram lelaki itu sambil terus menatap anak buahnya namun lagi-lagi tak mendapat jawaban yang diinginkan.

Kesal pada orang-orang yang ada di hadapannya, ia mengambil gelas yang berada di atas mejanya. Tanpa aba-aba dia langsung melemparkannya ke arah sepatu orang-orang kepercayaannya, tapi mereka tidak ada yang memundurkan langkahnya meski hanya satu inchi.

"Maaf, Bos, kami tahu kami salah," kata salah satu diantara mereka dengan kepala menunduk dalam.

"Di mana barang itu tertahan?" tanyanya dengan suara yang jauh lebih tenang namun semakin menusuk siapa saja yang mendengarnya.

"Sebagian di bea cukai dan sebagian di kepolisian," jawab lelaki yang sama namun kali ini lebih pelan karena sadar jika efek dari jawabannya akan lebih besar dari sebelumnya.

Prang ... benar saja, lelaki bermata elang itu menendang sebuah guci yang ada di ruangannya hingga hancur berkeping-keping. Jawaban yang dilontarkan anak buahnya sangat jauh dari harapannya. Di dalam bayangannya, ia hanya akan berurusan dengan satu instansi saja, tapi ternyata ini jauh lebih sulit dari yang ia pikirkan.

"Shit ... bagaimana kalian bisa seceroboh ini?" geramnya dengan amarah yang memunak. "Sudah kubilang kalian harus hati-hati, dan kalian mengiyakannya. Lalu ini apa? Dua instansi sekaligus, dan ini akan menghambat semuanya."

Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan pria itu, mereka yang ada di ruangan itu tahu betul jika mereka salah. Tidak seharusnya barang bosnya tertahan dan berurusan dengan pemerintah. Ini sungguh kecerobohan yang telah mereka buat dan akibatnya sangat fatal.

"Kalian punya mulut tidak?" tanya pria itu sambil menatap anak buahnya yang hanya bergumam pelan. "Kalau punya, kalian jawab jangan hanya diam!"

"Maaf, Bos, kami tahu kami salah. Tetapi sungguh, kami mengira semuanya sudah beres karena suplier bilang lancar," jawab salah satu dari orang yang ada di hadapan lelaki itu.

"Siapa penanggung jawabnya?" tanya pria bermata elang dengan penuh penekanan.

"Alex, Bos," jawab anak buahnya lagi.

Sesaat lelaki berpakaian santai itu terdiam dan mengingat sebuah nama yang rasanya tidak asing. Hingga tiba-tiba wajah seorang pria dan cerita kekasihnya mengenai laki-laki yang menjadi alasan belahan jiwanya pergi dari rumah terlintas. Ia juga mengingat semua informasi yang diberikan anak buahnya tentang lelaki itu.

Cepat lelaki bermata elang yang tak lain adalah Conan berjalan ke arah meja kerjanya. Ia membuka laptopnya dan mencari sebuah file yang terlupakan untuk dibaca secara detail. Tak butuh lama baginya untuk mencari file itu dan dengan cepat ia membacanya dengan seksama.

"Buatkan janji dengan Alex besok jam 10.00!" kata Conan berbicara dengan seseorang yang kini sedang tersambung dengannya melalui telpon.

"Maaf, Bos, bukankah besok anda ...," kata seseorang diseberang sana.

"Carikan jadwal kosong dan saya mau minggu ini!" kata Conan sambil mengacak rambutnya sembarang.

Setelah menutup sambungan telpon, Conan segera melangkahkan kakinya untuk mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan meninggalkan anak buahnya yang masih menunduk lesu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro