Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam menunjukkan pukul sebelas siang saat Chacha berdiri di halaman sebuah gedung berlantai lima puluh yang tinggi menjulang. Berulang kali dia terlihat menarik napa dalam hanya untuk meyakinkan dirinya dari apa yang akan dilakukannya beberapa menit lagi.

Dengan langkah yang mantap, Chacha melangkahkan kakinya mulai memasuki gedung bertingkat itu. Jika saja dia mengikuti egonya, maka dia tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya di gedung ini sebelum semua permasalahannya selesai. Tapi keadaan menuntutnya untuk datang ke sini dan memperlihatkan bahwa apa yang di sangkakan oleh orang-orang yang tidak percaya dengan kemampuannya adalah salah.

"Pak Wiradinatanya ada, Mbak?" tanya Chacha pada resepsionis.

Tidak ada jawaban yang terlontar dari resepsionis tersebut. Dia hanya menatap Chacha dari ujung rambut hingga ujung kaki yang terang saja membuat Chacha mengikuti pandangan resepsionia itu hanya untuk memastikan jika apa yang dia kenakan tidaklah salah sama sekali.

"Di sini tidak ada lowongan untuk anak magang, jadi lebih baik pulang," kata resepsionis dengan nada sinis dan sedikit mengejek.

"Saya bukan mau magang, tapi mau bertemu dengan Pak Wiradinata, Presdir di sini!" kata Chacha dengan penuh penekanan.

"Sudah buat janji belum?" tanya resepsionis itu masih dengan sini.

"Ck...," kata Chacha kesal yang kemudian melangkahkan kakinya menuju lift.

Tepat sebelum Chacha sampai di lift, resepsionis tadi sudah menghalangi langkahnya yang tentu saja dengan sikap arogan dan sok kuasanya.

"Minggir!" perintah Chacha.

"Mbak tidak ada janji jadi tidak boleh naik ke atas!" kata resepsionis .

"Mbak Khansa," kata seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari lift.

"Eh Om Herman, Papa ada, Om?" kata Chacha sambil mencium tangan Pak Herman, manajer keuangan di perusahan milik keluarga Chacha.

"Ada Mbak, naik saja ke atas," kaya Pak Herman dan resepaionis tadi hanya dapat menundukkan kepalanya tanpa mengatakan sepatah katapun.

Chacha langsung menekan tombol lantai paling atas di mana ruangan Papanya berada. Ini adalah pertama kalinya dia menginjakkan kakinya di kantor ini dan pertama  kalinya pula dia akan bertemu dengan ayahnya setelah tiga tahun berlalu.

Tring... suara lift terbuka dan Chacha langsung melangkahkan kakinya keluar dari lift. Tidak ada yang berubah dari lantai di mana ruangan Papanya berada. Semuanya masih tetap sama, mulai dari cat, furniture, sampai pada hiasan dinding, semua tetap sama. Hanya ada beberapa karyawan baru di lantai, yang itu menunjukkan jika Pak Wiradinata masih memoercayai orang yang sama untuk mengisi beberapa bagian yang vital.

"Papa ada, Mbak?" tanya Chacha pada sekretaris Pak Wiradinata.

"Ada Mbak, tapi tunggu sebentar karena Bapak sedang ada tamu," jawabnya dan Chacha hanya menganggukkan kepalanya pelan sambil berjalan menuju sofa yang ada di sana.

Setelah duduk dengan nyaman, Chacha mengambil sebuah majalah bisnis yang ada di atas meja. Dia mai membaca dan mempelajari apa yang ada di dalam majalah itu. Chacha memang seorang mahasiswa Ilmu Bisnis sehingga dia tidak kesulitan untuk memahami apa yang ada di dalam majalah itu meski dia jarang memabaca majalah.

Selesai membaca satu majalah, Chacha kembali memilih beberapa majalah dengan Head Line News yang menurutnya cukup menarik. Hingga matanya menangkap sebuah head line news mengenai kiat sukses di masa muda.

"Mbak, Bapak menunggu," kata sekretaris Pak Wiradinata sesaat sebelum Chacha mengambil majalah tersebut.

Huft... Chacha menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan sangat perahan. Kembali dia mencoba untuk mengatur suasana hatinya sebelum menghadapi orang yang begitu keras kepala dan dia panggil Papa.

"Akhirnya kamu datang juga Cha, kamu sudah menyerah hidup sendirian di luar sana dan memutuskan untuk kembali ke dalam lindungan Papa dan Mamamu kan?" tanya Pak Wiradinata saat Chacha baru memasuki ruangannya

Gadis berambut panjang itu tidak menjawab sepatah katapun. Dia hanya melangkahkan kakinya dengan penuh kepercayaan diri hingga berhenti di hadapan pria paruh baya yang masih memiliki sisa-sisa ketampanan di masa mudanya.

"Jangan terlalu sombong, Pa. Chacha ke sini hanya ingin memperlihatkan ini sama Papa," kata Chacha sambil mengeluarkan beberpa lembar kertas dari dalam tasnya.

Kertas-kertas itu bukanlah kertas kosong tanpa arti, melainkan kertas photo copy transkrip nilai dan buku tabungan dengan nominal yang cukup besar bagi seorang gadis yang harus bertahan hidup tanpa sokongan dana dari keluarganya.

Pak Wiradinata mengernyitkan keningnya tak percaya saat melihat lembaran-lembaran kertas itu. Dia terlalu terkejut dengan lembar transkrip karena tahu jika putrinya adalah anak yang pintar. Namun dia terkejut dengan nominal yang ada di tabungan Chacha. Dia tidak pernah menyangka jika putrinya itu memang benar-benar bisa bertahan hidup di luar sana dengan kehidupan yang layak dan uang yang cukup.

"Papa lihat, aku kuliah di dalam negeri saja bisa mendapatkan prestasi yang memuaskan dan sempurna, bisa mendapatkan uang juga dan tidak tergantung kepada uang yang Papa kirim tiap bulan. Berbeda jika aku kuliah di luar negeri," kata Chacha sambil menatap manik Coklat milik Pak Wiradinata

"Tetap saja Cha, kualitasmu di bawah orang-orang yang kuliah di luar negeri," kata Pak Wiradinata yang memang merasa jika pendidikan di luar begeri jauh lebih baik.

Mendengar hal itu Chacha hanya dapat tersenyum simpul. Kemudian dia mengambil selembar kertas lain dari dalam tasnya.

"Papa lihat, ini adalah photo copy sertifikat juara essay se-Asia Pasific, dan ini lomba lainnya yang bertaraf Internasional. Dari lomba ini membuktikan bahwa aku masih jauh lebih baik dari mahasiswa yang ada di luar sana," kata Chacha.

Skakmat, Pak Wiradinata kali ini tidak dapat membantah perkataan putrinya. Tapi sikap angkuhnya masih saja tidak dapat membuatnya mengakui bahwa kuliah di dalam negeri bisa lebih berkualitas dari pada di luar negeri.

"Chacha hanya ingin memperlihatkan itu pada Papa agar Papa tidak malu mengakui keberadaan Chacha di hadapan keluarga besar," kata Chacha sambil membalikkan badannya untuk pergi dari ruangan Pak Wiradinata.

Ya, semua tindakan Chacha hari ini memang di dasari atas postingan sepupunya yang mengatakan jika dia berada di Los Angels. Dia terbakar rasa kesal pada Sang ayah yang merasa malu untuk mengakui jika putrinya memilih berkuliah di dalam negeri, tidak seperti saudara-saudaranya yang lain yang berkuliah di universiras ternama di luar negeri.

"Ah satu lagi Pa, jangan pernah menyuruh orang datang ke kampus Chacha jika Papa tidak mau menanggung biaya rumah sakit mereka!" kata Chacha sesaat sebelum keluar dari ruangan Pak Wiradinata.

Sepeninggal Chacha, Pak Wiradinata menatap kertas-kertas yang ada di hadapannya. Di akui atau tidak, dia sangat bangga dengan semua pencapaian Chacha.

"Kamu memang anak Papa, Cha," gumam Pak Wiradinata sambil tersenyum bangga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro