Tiga Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua bulan sudah hubungan Diana dan Chacha memburuk. Berulang kali Chacha berusaha untuk memperbaiki persahabatan mereka, tapi hasilnya nihil. Diana selalu bersikap sinis dan terus menjaga jarak hingga akhirnya Chacha menyerah pada keadaan yang mungkin akan menjadi akhir dari kisah persahabatannya selama hampir empat tahun ini.

Di lain sisi, ada hal yang membuat Chacha bahagia. Ini bukan tentang skripsinya yang seolah berjalan mulus tanpa hambatan berarti karena Pak Broto sebagai pembimbing satu dan Bu Asni sebagai pembimbing dua, yang selalu puas dengan pengerjaan skripsi Chacha. Tapi hal ini berhubungan dengan hatinya yang semakin hari semakin berbunga-bunga. Ya, semakin hari Chacha semakin dekat dengan Conan dan rasa canggung ataupun jaim yang sempat hadir di hatinya kini menghilang begitu saja bahkan tanpa bekas.

"Cha, kok bengong saja, kenapa?" tanya Conan saat keduanya sedang jalan-jalan di taman.

"Gak kok, ni aku lagi liatin anak-anak itu yang sedang main, kayanya hidup mereka tanpa beban banget ya?" kata Chacha mengalihkan pembicaraan serta menyembunyikan masalah yang sedang merundungnya.

Conan hanya diam memerhatikan anak-anak yang sedang bermain dan tertawa riang sambil sesekali menatap Chacha. Hatinya tahu jika perempuan yang sedang berjalan bersamanya tidak sepenuhnya memerhatikan anak-anak itu. Pandangan matanya memang tertuju pada anak-anak itu, tapi sorot matanya mengatakan lain.

"Mereka tanpa beban karena selalu bersikap jujur tanpa menyembunyikan sesuatu apa pun dari orang-orang di sekitarnya. Jiwa mereka masih polos dan belum terkontaminasi seperti kita. Sedang kita sebagai orang dewasa, di sadari atau tidak banyak bersandiwara dalam banyak hal.

"Selalu ada alasan untuk bersandiwara dan memainkan sebuah drama secara utuh. Kita selalu berpikir bahwa orang lain di sekitar kita tidak perlu tahu mengenai sekelumit masalah hidup yang sedang menimpa kita," ucap Conan tanpa mengalihkan pandangannya dari anak-anak kecil tanpa dosa itu.

Ia tahu betul jika memaksa Chacha untuk mengatakan semuanya maka sudah barang pasti akan sia-sia karena dia pasti akan menyembunyikan serapat mungkin. Tapi berbeda dengan menggunakan untaian kalimat yang tidak secara gamblang tertuju padanya. Conan yakin jika Chacha adalah gadis yang pintar sehingga dapat dengan mudah mencerna kata-katanya barusan.

Sesaat Chacha terlihat menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan sangat perlahan. Dia terlihat memejamkan mata kemudian kembali membuka matanya dan menatap anak-anak yang masih bermain dan tertawa dengan riangnya.

"Terkadang bersembunyi dan diam menjadi sebuah pilihan terbaik atas sesuatu yang menyapa kita tanpa permisi," kata Chacha sambil menyunggingkan seulas senyum dan melangkahkan kakinya menghampiri anak-anak itu dan ikut bermain.

"Gadis yang unik, tapi aku menyukainya," kata Conan dan ikut berbaur dengan anak-anak itu serta Chacha.

Sebuah tawa lepas keluar dari bibir Chacha dan Conan untuk kesekian kalinya. Mereka sangat menikmati bermain dengan anak-anak dalam kegembiraan dan canda tawa seolah semua beban yang ada di dalam diri mereka. Semua sandiwara itu benar-benar telah menguap dan menghilang sepenuhnya.

"Aku sangat menikmati dan menyukai semua ini," kata Chacha saat mereka sedang berjalan setelah puas bermain-main dengan anak-anak yang begitu polos dan tanpa dosa.

"Kukira kamu akan bilang kalau kamu sangat menyukaiku dan mencintaiku," kata Conan sambil terus melangkahkan kakinya.

"Oh tidak ada ya ceritanya perempuan menyatakan cinta duluan,"kata Chacha sambil tertawa dan terus melangkahkan kakinya sedikit lebih lebar hingga menimbulkan jarak dengan Conan.

Menyadari adanya lampu hijau dari Chacha, Conan segera menyamakan langkahnya dengan gadis yang di cintainya. Jantungnya mulai berdegup dengan begitu kencang seolah ini adalah yang pertama baginya.

"I love you," kata Conan saat ia telah berada di samping Chacha.

"Kenapa?" tanya Chacha yang berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Conan.

Conan langsung mengenggam tangan Chacha hingga membuat perempuan itu berhenti berjalan dan menghadap Conan. Di tatapnya manik Coklat yang selalu menganggu tidurnya, ada sorotan penuh cinta yang mencoba disembunyikannya tapi tetap saja Conan dapat melihat hal itu dengan sangat jelas.

"Aku mencintaimu, maukah kamu jadi pacarku?" tanya Conan dengan sungguh-sungguh.

Chacha menatap iris milik Conan dan mencoba memcari keseriusan dari kata-kata itu. Bukan karena dia tidak mempercayai kata-kata pria yang baru beberapa bulan ini di kenalnya, tapi karena ia tak ingin terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Chacha ingin menjalin hubungan dengan serius, bukan lagi main-main seperti saat dirinya masih SMA.

"Aku memang hanya seorang kuli bangunan dan kamu calon Sarjana Ekonomi. Tapi aku sungguh-sungguh mencintaimu apa adanya dirimu," kata Conan mencoba meyakinkan.

"Aku percaya sama kamu."

"Jadi, kamu mau jadi pacarku?"

"Ya."

"Kamu tidak akan menyesal karena aku hanya seorang kuli dan lulusan SD, sedang kamu calon Sarjana Ekonomi?"

"Aku menerimamu apa adanya dirimu, bukan adanya apa. Aku trima semua kekuranganmu dan kelebihanmu karena aku nyaman denganmu dan mencintai dirimu tulus dari dalam hatiku."

"Makasih, Cha."

Ada rasa hangat yang membuncang di dalam hati keduanya dan bunga-bunga bermekaran hingga membuatnya semakin indah. Mereka membuktikan jika status sosial tidak ada dalam cinta. Cinta itu datang kepada siapa saja tanpa adanya paksaan dan tidak melihat pasangannya dari status sosial. Cinta tak pernah menuntut, tak pernah memilih, dan bahkan tak pernah mempermasalahkan status. Karena cinta sejatinya adalah sesuatu yang begitu murni dan tulus.

"Terima kasih sudah mencintaiku," kata Chacha saat kedunya telah duduk di salah satu kursi di taman kota.

"Jadi kenapa dari tadi kamu hanya diam dan pandanganmu sedikit kosong?" tanya Conan merasa jika ini adalah saat yang tepat untuk membuat perempuannya terbuka padanya.

Chacha langsung menatap Conan dan menarik napas dalam. Dia masih berpikir apakah dia harus mengatakan semuanya atau tetap diam seperti biasanya dan menyembunyikan semuanya sendiri. Tapi sampai kapan dirinya akan mampu berdiam diri tanpa penyelesaian atas masalah yang ada.

"Aku harap kita bisa saling terbuka karena aku gak mau kamu sedih dan terus memikirkan semuanya sendiri," kata Conan sedikit memaksa.

"Ada masalah sama Diana," kata Chacha setelah terdiam selama beberapa saat. Sepertinya kali ini memang sudah semestinya ia membicarakan semuanya pada seseorang yang bisa dia percaya.

"Diana? Bukankah dia yang selalu bersamamu?"

"Ya, dia sahabatku. Tapi entah kenapa beberapa bulan ini sikap dia berubah. Dia bersikap sinis dan tidak bersahabat."

"Kamu ada melakukan salah atau bagaimana?"

"Aky rasa tidak. Dia bersikap seperti itu setelah beberapa bulan lalu bertemu denganmu di jalan dan dia memisahkan diri karena ada sesuatu yang dilupakan."

"Lalu kenapa dia seperti itu?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro