[2] Ketakutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Peluk aku dan jangan tanya kenapa!"

###

Akhirnya kami tiba di rumah pukul delapan malam. Sebenarnya Mama sudah meminta kami pulang dari rumah sakit sore tadi pukul empat untuk bersih-bersih rumah, tapi kami mampir ke tempat makan lalu keliling-keliling kota Lamongan. Yuan menyalakan semua lampu di ruang tamu, dapur dan ruang tengah kemudian masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku. Salah satu hal terbaik tentang Yuan adalah ia tidak perlu repot memintaku untuk melakukan pekerjaan rumah selagi aku bisa melakukannya secara sadar. Sejak Papa dirawat di rumah sakit, Yuan hanya memberiku satu perintah, jangan berisik. Aku cukup ahli dalam hal itu.

Aku tidak buru-buru masuk ke kamar, tapi aku tidak bisa sendirian di ruang tengah. Aku mengamati rumahku yang hening nyaris tanpa suara selain dengung mesin AC. Dulu aku sering duduk di sini bersama Papa saat tengah malam untuk menonton pertandingan bola yang aku tidak pahami. Di sini pula aku pernah mencoba membuat adonan brownis dengan Mama, saat sudah jadi kata Yuan, "terlalu manis. ini penyakit." Di ruang tengah ini biasanya kupakai untuk mengerjakan tugas sekolah ditemani Papa dan Mama serta Yuan. Dan semua itu hanya sebuah kenangan. Ingin sekali kembali ke masa itu masa di mana rumah ini terasa nyaman dan ramah.

Aku masih mengenakan hoodie seperti pakaian antiradiasi. Duduk lemas dan menatap layar hitam padam televisi. Aku harusnya tidur saja di kamar tapi aku benci harus terbayang-bayang dengan yang Rahagi lakukan padaku. Aku harusnya menghindari cowok seperti Rahagi dan bukannya menghindari kamarku sendiri. Bagaimanapun butuh waktu yang lama bagiku menyesuaikan atas apa yang telah terjadi di atas tempat tidurku. Kondisi di sana masih sama tepat seperti saat aku meninggalkannya.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Yuan tiba-tiba muncul di ruang tengah membawa setumpuk cucian kotor. "Kamu banyak diam seharian ini?"

Aku merespon dengan mengangkat bahu.

"Baiklah," ujar Yuan pelan, kebingungan. Dia pergi ke belakang ke ruang cuci setrika.

Aku tahu dia peduli padaku tapi aku tidak yakin dia akan membelaku untuk ceritaku kali ini. Ini terasa seperti naluri anak kembar. Pernah suatu kali, saat kami masih SMP, Aku sakit sampai tidak bisa masuk sekolah. Aku tahu Yuan memohon kepada Papa agar dia tidak masuk sekolah juga, dia berjanji akan merawawatku. Aku ingat benar bagaimana cara dia memohon sambil menangis. Katanya dia tidak ingin aku sakit, itu sama halnya dia tersakiti juga.

Tidak lama Yuan datang lagi tapi dia pergi melewatiku untuk mengambil alat penyedot debu di lemari penyimpanan di samping kamar mandi. Aku memperhatikan setiap gerakannya. Ruang tengah adalah penghubung semua ruangan yang ada di rumah ini. Jadi aku bisa memperhatikan Yuan saat dia ke sana ke mari entah ada perlu apa seperti banyak sekali yang dilakukannya. Ini menyebalkan. Artinya Aku punya seribu kesempatan untuk bicara dengan Yuan lalu menceritakan banyak hal atas kejadian kemarin tapi mulutku benar-benar terkatup rapat seolah aku lupa caranya bicara.

"Kakak!" panggilku. Suaraku bergetar nyaris seperti rengekan.

Aku bisa mendengar suara Yuan mengerang di antara suara dengung alat penyedot debu. Dia tetap melanjutkam kegiatannya.

"Duduk sini bentar," pintaku sambil mendongak pada sandaran sofa untuk melihat yuan. Semua tampak terbalik. Dia sudah muali membersihkan ruang tamu. "Bersih-bersihnya nanti saja."

Saudara kembarku itu menatapku sebentar lalu meletakkan alat menyedot debu dengan menyandarkannya ke dinding ruang tamu tanpa berkomentar. Dia berjalan ke arah ruang tengah. Dia mengambil posisi duduk di sampingku. Aku meraih lengannya dan menempelkan pipiku yang dingin di relung lehernya yang hangat dan berkeringat.

"Gimana? Ada apa?" Yuan merentangkan tangan lalu merangkulku. "Kemari! Peluk Kakakmu yang tua ini."

Aku tertawa sedikit karena leluconya. Tubuhku terbenam dalam pelukannya. Aku sangat mengharapkan Yuan besikap sangat tenang seperti ini sampai aku bisa mendengarkan suara napasnya yang teratur. Dia memejamkan mata dan diam tidak bergerak bagai batu. Aku mencondongkan tubuh mempernyaman posisiku, menghirup aroma mentol. Dia mengulurkan tangannya ke rambutku, kemudian dengan hati-hati mengusap wajahku.

Mungkin Yuan merasakan kalau wajahku basah karena air mata. Aku tidak sadar sejak kapan aku mulai menangis. Aku tidak pernah merasakan sesedih ini sebelumnya. Sudah cukup buruk bahwa Papa masuk rumah sakit, kini harus ditambah dengan yang telah Rahagi lakukan padaku. Di sisi lain aku tidak cukup yakin jika kelak orang-orang akan mengerti jika aku tidak menginginkan ini semua. Aku rindu keluargaku. Aku ingin semuanya ada di sini memelukku tubuhku dan tidak bertanya apa yang telah terjadi di hidupku. Aku tidak bisa menceritakan semuanya. Aku tidak ingin tumbuh dewasa terlalu cepat. Aku masih anak bungsu, masih gadis kecil di rumah ini.

"Maafkan aku." Yuan mempererat pelukannya, tidak sampai membuatku kesulitan bernapas. "Uhh... Menangislah dulu, aku bisa tunggu ceritamu, Dek."

"Aku rindu Papa." Aku memberitahu tahu Yuan dengan suara gemetar. "Aku butuh kalian semua. Kakak jangan ke mana-mana."

"Hey!" Yuan mendesis. Dia memaksaku untuk melepas pelukanku padanya. Dia berusaha untuk melihat wajahku. "Aku di sini, Dek."

Mata kami bertemu. Aku terkejut betapa lembut tatapannya.

Yuan seperti menahan air mata. Sebenarnya aku tidak ingin dia terbawa dengan suasana hatiku. Tapi aku yakin Yuan bisa bersikap tegar dan bijaksana di depanku. Terbukti ketika Yuan mencoba mengusap air mataku yang tak habis-habis ini, dia tersenyum.

Yuan berusaha mengambil napas. "Kamu tahu apa yang selalu dikatakan Papa saat kamu tidak ada?"

Aku menggeleng. "Apa?"

Yuan mengusap rambutku. Dia mengambil poni panjangku dengan jari telunjuknya lalu menyelipkan di belakang telingaku. "Papa bilang, jagalah Adikmu, kalian memang seumurnya, tapi jadilah Kakak yang baik untuknya. Jadi, itulah yang aku lakukan padamu. Aku berusaha tidak tantrum walau kamu kadang menyebalkan. Tapi, aku baik-baik saja. Kita saudara kembar sampai kapanpun."

Angin tiba-tiba berubah. Yang kukira Yuan mengasihiniku, kini justru aku yang terhanyut dalam perasaanya dan pikirannya. Aku memang tidak ahli dalam membaca pikiran, terkadang Yuan seperti hendak mengatakan selamat tinggal ketika dia mengatakan yang lain. Ini seperti kesimpulan yang gentar dari sensasi sedih yang ditimbulkan dari perkataannya. Ini dia keahlian Yuan yang lain.

Yuan mengambil napas. Dia mengangkat dagunya. "Aku juga kesepian hampir di setiap harinya. Satu-satunya yang aku inginkan adalah semua kembali seperti dulu lagi. Papa, Mama, dan kamu ada di rumah ini. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak selain menjadi contoh yang baik. Aku tidak boleh lemah. Aku harus menunjukan ke kamu dan Mama bagaimana bersikap berani. Karena... karena Papa mungkin...,"

"Kak, Stop!" Kupeluk leher Yuan dan menangis sejadi-jadinya.

"Sini... sini...." Yuan mengulurkan kedua tangan lalu mendekapku dalam pelukan. "Maaf."

Suasana hatiku berangsur membaik, tetapi tidak mengubah apapun yang telah Rahagi lakukan padaku. Aku bertanya pada Yuan, menurutnya cowok  brengsek seperti apa yang ada di sekolahku. Yuan bilang tidak tahu, dan katanya lagi akan banyak cowok brengsek di sekolahnya daripada sekolahku karena basic anak SMK. Aku tidak menanyakan satu hal yang masih kupikirkan, satu hal yang masih terus membuatku gelisah.

Aku ingat hari di mana kami memutuskan untuk sekolah di tempat yang berbeda setelah kelulusan SMP. Yuan masuk SMK dan aku masuk SMA. Sebenarnya kami setengah muak harus satu sekolah sejak di Taman Kanak-Kanak. Semua orang akan membandingkan kemiripan kami, termasuk guru dan teman sekolah kami. Padahal yang terjadi kami tidak mirip sama sekali. Jika, anak kembar versi mereka adalah jika Yuan berambut panjang akan mirip denganku. Kenyataanya tidak seperti itu. Yuan terlewat tampan dan aku tidak layak dibandingkan dengannya. Kulitku lebih gelap ketimbang Yuan. Aku mengikuti gen Mama dan Yuan mengikuti Gen Papa. Kata orang-orang kok bisa biasanya memang berlainan.

"Jadi kalian mau masuk sekolah mana?" tanya Papa waktu itu saat makan malam. "Bentar lagi pendaftaran masuk sekolah akan dimulai."

Yuan langsung menjawab seperti jawaban itu telah dia persiapkan sejak lama. "Aku mau masuk SMK Cakrabuana, jurusan teknik boardcast. Aku mau kuliah jurusan perfilman."

Aku tersedak dengan sebutir nasi yang menyangkut di tenggorokanku. "Kamu tidak ingin masuk SMA Lentera yang kita rencanakan waktu SD dulu? Papa sama Mama juga alumni sana, loh!" protesku.

"Ayolah, itu kita masih kecil." Yuan menatapku, posisi kami berseberangan. "Di SMA aku rasa kurang dapat materi soal teknik-teknik pengambilan gambar atau mengedit video. Hanya pelajaran-pelajaran umum yang dipelajari di sana."

Aku mendengus. "Jadi kita tidak satu sekolah lagi? Menyebalkan."

Papa langsung menengahi. "Adik nanti masih bisa berangkat sekolah bareng Kakak, kan satu jalan SMA Lentera sama SMK Cakrabuana. Masih satu arah. Kakak mau kan' mengantar Anita."

Yuan mengangguk tanpa komentar. Sikapnya waktu itu benar-benar menyebalkan. Angkuh. Kita tidak kompak lagi sejak hati itu.

Beberapa hari setelah aku dan Yuan mendaftar di sekolah yang berbeda, aku tidak mau menyapa Yuan sama sekali. Setelah bertahun-tahun bersekolah di tempat yang sama dan kami ke mana-mana bersama, masa SMA aku harus mandiri. Dan karena aku tidak menyapa Yuan saat di rumah, dia akhirnya memperkenalkanku dengan Rahagi. Ini bagian paling menyebalkan kalau dipikir-pikir sekarang.

"Sudah agak mendingan belum?" kata Yuan merusak suasana. Kami tidak lagi berpelukan. "Aku mau lanjutkan bersih-bersih. Senin aku gantian jaga sama Mama di rumah sakit, nanti malah aku kena lagi.  ini saja banyak yang belum beres. Besok minggu aku ingin hibernasi."

Aku menggeleng. Aku masih ingin duduk bersamanya. Mengobrol. Dan ini yang sangat aku butuhkan. Aku sudah membujuknya kalau besok aku bantu tapi dia tidak percaya. Dia lebih percaya Billie Eilish orang Nganjuk, katanya.

Yuan berdiri. Dia menyeringai kepadaku. "Atau aku panggil Rahagi. Barangkali dia lebih membantu."

Aku tidak bisa menebak apa Yuan sedang mencoba bercanda atau serius. "Maksudnya bantu bersih-bersih?"

"Bukan," kata Yuan mencemooh. Sudut mulutnya tertarik ke kanan. Dia lalu pergi ke ruang tengah. "Kamu ini suka sama Rahagi tidak sih?"

"Maksudnya Kakak berniat menjodohkan aku sama dia?" ungkapku dengan sedikit kesal. "Aku tahu dia teman sekolahku, kita sering pulang bareng, dan dia sering main ke sini, tapi bukan berarti aku dan dia saling suka." Aku meremas tinjuku menahan diri agar tidak menangis, lagi. Kakiku sampai naik ke atas sofa hanya demi berputar badan ke arah Yuan di ruang Tamu.

Yuan mengabaikan aku. Dia sudah menyalakan alat penyedot debu yang berisik itu.

Aku memutuskan masuk ke kamarku. Jantungku langsung berdebar melihat seprai kusut. Kaos dan beha robek di lantai. Dan bayangan-bayangan Rahagi. Kuhela napas panjang sambil memejamkan mata sebelum akhirnya aku membernaikan diri untuk menarik seprai itu hingga terlepas dari tepian kasur, bantal dan guling berjatuhan. Aku menggulung kasar seprai menyebalkan ini lalu melemparnya di bawah meja belajar. Lalu aku mengambil penyedot debu kecil di laci bufet samping tempat tidur. Kubersihkan kasurku dengan bayangan-bayang yang pernah terjadi di atas sini. Rahagi sudah mengambil alih kamarku seperti dia mengambil harga diriku.

Dari mengganti seprai dan sarung bantal akhirnya aku berlanjut membersihkan kamar. Saat membersihkan kolong tempat tidur aku menemukan earbuds bagian left yang hilang minggu lalu dan beberapa kuncir rambut yang aku lupa kapan terakhir aku memakainya. Meja belajarku juga kini menjadi tertata rapi. Semua buku yang awalnya bertumpuk semerawut kini sudah berjejer lurus. Bolpoin yang tintanya habis sudah kubuang. Robekan kertas kecil-kecil, sticky note bertuliskan agenda tugas-tugas lama, dan struk pembelian dari mini market pun aku bersihkan semua dari meja belajarku.

Aku membungkus seprai berbahu keringar, sarung bantal kotor, dan kaos serta beha sobekku dengan kantong keresek hitam berukuran besar yang sengaja aku simpan di laci meja belajar untuk hal semacam ini, membuang benda besar.

Yuan mengetuk pintu kamarku, aku mengenalinya karena ciri khasnya, selalu enam ketukan stabil. Pintu berdecit saat mengayun terbuka. "Mau ikut, ndak?" katanya. Kepalanya muncul di ambang pintu dan langsung menemukan posisiku berjongkok.

Aku menjawab dengan mengangkat kedua alis sambil berusaha mengikat kantong kresek besar untuk segera kubuang.

"Mau cari makan, capek aku habis...," kata Yuan sambil mengamati seisi kamarku, "kamu bersih-bersih kamar. Astaga hebat sekali. Kesambet setan rumah sakit yah?"

"Mau cari makan ke mana?" Aku melihat jam dindin sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit.

Yuan menyarankan untuk ke Mekdi di Gresik dan aku langsung menyetujuhi. Membersihkan kamar sungguh melelahkan karena sebelumnya aku tidak pernah melakukannya. Jadi, bisa dibilang aku kelaparan sekarang. Biarpun perjalanan ke Gresik butuh waktu dua puluh menit. Itu cukup terbayarkan karena aku ingin makanes krim dan kentang goreng.

"Tunggu, aku mau siap-siap dulu."

Yuan lalu pergi. Dia selalu lupa menutup pintu kamarku. Sudah terbiasa karena sering terjadi

Aku berhasil mengikat kantong kresek berisi seprai jahanam ini tapi belum ada niat membuangnya sekarang, mungkin besok pagi karena kalau sekarang Yuan akan bertanya kenapa aku membuanya, jadi aku menepikan ke tembok dekat meja belajar. Aku melihat wajahku di cermin menyisirnya dengan tangan. Aku teringat dengan kuncir rambut yang aku temukan di kolong tempat tidur. Jadi kuputuskan untuk menguncir kuda rambutku. Saat aku keluar kamar, Rahagi tengah duduk di sofa ruang tengah sambil bermain ponsel. Kukira, cowok ini tidak akan main ke rumah lagi. Hatiku langsung mencelus, curiga kalau Rahagi akan ikut dalam makan tengah malam kami.

Seluruh tubuhku terasa dingin. Itu tidak benar. Terasa memang ada yang salah.

Yuan keluar dari dapur. Dia mengernyit mendapati diriku yang mematung diam bagai arca. "Apa yang kamu lakukan, Ayo!" katanya.

Rahagi menoleh ke Yuan lalu berganti padaku. Tubuhku seperti merinding dari ujung kaki ke ujung kepala. Cowok itu berdiri dan memasukkan ponselnya ke saku. Yuan memberi isyarat untuk melepar kunci mobil kepadanya. Dia dengan sigap menerima kunci itu. Dalam diam dia langsung berjalan keluar. Aku dan Yuan mengikuti dari belakang.

"Kenapa ada dia?" bisiku ke Yuan dengan suara ke aman mungkin agar Rahagi tidak mendengarnya.

"Dia yang ajak, katanya dia yang traktir." Yuan lalu berjalan mendahuluiku mengejar Rahagi.

Ketika di mobil aku duduk di kursi belakang, Yuan di kursi penumpang, dan Rahagi yang menyetir. Yuan dan Rahagi membahas sesuatu yang tidak aku pahami tapi aku menyimak perbincangan mereka yang random. Pertama membahas game, berlanjut ke harga dan rasa kppi dengan membandingkan tempat-tempat yang lain, kemudian beralih ke gaya potong rambut. Sangat random.

Tiba akhirnya topik mereka habis. Kami berhenti di depan mini market yang ada mesin ATM-nya, Yuan berniat tarik tunai untuk keperluan harian. Kita masih setengah perjalanan menuju Mekdi.

Ketika Yuan sudah masuk ke sana, Rahagi menoleh padaku.

"Anita kenapa diam saja dari tadi?" Tangan kiri Rahagi menyentuh lututku dan perlahan naik ke paha.

Jujur aku ingin menghindar tapi tubuhku terasa kaku. Sempat aku menempis tangannya tapi dia tetap melanjutkan aksinya. Aku merasa cemas. Rasanya semakin tidak nyaman ketika tangannya mulai bergerak mengusap-usap pahaku dengan lembut tapi aku merasa kepanasan. Trining ini tidak cukup memberiku pelindungan dengan sentuhan Rahagi.

Rahagi terlihat waspada ke segala arah, terlalu waspada, seakan-akan jika Yuan keluar dia bisa menghentikan aksinya agar tidak ketahuan, atau orang asing yang ada di sekitar. Di situlah aku berharap semoga Yuan cepat kembali.

Tangan Rahagi kini mulai liar ketika dia berusaha menyentuh bagian dadaku. Tapi aku duduk menepi hingga tangannya tak bisa menggapainya.

"Hey!" tegurnya. "Kamu takut padaku?"

Aku menggeleng. Apa dia kurang puas dengan yang dilakukannya kemarin dan sekarang dia mau memandang rendah diriku seolah aku tidak ada artinya baginya.

Rahagi menarik tanganku dengan kasar. "Tenang, aku tidak suka kalau kamu ketakutan seperti ini."

Kalimatnya sama sekali tidak membuatku tenang. Sebutir keringat dingin muncul di keningku. Seketika dunia di sekelilingku menjadi miring dan beputar.

"Aku sudah melihat semuanya, kenapa kamu harus takut, kita sudah melakukan banyak kemarin." Ada rasa bangga terpancar di wajah Rahagi. Wajahnya berseri-seri dengan senyum mematikan itu.

Tangan Rahagi sudah sampai di dadaku. Aku langsung menangkis dan dia tertawa. Seharusnya aku tidak di sini. Aku tidak percaya Rahagi. Aku memaksa mataku terpejam. Sambil berusaha mencerna. Aku terlalu lemah untuk marah. Paling tidak, tubuhku harusnya bisa merespon untuk menjadi marah, tapi aku terlalu lemah. Satu-satunya hal yang ingin aku ketahui adalah aku mungin bisa pergi dari sini lagi-lagi aku terlalu lemah.

"Oke cukup!" desisnya. Kemudian dia duduk dengan benar dan tangannya tak lagi terulur ke belakang.

Tidak lama Yuan sudah keluar dari mini market dan berlari kecil ke arah mobil. Aku melirik ke arah Rahagi, dia begitu tenang. Aku pernah melihat perubahan ekspresinya ini. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Kubu-kubu jarinya mengetuk kemudi sambil melihat Yuan masuk.

Aku ketakutan melihat Rahagi, dan ini terjadi lagi. Aku memandang ke arah kaki tapi tatapanku kosong. Aku ingin pulang dan meringkuk di lantai kamar mandi. Aku mengharapkan apa di sini, aku merasa perlu memberitahu Yuan, tapi bagaimana caranya. Posisiku terlalu sulit. Dan di mobil ini, Rahagi menambah daftar tempat yang aku benci setelah tempat tidurku.

###

[BERSAMBUNG]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro