Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada alasan mengapa Fedeline memutuskan tidak ikut liburan bersama Anton  dan rekan satu timnya ke pantai. Ia benci seafood. Makanan yang pernah nyaris membunuhnya itu membuat Fedeline trauma dan lebih baik menjauh dari pantai, sejauh-jauhnya, bahkan jika pun ia harus mendaki gunung sendirian. Seperti yang sedang ia lakukan sekarang, menjelajahi kawah gunung berapi yang masih aktif seorang diri. Lebih baik membungkus diri dengan jaket tebal daripada mendekati laut dan seisinya.

Wanita berusia 28 tahun itu mengencangkan tali sepatu dan merapatkan jaket. Suhu di kaki gunung Bursbenrgh tadi sekitar enam derajat. Pendakian sore yang dikiranya bakal hangat, ternyata tidak juga. Kulit tubuhnya masih harus berhadapan dengan suhu dingin empat derajat, yang terasa makin dingin makin ke atas. Gunung terbesar di Mountberry ini memang terkenal dengan kawahnya. Dua puluh tahun lalu pernah meletus hebat dan meninggalkan lubang besar di puncaknya, sebuah kawah yang berisi air dengan pH rendah yang nyaris melelehkan kulit dan daging manusia. Belum lagi jurang di sisi kanan kiri jalur pendakian yang mewajibkan setiap pendaki untuk tidak lengah agar tidak terpeleset. Terlepas dari kengeriannya, kawah Bursbenrgh merupakan objek wisata yang paling banyak diminati. Kawah yang menyerupai danau besar dengan air berwarna biru muda,  batuan belerang yang membeku beraneka ukuran yang melingkup di pinggiran kaldera berbanding terbalik dengan deretan pepohonan yang membentang di sepanjang jalur pendakian. Rumpun dan semak perdu dengan bunga liar yang tumbuh subur di dasar jurang, Monkshood ungu dan Snow buttercup kuning yang tersebar merata. Berada di ketinggian 2900 mdpl, kawah Bursbenrgh ibarat potongan surga yang jauh dari jangkauan perkotaan. Fedeline tidak menyesal memilih mendaki gunung daripada bersantai dengan rekan satu timnya di pantai dekat pusat kota Berrington.

Fedeline memandangi pendaki yang ramai lalu lalang di sekitarnya. Ada yang bertubuh jangkung dengan kulit gelap, khas keturunan Amerika-Afrika yang dengan sigapnya berjalan cepat menuju puncak. Ada juga yang bertubuh mungil dan tenggelam dalam jaket tebal yang membungkus kulit, bergerak lambat dengan kecepatan siput, sama seperti dirinya. Beberapa di antara mereka ada yang pergi berpasangan, mengabadikan momen dengan kamera ponsel. Ada juga yang pergi bersama rombongan. Tidak kurang dari tiga puluh orang berada di sekitar Fedeline sore ini.

“Apa aku begitu menyedihkan karena mendaki gunung sendiri?” tanyanya pada diri sendiri.

Fedeline menghela napas dan menggeleng pelan. Anton sudah mengingatkannya agar lebih membaur dan terbuka dengan rekan satu tim, tapi tetap saja tidak mudah bagi Fedeline bergaul dengan rekan kerja barunya. Selain itu, mendaki gunung hanya upayanya untuk menghindari masalah yang lebih besar kalau sampai ia keracunan seafood saat liburan.

Fedeline baru saja mengikat tali sepatu dan ingin melanjutkan pendakian saat tiba-tiba ia mendengar teriakan melengking seorang gadis beberapa meter di depan jalur pendakiannya. Wajah mereka terlihat panik dan dengan serentak mendongak ke dalam jurang. Penasaran dengan apa yang terjadi, ia pun mendekat. Kedua alis detektif muda itu bertaut, mereka menunjuk sesuatu yang tergeletak di dasar jurang. Fedeline terbelalak begitu menyadari bahwa sesosok pemuda mengenakan jaket dan topi wol hitam terbaring tidak sadarkan diri di sana.

Dengan sigap Fedeline mengeluarkan tali dari dalam tas dan sebuah pasak piton. Ia menancapkan pasak piton itu ke tanah lalu memukulnya dengan batu yang ditemukan di sekitar jalur agar tertanam kuat. Ia lalu melilitkan tali dan menuruni jurang perlahan-lahan. Sepatu gunungnya dengan mudah menahan tubuh agar tidak berayun kencang.  Dinding jurang itu tidak terlalu curam, tapi berumput dan cukup licin. Begitu sampai di dasar jurang, Fedeline bergegas menghampiri sosok pemuda tadi dan memastikan kondisinya.

Fedeline melepas sarung tangan dan meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung pemuda tersebut. Nihil, ia tidak merasakan adanya hembusan tarikan napas. Merasa kurang yakin bahwa instingnya salah, Fedeline lantas menempelkan jari tengah dan telunjuk di sisi leher dengan batang tenggorokan untuk menemukan arteri karotis. Arteri karotis adalah pembuluh di dalam leher yang mengantarkan darah langsung ke otak.  Sayangnya, Fedeline gagal merasakan denyut jantung yang memompa. Dengan segera Fedeline melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan dan segera melakukan panggilan darurat untuk memanggil petugas dari kantor polisi terdekat.

Fedeline mengamati sosok mayat itu lebih detail. Tubuhnya kaku dan dingin. Wajahnya tegang. Bibirnya juga pucat membiru, mungkin efek hiportemia? Bola matanya sayu dan agak sedikit terbuka. Begitu juga dengan mulutnya yang sedikit terbuka dan berliur.

Tangan dan kuku mayat ini bersih. Benar-benar bersih, tidak seperti orang yang terpeleset yang seharusnya sedikit ditempeli tanah. Jemari Fedeline dengan cepat mencatat apa yang ia temukan di sekitarnya. Mayat iini terlalu mencurigakan untuk dianggap korban kecelakaan. Fedeline mencium aroma di sekitarnya, mungkin saja ada belerang yang meletus dari kawah, tapi tidak ada. Jika ada aroma belerang, para pendaki pasti sudah heboh dan memberi tahu pengawas gunung. Besar kemungkinan juga status siaga gunung berapi membuat pintu masuk di bawah tadi ditutup. Tapi, semua terlihat norrmal. Samar-samar, Fedeline mencium aroma rumput dan ... jeruk?

Fedeline mendekati mayat itu dan mencium aroma jeruk dari kerah jaketnya. Ia memperhatikan pakaiannya yang tertutup rapat, jaket tebal, dan tidak terlihat bekas luka besar. Parfum? Pilihan yang unik untuk cowok maskulin, seharusnya.

Fedeline mengambil foto korban dengan detail dan tidak melewatkan bagian mana pun. Setelah diperhatikan, memang tidak ada noda darah pakaiannya. Hanya ada sedikit tanah yang menempel di jaket hitamnya. Sesuai dengan lokasi TKP yang tidak ada batu besar yang mungkin saja membentur kepala atau tangan korban sehingga menyebabkan luka fatal. Tapi, mayat ini terlalu bersih untuk dinyatakan sebagai korban jatuh dari jurang. Fedeline melepas sepatu dan mengamati area sekitar mayat. Ia mendata kemungkinan apa saja yang membuat pemuda tinggi tegap itu mati begitu saja. Tidak ada jejak sepatu, semua masih terlihat baru. Beberapa meter di bawah sana memang ada semak rumpun. Mungkinkah ia digigit ular?

Saat Fedeline berkutat dengan penemuan mayat misterius ini, teleponnya berdering. Nama Anton tertulis di layar ponselnya. Fedeline menggerutu sesaat sebelum mengangkat panggilan masuk dari rekannya yang setengah mati sedang ia jauhi itu. Anton adalah atasannya di tim detektif kepolisian Berrington. Pemuda yang lebih tua empat tahun darinya itu terkenal sebagai sosok yang terlalu santai dan terlalu cepat mengambil keputusan. Paling rajin mengajak rekan satu tim jalan-jalan dan liburan, dikenal royal dan suka mentraktir makan. Ingin menyelesaikan kasus secepat mungkin dengan alasan ia butuh refreshing. Anton tidak ceroboh, hanya tidak mau ikut campur masalah terlalu dalam. Meskipun begitu, Fedeline mengakui bahwa Anton cukup pintar dan layak menjabat sebagai ketua tim inti, andai ia mau bersikap sedikit lebih serius.

“Kalau kau meneleponku hanya untuk memamerkan liburan menyenangkanmu di pantai, lupakan saja,” ucap Fedeline ketus bersiap mematikan telepon.

Ia tidak butuh gangguan apa pun saat ini. Menemukan mayat di tengah hari libur, polisi mana yang menginginkan itu. Andai Anton bukan ketua tim, pasti ia sudah mematikan ponsel dan melanjutkan penyelidikan. Ia masih tidak habis pikir, kenapa kepala departemen menempatkan Fedeline di tim yang sama dengan Anton.

“Jangan sinis begitu. Aku sedang menawarkan kesepakatan perdamaian,” ujar Anton.  Fedeline bisa mendengar kekeh kecil di belakangnya. Perseteruan mereka sesaat sebelum libur kemarin rupanya hampir menemukan titik akhir.

“Apa kau akan mengganti hari liburku sebagai kompensasi atas kerja rodi kemarin? Jika tidak, lupakan saja. Aku tetap akan mengajukan permintaan tukar tim. Orang-orang di divisi kejahatan cyber pasti lebih menyenangkan daripada ....”

“Miss Barrier, aku harus bagaimana agar kau tetap di sebelahku?” Anton mencoba menggombal.

Gagal. Fedeline justru terdiam. Kalau kalimat ini diucapkan tokoh pria di film-film romantis, si tokoh wanita pasti akan mabuk kepayang dan salah tingkah. Tapi, hidupnya bukan potongan film. Ia tidak tertarik menjalin cinta atau dekat dengan siapa pun. Anton dan Fedeline sama-sama bungkam, yang satu sibuk memikirkan jawaban dan yang satu lagi sibuk menunggu jawaban.
Lamunan Fedeline dibuyarkan teriakan seorang gadis muda dari atas jalur pendakian yang memanggilnya. Fedeline menoleh, salah satu dari rombongan gadis muda tadi melambaikan tangan padanya.

“Apa dia masih hidup? Apa dia mati?” Teriak gadis tadi penuh ketakutan.

Fedeline bingung, haruskah ia mengatakan bahwa ada mayat di sini?

“Sebentar! Ada yang mati di sana!” Suara Anton terdengar bergetar dan kaget.

Fedeline kembali fokus ke panggilan masuknya yang sangat ingin ia akhirnya itu. Tapi, sebagai detektif profesional, ia harus bisa mengenyahkan permasalahan pribadi. “Ya, begitulah,” jawab Fedeline singkat.

“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja, kan?” Anton terdengar panik. Kalau Fedeline tidak menjauhkan ponsel itu dari telinga, bukan tidak mungkin membrana tympani-nya bakalan pecah.

“Jangan buang waktuku dengan pertanyaan bodohmu.” Fedeline menjawab ketus. Jika ia tidak baik-baik saja, pasti telepon ini tidak akan diangkat, kan.

“Ya, kau terdengar sangat sehat. Kau sudah mengamankan TKP kan? Jangan bertindak gegabah. Tunggulah Tim SAR.”

“Ya, mungkin mereka masih dalam perjalanan. Aku akan menanyai saksi dan mencari identitas korban.”

“Apa ada petunjuk?”

“Tidak. Sepertinya, dia jatuh ke jurang.”

“Kecelakaan?”

“Terlalu dini untuk menyimpulkannya.”

Anton dan Fedeline terdiam. Sibuk dengan semua kemungkinan yang berputar di kepala. Bicara soal penyebab kematian, tentu saja ada banyak. Kematian alami karena faktor usia atau penyakit. Kematian karena kecelakaan. Kematian karena homicide atau pembunuhan. Kematian karena suicide atau bunuh diri. Sesuatu yang terlihat seolah kecelakaan, belum tentu menggambarkan kejadian sebenarnya. Karena itulah detektif dibutuhkan, menemukan jawaban dari kepingan puzzle yang tercecer.

“Yang penting berhati-hatilah,” pesan Anton yang lagi-lagi hanya bisa Fedeline anggukkan. “Pikirkan lagi tawaranku tadi.”

Fedeline mematikan ponsel dan menunggu tim SAR datang. Ia tidak mau memikirkan tawaran Anton. Keputusannya sudah bulat. Setelah cuti ia akan pindah divisi dan tidak perlu berurusan dengan kematian lagi. Apa pun yang Anton lakukan, tidak akan bisa mengubah pendiriannya. Fedeline sudah jenuh dengan beragam kasus kematian tidak wajar yang ditanganinya.

Kerumunan orang sudah ramai di atas sana. Beberapa orang mengambil gambar dengan kamera ponsel, beberapa orang lagi bertanya lantang, apakah dirinya atau sosok pemuda itu butuh bantuan. Fedeline menggeleng. Sebagai detektif muda, ia bingung bagaimana harus bersikap di saat seperti ini. Jika ia menutup wajah mayat ini, itu artinya dia merusak TKP dan kondisi mayat. Ia khawatir sidik jarinya bakal merusak. Namun, ia tidak sanggup membiarkan wajah korban tersebar di sosial media, sebagaimana yang sering terjadi belakangan. Apalagi beberapa orang tampak mulai beringas ingin ikut turun ke jurang dan mendekatinya. Fedeline teringat sapu tangan yang tersimpan di dalam ranselnya. Ia lantas menutupi wajah mayat itu dengan sapu tangan tipis dan dengan segera berjalan menuju tali yang tadi ia gunakan untuk menuruni jurang dan mengayunkan tangan, meminta kerumunan itu menjauh dari lokasi.

“Kemana pun aku pergi, sepertinya kenapa aku selalu terjebak kasus,” gerutu Fedeline sambil merutuki sikapnya sendiri.

***

Fedeline menghabiskan setengah jam menunggu tim SAR datang menganalisis apa saja yang ia temukan di lokasi penemuan mayat. Jari-jari yang bersih. Bibir dan wajah pucat. Wajah kaku. Tidak ditemukan luka. Beberapa opsi yang terlintas dalam pikirannya, kematian karena racun atau karena serangan jantung mendadak. Melihat lokasi sekitar mayat yang tidak ada batu besar yang mungkin menyebabkan cedera, pemuda itu kemungkinan besar hilang kesadaran sebelum akhirnya jatuh ke jurang. Namun, bagaimana mungkin tidak ada yang menyadarinya. Mungkinkah ia memutuskan pergi mendaki sendirian?

Pikiran Fedeline dibuyarkan teriakan laki-laki paruh baya dari atas sana. Mereka tim SAR yang tadi diteleponnya.

“Apa kau baik-baik saja, Bu?” tanya laki-laki berkumis yang mengenakan topi oranye.
Fedeline yang awalnya hendak berteriak dan berterima kasih karena nyawanya diselamatkan justru merengut sedikit kecewa. Bagaimana mungkin dirinya yang belum berusia 30 tahun sudah dipanggil Ibu?

“Ya, aku tidak apa-apa.”

Mereka lantas turun ke dasar jurang dan memeriksa kondisi Fedeline dan mayat yang ditemukannya tadi. Fedeline sempat mengamati sesaat saat tim SAR mengecek kondisi mayat sebelum dimasukkan dalam kantong mayat berwarna kuning. Bersih, memang tidak ada luka atau noda darah di pakaian dan rumput. Kecurigaannya terkonfirmasi. Mayat ini hilang kesadaran bahkan sebelum ia jatuh ke jurang.

“Apa ada patah tulang atau semacamnya?” tanya Fedeline penasaran. Dia tahu seharusnya ia tidak usah ikut campur urusan ini dan membiarkannya ditangani polisi setempat, tapi ia tidak bisa menutup mata dan pura-pura tidak peduli..

Mereka menggeleng. “Sepertinya tidak ada, Bu.”

“Tim forensik akan datang sebentar lagi,” sambung salah satu temannya.

Fedeline teringat sekelompok gadis yang pertama kali menyadari keberadaan mayat ini. Ia lalu perlahan memanjat keluar setelah tim SAR lainnya mengulurkan tali dan pengait yang dengan cepat segera ia lilitkan ke tubuhnya. Jari-jarinya nyaris kebas karena tidak mengenakan sarung tangan.  Beruntung tim SAR membantu menarik tubuhnya. Tidak disangka, pemandangan yang ia saksikan begitu kembali menjejakkan kaki di jalur pendakian sudah berubah total. Pantas saja sudah tidak ada kerumunan yang berbisik-bisik heboh seperti tadi. Polisi sudah datang dan memasang garis polisi. Tidak jauh di belakang sana, ia bisa melihat sekelompok polisi yang membawa kamera. Pasti tim forensik, tebak Fedeline.

Tiga polisi forensik dan satu dokter khusus forensik itu bergegas menuruni jurang dengan bantuan tim SAR dan mengambil foto mayat. Fedeline mengamati mereka dengan saksama. Mereka memotret mayat baik secara full body ataupun secara close up dari berbagai arah. Ia sempat melakukannya juga tadi. Mencari luka di fisik yang mungkin saja tampak mencurigakan untuk menemukan penyebab kematian. Mereka kemudian mengecek saku jaket, saku celana, dan isi di dalam tas ransel mayat. Fedeline menerka, mereka sedang mencari identitas atau benda-benda yang mencurigakan yang berkaitan dengan penyebab kematian. Hal yang belum sempat Fedeline lakukan tadi karena tidak mau merusak barang bukti. Setelahnya mereka akan memberi garis posisi penemuan mayat atau chalk outline dengan menggunakan kapur. Kemudian mereka akan mengambil sidik jari korban setelahnya dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan visum.

Mata Fedeline kembali sibuk mencari sekelompok gadis yang merupakan saksi yang pertama kali menemukan mayat. Mereka rupanya sedang diwawancarai seorang petugas polisi berseragam cokelat muda. Fedeline sebagai orang yang ikut menemukan mayat itu ikut bergabung dan memperkenalkan diri.

“Nama aku  Fedeline Barrier dari kepolisian Berrington. Aku  yang tadi menelepon.”

Polisi gendut itu mengenalkan diri sebagai Sheriff Connor dan menjabat tangan Fedeline. “Terima kasih sudah menghubungi. Sungguh, kami tidak menyangka bakal ada kasus kematian di jurang setelah bertahun-tahun tidak terjadi. Ini kejadian yang langka.”

“Benarkah?” tanya Fedeline tidak percaya.

“Ya. Dua belas tahun aku  menjabat sebagai Sheriff Mountberry, baru kali ini ada kasus kematian karena kecelakaan jatuh ke jurang gunung Bursbenrgh,” jelas Sheriff Connor.

“Benar. Karena itulah kami memutuskan jalan-jalan ke sini. Jalurnya tidak terlalu sulit dan tidak licin. Kami ... tidak menyangka kalau yang kami lihat tadi itu mayat,” sambung gadis remaja yang tadi memekik ketakutan.

Fedeline lagi-lagi tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya. Bukannya pergi, ia malah mengeluarkan ponsel dan hendak mencatat informasi penting ini. “Apa kalian melihat ada yang aneh atau mencurigakan saat mayat itu ditemukan?”

Sekelompok remaja itu terdiam sesaat dan mencoba mengingat-ingat. Fedeline menoleh ke arah Sheriff Connor yang juga seolah menunggu jawaban. Tiga remaja SMA yang mungkin sedang mengisi liburan dengan jalan-jalan di gunung.

Mereka menggeleng. “Tidak ada. Kami hanya mencari spot selfie, mengambil foto pemandangan, dan saat itu kami melihat ia tergeletak di sana.”

“Tidak  teriakan minta tolong?” tanya Fedeline lagi. Ia melihat sekitar. Jalur pendakian ini cukup ramai. Jika pemuda itu jatuh, pasti akan dengan mudah ketahuan sebelum meninggal. Apalagi sejak siang tadi cuaca cukup cerah. Waktu kematian pemuda itu pasti jauh sebelum ia ditemukan.

“Tidak ada sepertinya , Bu,” jawab gadis-gadis itu kompak.

“Bu?” Fedeline tertawa meremehkan. Apa ia sudah terlihat tua sampai dipanggil Ibu oleh sekelompok anak SMA ini?!
Sheriff Connor meminta data ketiga gadis remaja itu dan berpesan pada mereka agar menghubungi kantor polisi jika teringat sesuatu yang berkaitan dengan penemuan mayat tadi. Fedeline merasa buntu jika kasus ini nyaris tanpa saksi. Ia harus mengandalkan hasil temuan forensik untuk memastikan apa yang terjadi.

***

Fedeline berniat kembali ke kantor polisi Mountberry bersama Sheriff Connor saat empat orang remaja mendekati Fedeline bersimbah air mata. Tiga gadis dan satu pemuda bertubuh mungil yang melangkahkan kaki dengan tergesa dan menatap nanar mobil ambulans yang bergerak pelan meninggalkan lokasi. Mereka tampak berantakan dan kacau. Yang seorang lagi, si gadis berambut merah ikal, bakal tidak terlihat seperti manusia saking hugup dan gemetarnya.

“I-itu Harris, Bu. Di-dia ..  dia teman kami. Dia kenapa? Apa yang terjadi? Ap-“ Gadis berambut merah itu meracau. Emosinya tidak stabil. Ia terus saja mengalihkan pandangan dari Fedeline dan mobil ambulans yang terus menjauh.

“Mereka bilang ada kecelakaan. Harris kenapa?” Kali ini giliran gadis berambut pirang yang bertanya.

Fedeline menghela napas dan menatap keempat remaja Itu. Mata mereka sembab, bengkak, kecuali gadis berambut merah dengan potongan rambut ala pixy dan seorang pemuda berambut hitam berkacamata. “Apa kalian mengenalnya?”

“Dia pacar aku , Bu. Bagaimana mungkin dia ....” Gadis berambut merah panjang itu tak melanjutkan kalimatnya. Fedeline menangkap kepedihan dari kata yang ia ucapkan. Gadis berambut Pixy itu memeluk dan menenangkannya. Napasnya tersengal, tidak teratur.

“Iya, Bu. Harris teman kami. Kami mendaki bersama-sama tadi malam.” Pemuda berkacamata itu menjawab. Ia berulang kali memperbaiki kacamatanya yang melorot. Patah? Fedeline juga melihat sedikit luka memar di pipi kirinya.

Fedeline membuka ponsel dan menulis catatan. Keempat remaja ini adalah orang-orang terakhir yang berkomunikasi dengan Harris. Setidaknya, mereka pasti tahu apa yang terjadi pada Harris sebelum ia meninggal.

“Tadi malam? Terakhir kalian bertemu dengannya tadi malam?” Fedeline mengerutkan kening. Apa pemuda itu sudah menghilang sejak semalam?

Jika mereka mendaki malam hari, lalu pemuda itu terpeleset, mungkin memang tidak kelihatan. Tapi, pasti terdengar saat ia berteriak. Namun, jika kematiannya malam hari, bagaimana mungkin sampai sore ini mayatnya baru diketemukan? Fedeline benar-benar bingung dengan apa yang terjadi dengan mayat yang sejam lalu diketemukannya itu.

“Iya, Bu. Kami mendaki semalam untuk memotret sunrise. Begitu sampai di kawah, kami sempat ngobrol sebentar, lalu turun tadi pagi,” jelas si pemuda berkacamata.

“Tapi, Harris tidak kembali ke tenda. Kami kira dia sudah pulang duluan, tapi dompetnya ketinggalan di tenda. Karena itulah kami mencari Harris lagi.” Gadis berambut pirang dengan topi wol merah marun menyerahkan dompet Harris pada Fedeline. “Tidak mungkin itu Harris. Dia hanya kebetulan memakai jaket yang sama. Iya kan, Bu?”

Fedeline membuka dompet itu dan mengamati kartu identitas yang tersimpan di dalamnya. Sheriff Connor sempat melirik dan berdecak, membuat Fedeline penasaran apa yang istimewa dari identitas pemuda ini. Namun, satu yang jelas, foto yang terpampang di kartu identitas ini sama persis dengan wajah mayat tadi.

“Aku  sangat menyesal tapi ....” Fedeline tercekat. Sheriff Connor pun tampak bersedih. Laki-laki baya itu terpukul mengetahui ada kasus kecelakaan tragis begini di wilayahnya.

Tangis mereka pecah. Si gadis berambut merah bahkan sudah lunglai di tanah jika tidak dipapah oleh si gadis berambut Pixy. Pemuda berkacamata itu menatap langit, khas seseorang yang berusaha menyembunyikan tangis. Ia membalikkan badan dan mengerang pelan. Sedangkan si gadis berambut pirang menggeleng tidak percaya.

“Ibu, tolong cek sekali lagi. Pasti bukan foto ini, kan?” Gadis berambut pirang itu terus mendesak Fedeline. Percuma. Dilihat seratus kali pun wajahnya tidak akan berubah.

“Nak, aku tahu ini sulit diterima tapi tidak ada yang bisa kita lakukan lagi. Itu benar-benar dia.” Sheriff Connor menenangkan si gadis berambut pirang.

Fedeline membaca kartu identitas itu lebih detail. Harris Oxford. Pemuda berusia 22 tahun, mahasiswa Universitas Eissensocre. Tinggal di perumahan elit sebelah utara Mountberry.
Anak kaya raya selalu punya alasan untuk jadi korban pembunuhan dan lebih sedikit motif untuk mengakhiri hidupnya sendiri, batin Fedeline. Fedeline merasa kematian ini semakin janggal.

“Kalian teman kampusnya?” tanya Fedeline dan mulai menanyai mereka satu per satu.

Pemuda mungil dengan tinggi tubuh hampir sama dengan Fedeline, kisaran 160 cm itu, menjawab lirih. “Iya, kami sekelas dengannya di jurusan manajemen bisnis.”

Fedeline lantas mencatat identitas mereka satu per satu. Pemuda itu bernama Simon yang mengaku sebagai teman dekat Harris. Gadis berambut pirang tadi bernama Giska, adik sepupu Harris. Dua orang gadis kembar berambut merah, Kiara si rambut panjang dan Kieve si rambut Pixy. Kiara merupakan pacar Harris sedangkan Kieve hanya menemani Kiara karena takut asmanya kambuh.

“Jadi, Harris  bersama kalian tadi pagi, saat turun gunung?” tanya Fedeline memastikan.

Mereka mengangguk bersamaan. “Ya, Bu. Sekitar jam setengah tujuh kami turun gunung.” Simon menjawab.

Fedeline mencatat dan masih merasa aneh. Ada empat orang teman Harris yang ikut mendaki, bagaimana mungkin mereka tidak menyadari salah satu temannya hilang saat turun bersama. Apalagi hari sudah benderang. Matahari sudah terbit. Dan dalam satu rombongan tidak mungkin jalan berjauhan. Sesuatu mengusik nalar detektif wanita muda itu, ada yang janggal dari hubungan mereka berempat.

●○●○●○●○●○●

Bersambung ke bab 2

Terima kasih sudah membaca bab ini. Jika kamu suka, tolong beri vote dan comment, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro