E

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cerita semalam terpotong, aku sudah terlalu mengantuk untuk meneruskannya. Pagi ini pun aku belum lanjut bercerita pada Ibu. Namun, perasaanku sudah sedikit lebih baik.

Dalam cerita ini aku jarang membahas Ayah, karena sosok itu telah lama pergi. Dia menghilang tanpa kabar saat aku baru mau masuk SD. Sejak saat itu, Ibu menjadi sosok ibu sekaligus ayah bagiku. Dia membuka warung makan dari pagi hingga sore untuk mencari nafkah, setelah itu mengurus urusan rumah.

Karena itu, aku tidak ingin merepotkan Ibu lagi. Aku tak memilih tak melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Membantu Ibu di rumah makan sementara hingga aku mendapat pekerjaan tetap. Aku sudah mengirim beberapa email lamaran pekerjaan.

"Makan di sini atau bungkus, Mas?" tanyaku pada seseorang yang baru datang.

"Makan sini," katanya sambil duduk di kursi yang tepat berada di depanku, hanya terhalang oleh etalase berisi lauk pauk masakan Ibu yang paling lezat sedunia.

Aku segera mengambil piring, mengisinya dengan nasi. "Pake apa, Mas?"

"Orek basah, sayur sop, sama telur dadar."

Aku menambahkan isi piring itu dengan lauk sesuai suara yang kudengar, lalu memberikan piring yang sudah berisi itu kepada pembeli.

"Minumnya?"

"Air putih aja, yang anget, ya."

Aku mengangguk, mengambilkan minum untuk teman makanannya.

Kira-kira begitulah bagian dari rutinitasku bersama Ibu dari pagi hingga sore. Setelah semua habis, kami membereskan warung dan menutupnya. Kemudian kembali ke rumah membawa lauk yang sengaja Ibu sisihkan untuk makan malam kami.

Bangunan warung makan Ibu terpisah dengan rumah kami. Walau begitu, jaraknya hanya beberapa langkah. Seingatku, bangunan itu dulunya adalah gudang. Kemudian Ibu menyulapnya menjadi rumah makan dengan dapur dan kamar mandi di bagian belakangnya.

Aku membersihkan diri setelah sampai di rumah, membiarkan air mengenai seluruh kulitku. Kesibukan hari ini membuatku lupa masalahku, tapi ketenangan saat ini mengembalikan ingatanku. Aku berbuat kesalahan besar, kalimat itu kembali menghantui pikiranku.

Sadar dengan ketidakwajaran ini, aku bergegas menyelesaikan mandi, berpakaian, dan mencari keberadaan Ibu.

Ibu sedang duduk di depan mesin cuci, membaca buku menunggu mesin itu berhenti berputar. Aku memeluknya dari belakang, membuatnya mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca.

"Kenapa, Nak?" tanya Ibu sambil mengusap kepalaku.

Suara lembut itu selalu terdengar nyaman di telinga.

"Aku ... butuh bantuan Ibu memperbaiki apa yang telah kuperbuat. Aku butuh pendapat Ibu, apa yang harus kulakukan saat ini."

"Apa yang bisa Ibu bantu?"

"Ibu harus dengar ceritaku terlebih dahulu sampai tuntas ...."

***

Aku tak bisa tidur. Bahkan hingga suara ayam sahut-menyahut berkokok, aku masih dalam keadaan terjaga. Aku tak sabar bertemu kembali dengan Tuan Patah Hati.

"Kamu tak bisa tidur?"

Suara itu kembali terdengar setelah beberapa jam lalu menghilang.

"Tuan Patah Hati?"

Pandanganku menyusuri sekitar, mencari keberadaannya. Sosok yang kucari baru terlihat masuk dari pintu bagian bawah.

"Kamu sepertinya tidak sabar bertualang."

Ya, aku sangat-sangat tidak sabar. "Apa sekarang sudah waktunya."

"Karena kamu sudah sangat siap, mari kita berangkat sekarang." Gumpalan asap hitam itu bergerak ke sana kemari menyusuri setiap sudut kamarku.

"Aku harus izin dulu pada Ibu."

"Tidak perlu. Kasihan ibumu kelelahan jika kau bangunkan dia sekarang."

Aku sedikit ragu, tapi apa yang dikatakan Tuan Patah Hati ada benarnya juga. Akhirnya, aku pergi meninggalkan pesan lewat tulisan.

'Aku izin bertualang beberapa hari, Bu'.

Setelahnya aku dan Tuan Patah Hati meninggalkan rumah kayu sederhanaku.

Tuan Patah Hati menyuruhku mengikutinya. Aku berjalan dengan semangat sambil menikmati udara pagi yang masih gelap. Perjalanan lumayan jauh ternyata, dari jalanan biasa menuju pelosok, menyebrangi sungai hingga sampai ke bibir hutan. Beberapa kali aku harus naik kendaraan, berjam-jam kakiku terus melangkah. Istirahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan. Benar-benar perjalanan yang tak pernah kubayangkan. Dari gelapnya pagi hingga matahari hampir tenggelam, kami belum sampai ke tempat yang dimaksud Tuan Patah Hati.

Saat ini kami sedang beristirahat di bibir hutan setelah berusaha menyebrangi lautan, lebih tepatnya aku yang beristirahat karena tidak mungkin gumpalan asap hitam itu kelelahan, bukan?

"Masih jauh?" Aku berujar setelah menenggak air.

"Petualangan ini baru akan dimulai, Tuan Muda. Santai saja, jangan terburu-buru."

"Kamu tidak memberikan gambaran kalau perjalanan kita akan sejauh ini. Aku sudah berkali-kali kehabisan air minum, berkali-kali beli lagi, dan sekarang sudah mau habis lagi," protesku sedikit kesal.

Tuan Patah Hati terkekeh. "Nikmati saja perjalanan ini. Di depan sana, perjalanan kita akan jauh lebih sulit."

Aku meneguk saliva. "Sebenarnya kita akan ke mana? Dari tadi, kamu hanya menyuruhku mengikuti tanpa memberitahu tujuan."

"Tujuan kita jelas menuju tempat pengabul permintaan."

Aku tahu itu. Bahkan lebih sederhana, aku hanya ingin ke Bintang Trang. "Gimana caranya kita ke sana? Kenapa sekarang kita malah di dekat hutan?"

"Karena portal menuju Trang di dalam sana ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro