Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Semua tidak akan percaya padaku"

###

Aku nyaris tidak tidur malam ini. Bahkan aku belum sempat memimpikan sesuatu dalam lelap tidurku. Kini otakku seperti mesin yang mengalami korsleting listrik. Semua dipenuhi pertanyaan. Kenapa aku tidak teriak ketika tubuh Rahagi berada di atasku. Kenapa aku tidak mengunci pintu kamarku. Kenapa aku tidak diberi petunjuk jika ada sesuatu yang salah. Kenapa aku diam saja saat kasur berdenyut ketika Rahagi menaiki ranjang tempat tidurku.

Aku turun dari ranjang. Memungut semua pakaianku di lantai dan segera memakainya. Rahagi sudah setengah jam yang lalu meninggalkan kamarku dan aku baru menyadari jika selama itu aku terbaring telanjang. Merasakan kelembapan yang lengket pada seprai, panas memancar lewat pahaku seperti peluru yang mengoyak tubuh, dan sakit yang memuakkan.

Aku berusaha menenangkan otakku sambil berdiri melihat sepraiku yang kuingat sebelum aku tidur aku telah merapikannya. Aku ingat ketika masuk pertama kali ke kamar adalah merapikan seprai. Namun, melihat keadaanya sekarang, Rahagi dan Aku, entah apa yang terjadi aku hanya memejamkan mata saat itu. Aku merasakan dan menahan bobot Rahagi di atasku. Tubuhku kaku. Semua berjalan begitu cepat. Semua berkelebatan dalam pikiranku.

Kututup mataku, tapi hanya itu yang aku lihat, yang bisa kurasakan, yang bisa kudengar. Tubuh Rahagi, ototnya yang meregang, suara tulang bergeretak, nafas rokok keluar dari mulut, dan keringatnya yang jatuh di tubuhku. Dingin membuat diriku melemah dan hancur. Tubuhnya begitu besar dan aku tidak bisa meronta.

Kucoba jalan menuju pintu sambil kutarik napas dalam-dalam. Aku berjalan tertatih seakan aku sudah renta. Belum lengkap selangkah, aku mendengar suara tawa Sahagi bersama saudara laki-lakiku. Terdengar dominan dan menciutkan nyaliku untuk keluar dari kamar sialan ini. Aku takut. Aku benar-benar takut. Dan rasa sakit di pusat tubuhku, di dalam diriku. Aku terus berusaha menggerakkan kaki tapi lututku bergetar. Otot pahaku nyaris mati rasa. Kedua kakiku benar-benar sakit.

Aku berusaha keras untuk melangkah demi menyalakan lampu ruangan. Kusentuh bibirku. Perih. Dan lidahku terasa seperti besi. Apakah ini ulah ciuman Rahagi, namun, tidak mungkin ini terjadi. Saat lampu menyala. Ternyata aku hanya berhasil mengenakan celana dalam. Terdapat sebercak darah merembes di celana dalamku. Awalnya aku tenang karena kukira ini wajar seperti bulan-bulan berlalu kemudian aku panik. Jantungku memompa. Aku menolak jika yang aku pikirkan sekarang benar-benar terjadi.

Rahagi teman satu angkatan denganku dan dia juga sahabat saudara kembarku. Rahagi yang aku kenal dia cukup baik menjagaku di sekolah. Bahkan orang tuaku mengenal baik Rahagi. Aku sering pulang sekolah bersama Rahagi. Naik motor CBR-nya yang punya jok belakang tinggi. Rumah Rahagi hanya bersebelahan tiga rumah dari rumahku. Rahagi tidak akan pernah melakukan-tidak cukup otakku menerima jika Rahagi yang melakukan. Dia seperti kakaku jika di sekolah.

Aku duduk di lantai sambil berusaha meraih celana panjangku di dekat nakas. Memakainya sambil duduk. Kuabaikan bercak darah di celana dalamku, sambil kutolak mentah-mentah apa yang telah terjadi pada diriku. Aku meraih beha dan kaos yang ternyata robek di bagian depan. Jadi aku mengambil hoodie dari balik pintu setelah bersusah payah untuk berdiri karena lututku bergetar hebat kali ini.

Setelah kukenakan hoodie lalu aku tengok waktu menunjukan pukul satu dini hari. Dan kutebak Rahagi merencanakan ini sejak dari rumahnya sore tadi. Atau sejak dari sekolah saat aku pulang bersamanya. Atau jauh sebelum itu, saat saudara laki-lakiku mulai mengenalkan aku pada Rahagi dua tahun yang lalu, ketika awal sebelum masuk sekolah.

Aku ingat kejadian itu, saudara laki-lakiku, Yuan, pulang entah dari mana dan dia mengenalkan Rahagi. Waktu itu Rahagi seperti teman laki-laki Yuan pada umumnya. Pencinta bola terlihat dari jersey MU yang dikenakan, serta potongan rambut yang sama sepeti bercukur di tempat yang sama.

"Anita, perkenalkan, dia Rahagi, satu sekolah dengan kamu." Yuan berseru. "Aku percayakan dia untuk menjagamu dari laki-laki berengsek di sekolahmu."

Aku ingat tanganku berjabat tangan dengan tangan Rahagi yang besar. Kulihat otot lengan bawahnya yang mengeras saat menjabat tanganku. Kuumbar senyum itu padanya, yang sekarang kusesali. Aroma tubuhnya waktu itu sama persis dengan apa yang kuingat di atas tempat tidurku.

"Anita ini, dia terlalu lugu, jadi aku minta tolong jaga adikku baik-baik, yah!"

"Ya, tentu saja, aku kan menjaga adikmu yang cantik ini," bisik Rahagi. Bisikan yang terlalu keras hingga aku bisa mendengar suaranya. Terlalu naif jika aku tidak menuduhnya bahwa dia sengaja melakukan itu.

"Bagus, sekarang ayo kita main." Yuan merangkul Rahagi dan mengajak Rahagi ke ruang tengah untuk bermain PS. Tubuh mereka sama tinggimya kini bejalan menjauhiku.

Aku menyudahi kontak mata dengan Rahagi saat itu juga. Hingga hari-hari berlalu, aku tidak lebih sering berinteraksi dengan Rahagi. Selagi dia tidak mengajakku bicara, aku pun demikian. Padahal sesering itu Rahagi berada di rumahku dan hampir setiap Jumat malam, ruang tengah terisi olehnya dan Yuan.

Dari sekian banyak Jumat malam yang ada Rahagi baru malam ini aku merasa Bumi tak lagi bersamaku. Rahagi telah merebut semuanya dariku. Rasa percaya dan rasa aman ketika bersamanya. Aku mengingat benar hari pertama berkenalan dengannya dan malam ini yang ingin kulupakan. Namun, apa yang telah aku lewatkan. Aku mengenal Rahagi begitu lama.

Jalan satu-satunya adalah memisahkan Rahagi dengan Yuan. Aku memperhatikan pakaianku apakah cukup tertutup. Bercak darah dari ujung-ujung jari terdapat di beberapa titik celana putihku, terlalu tipis tapi nodanya terlihat mencolok. Aku keluar dari kamar. Tekad memang bukan seratus persen yakin jika Yuan akan membelaku. Tapi apalagi yang harus aku lakukan.

Pandangan yang pertama kali kulihat ketika membuka pintu kamar adalah sosok laki-laki jakung, berkumis tipis dengan setengah lusin otot perut yang terpampang jelas serta otot lengannya yang sangat kuat untuk mengunci tubuhku yang kini duduk di sofa ruang tengah. Dia adalah Rahagi dan dia tidak memakai kaosnya sejak keluar dari kamarku, seolah itu hal yang wajar dan tidak terjadi apa-apa. Aku menatap Rahagi dan aku benar-benar ketakutan karena sorot matanya mengintimidasi diriku. Seakan aku tidak memakai pakaian dengan benar. Lalu aku mengalihkan pandangan pada Yuan. Ada yang salah. Sama salahnya dengan Rahagi yang tidak memakai kaos. Yuan sama sekali tidak menyadari jika aku kesakitan. Kesakitan karena sahabatnya yang berengsek itu. Ke mana dia saat Rahagi mengendap-endap masuk ke tempatku. Ke mana dia saat Rahagi naik ke ranjangku dan langsung membungkam mulutku. Ke mana dia saat Rahagi menanggalkan semua pakaian yang aku kenakan.

Yuan dan Rahagi seperti berpesta. Mereka menyedot rokok seperti pemuda jalanan. Ruang tengah berbau asap rokok dan keringat menyuar. Pesta kecil mereka seperti merayakan rasa sakit yang tengah aku alami. Dan kebingungan. Dan merasa malu. Nyaliku menciut sekali lagi. Mereka seperti tidak peduli denganku dan termasuk kepada Papa yang sedang di rawat di rumah sakit serta Mama di sana untuk menjaga.

Aku begitu marah pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak melontarkan pertanyaan ini pada sauara laki-laki yang harusnya akan menolongku. Aku ingin sekali menampar wajah Rahagi. Tapi yang bisa aku lakukan hanyalah berlari menuju kamar mandi lalu menangis sejadi-jadinya.

Apa yang telah terjadi pada diriku. Kenapa aku begitu lemah untuk sekadar bicara. Kenapa aku begitu kesakitan sedangkan Rahagi di luar sana bertampang sama sekali tidak menyesali perbuatannya. Aku benci diriku. Aku benci menjadi lemah sepeti ini.

Apa malam ini aku sengaja tidak mengunci pintu agar Rahagi dengan leluasa masuk ke kamarku. Apakah ini sebenarnya hal yang normal ketika Rahagi masuk ke tubuhku. Apakah semua berjalan baik-baik saja jika aku terus berada di dekat Rahagi. Kepalaku penuh dengan pertanyaan.

Yuan mengetuk pintu kamar mandi. "Anita? Are you okay?"

Mendengar suara Yuan seperti melihat cahaya dalam ke gua. Air mataku berhenti mengalir seperti sungai di musim kemarau. Kuusap sisa-sisa air mata di wajahku.

Aku berteriak sumbang "Yah! Aku baik-baik saja," dustaku.

"Kamu butuh sesuatu?" Itu bukan suara Kakaku. Rahagi yang melontarkan pertanyaan itu.

Semua yang aku lihat di depanku terasa berputar. Suara Rahagi bergitu dekat saat dia mengatakan, "Jangan teriak, ini tidak akan sakit."

Kututup kedua telinga dengan kedua tanganku.

Rahagi terus berbisik, "Aku tidak akan menyakitimu." Hidungku mencium aroma rokok dari mulutnya. "Tenang, tidak perlu malu," desisnya.

Aku seperti kembali ke kasur saat aku berusaha menutupi tubuhku setelah Rahagi berhasil merobek kaosku. Terasa perih saat kupegang perutku.

Yuan mengetuk pintu sambil menyebut namaku.

"Anita, kamu butuh sesuatu? Kamu baik-baik saja di dalam?" Semakin Rahagi berbicara semakin suaranya bergerak bagai tornado dalam kepalaku.

Dia berbisik di wajahku. "Jangan pernah ceritakan ini pada siapapun. Tak akan ada yang percaya. Kamu tahu itu. Tidak seorangpun akan percaya padamu. Tidak akan pernah."

"Aku baik-baik saja." Aku mendengar suaraku sendiri seperti cicitan anak tikus.

"Apa perlu aku menelepon Mama?" Yuan menyarankan. "Aku benar-benar tidak tahu urusan perempuan. Aku melihat celanamu berdarah tadi. Mungkin butuh bantuan."

Aku melihat ke bawah rembesan darah kini menimbulkan bercak di celana panjangku. Seperti garis tipis tapi terlalu kentara. Sialnya dua laki-laki itu melihatku hancur tapi tidak benar-benar menyadarinya.

"Pergilah kalian berdua. Aku butuh privasi."

Yuan berkata, "Baiklah!"

Terdengar suara telapak kaki menjauhi pintu. Tapi aku masih melihat bayangan dari sela-sela bawah, seseorang tengah berdiri di balik pintu.

Rahagi mengetuk pintu dua kali. "Kerja bagus," katanya. Afirmasinya terdengar seperti ancaman bagiku. Lalu bayangan di bawah sela-sela pintu bergerak menjauh. Sedangkan aku merasa semakin tenggelam dan melesak masuk terhisap tanah sampai ke inti bumi.

###

[BERSAMBUNG]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro