3. Kapan Hamil? (b)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Okan jelas merupakan hal terbaik dalam hidup Aurel. Pria itu bisa membawanya ke arah yang lebih baik. Salah satu bukti nyata, Aurel tidak lagi antipati terhadap pekerjaan rumah tangga. Misalnya, mencuci piring.

Sejak menikah, mencuci piring tidak lagi menjadi momok bagi Aurel. Dia selalu mencuci piring bekas makan malam sebelum tidur. Dia bahkan berprinsip bahwa kecantikannya belum sah kalau belum bisa mencuci piring dan mencuci baju. Perihal mencuci baju, ternyata itu soal gampang. Kan tinggal cemplungin ke mesin cuci saja. Beres. Nah, kalau mencuci piring itu anggap saja sedang main air dan sabun. Semua manusia itu fitrahnya suka main air. Apalagi manusia Indonesia. Air banjir saja dianggap wahana water boom.

"Rel, sudah selesai cuci piringnya?"

Entah bagaimana Aurel dilanda perasaan aneh bahwa Dian akan membicarakan topik yang tidak mengenakkan.

Aurel yanh sedang asyik menyabuni piring kaca hadiah detergen Sayang pun segera membilasnya dan mengeringkan tangan dengan serbet. "Tinggal sedikit lagi, Bun. Kenapa? Di kamar Bunda ada nyamuk?"

Dian menggeleng. "Enggak."

"Kipas anginnya nggak nyala?"

"Nyala kok. Sini duduk. Bunda mau bicara." Dian menunjuk kursi meja makan. Dia mendahului Aurel duduk di salah satunya.

Aurel deg-degan parah seakan-akan dia baru saja dituduh mencuci uang, padahal dia cuma mencuci piring. Dia mengenyakkan bokongnya pelan-pelan si kursi. "Mau bicara apa, Bun?"

"Bunda nggak bisa tinggal lama di sini. Besok Bunda udah harus pulang ke Tegal."

Alhamdulillah. Ups, Aurel hampir keceplosan. Untung dia berhasil berakting netral, jadi dia mengangguk saja.

"Tolong kamu perlakukan Azizah dengan baik. Jadikan dia temanmu."

Aurel mengangguk lagi. "Iya, Bun."

"Hitung-hitung, kehadiran Azizah di sini bisa buat bantu-bantu kamu dan Okan. Supaya kamu nggak capek dan cepat isi."

Aurel kontan mendongak begitu mendengar dua kata terakhir. Ekspresi kagetnya tentu tidak luput dari pengamatan Dian.

"Kenapa? Kamu kok kayak kaget gitu? Kamu dan Okan sudah setahun menikah, masa belum hamil juga? Kamu nggak sengaja menunda kan?"

Apa ibu mertuanya ini mantan muridnya Karni Ilyas? Aurel bertanya-tanya dalam hati. Kenapa pertanyaan Dian tajam dan to the point begitu? Aurel menarik napas panjang. Sabar. Sabar. Istri penyabar disayang suami. Setelah yakin stok sabar di dada sudah mencukupi, Aurel menatap Dian dan menjawab dengan sopan.

"Aurel belum siap, Bun. Anak kan butuh biaya banyak. Aurel dan Mas Okan masih menabung." Aurel mencoba memberi jawaban yang diplomatis. Tentunya Dian tahu bagaimana kondisi ekonomi Okan.

"Berarti kalian sengaja menunda? Pantas sudah setahun nikah tapi kamu masih kosong. Pasti kamu ya yang minta menunda? Nggak mungkin Okan. Okan itu walaupun anak tunggal, tapi dia penuh naluri kebapakan."

Ya Allah ya Illahi Rabbi ... Meskipun tuduhan Dian itu benar, Aurel tidak terima dipojokkan. Kenapa perempuan terus yang dituding? Kalau ada perempuan yang hamil sebelum nikah, dituding nggak bisa jaga diri. Sekarang Aurel ingin merencanakan kehamilan di saat yang tepat, masih salah juga. Hamil salah, nggak hamil juga salah. Mirisnya, pihak yang sering nyalah-nyalahin itu juga perempuan.

"Aurel ingin hamil saat sudah siap, Bun."

"Siapnya kapan?"

Nanti kalau udah punya duit 1M.

Seandainya Aurel bisa menjawab seperti itu. Hiks, Aurel ingin menangis karena dia tidak mungkin menjelaskan alasannya.

"Doain secepatnya, Bun."

"Haduh, Bunda nggak butuh jawaban formalitas. Pokoknya kalau tahun depan kamu belum mau hamil, kamu dan Okan cerai saja."

_________

Wuih, cacar air cepat banget menularnya ya. Satu anak sembuh ganti anak yang lain kena.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro