6 | Second Chance

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

November segera tiba.
Proposal udah mulai diingetin sama pihak kampus. Semoga masih tetep bisa nulis dengan lancar ya (╥_╥)

Happy reading dan semoga bahagia membaca ceritaku ini, tolong tinggalkan jejak ya man teman, biar selalu semangat nulis, baik skripsi maupun fiksi.

Part 6 Second Chance

Dulu, aku menyukaimu
Tapi, tidak berani mengaku
Dan kali ini, tidak akan begitu

Tepukan Alyssa pada bahu, membuat kenangan masa lalu yang terputar di otakku berhenti. Aku melotot sebentar ke arah Alyssa, bertanya kenapa dia menepuk bahuku sebegitu dahsyatnya. Lirikan mata Alyssa yang penuh arti menggiring mataku, dan membuatnya berserobok pandang dengan mata Gabriel Elfano, sahabatku yang mendadak jadi super protektif ini.

"Udah ingat sekarang?" tantang Gabriel. Sepertinya dia tahu kalau bengongku tadi adalah mengingat kejadian di masa lalu.

"Ario... anak IPA... yang waktu itu..." Aku menelan lagi hipotesis yang ingin kusuarakan. Tidak mungkin, masa dia yang jadi secret admirer romantis pembawa petaka itu?

"Ario Maheswara dan Ario, secret admirermu yang ngirim surat selama seminggu, yang bikin kamu harus nonton sama anak kurang ajar itu. Mereka... orang yang sama."

Mulut Alyssa ternganga, kemudian menatapku yang kebetulan tengah melihatnya juga. "Kalian bertiga satu SMA? Takdir macam apa ini?!"

Benar, takdir macam apa ini? Kenapa duniaku yang tenang mendadak jadi seaneh ini..? Seperti di Jakarta tidak ada kampus lain saja? Kenapa setelah sekampus dengan Gabriel, aku masih harus sekampus dengan Ario Maheswara juga?

"Fy, kalau Bang Ian tahu, dia pasti sependapat sama gue. Lo nggak lupa, kan? Kalau setelah kejadian itu, lo cuma mau nonton kalau ada gue atau Bang Ian yang nemenin."

Benar, ada sedikit ketakutan yang terpendam dalam otakku setiap kali mendengar kata: "Fy, nonton, yuk!" Sialnya, itu masih terjadi sampai sekarang. Salah satu alasan juga kenapa setelahnya, aku jadi semakin sering latihan Taekwondo. Bahkan kuliah pun, mengambil UKM yang sama. Aku takut bertemu dengan makhluk kurang ajar lainnya di saat aku sendirian, tanpa Kak Ian, tanpa Gabriel.

"Gue rasa ada kesalahpahaman di sini," kataku sambil mendongak ke arah Gabriel.

"Kesalahpahaman apa sih, Fy?" gemasnya. "Dia naksir lo. Dan ngelakuin hal-hal nggak jelas dengan kirim surat, trus kasih tiket nonton tapi dengan deret bangku yang beda dari tempat dia duduk. Lo masih mau belain cowok kayak dia?"

Aku mendelik. "Itu karena surat buat gue dari dia dulu, lo yang baca!" seruku sebal. Ini kan urusan percintaanku, kenapa Gabriel yang sibuk mengatur?!

Mata Gabriel menyipit. "Lho, kok jadi bahas surat sih, Fy?"

"Siapa tahu, di surat itu dulu, ada penjelasan kenapa dia ngajak gue nonton dengan cara begitu," kataku membela diri, sebenarnya, juga membela Ario Maheswara. Bagaimanapun juga, dia menyukaiku... dan aku... tidak bisa mengatakan bahwa aku tidak menyukainya.

Gabriel terdiam beberapa saat. "Pokoknya, lo nggak boleh jadian sama dia!"

"Lo cemburu ya, El?" Pertanyaan Alyssa yang mendadak seolah membuat Gabriel tersiram air dingin. Tubuhnya itu tiba-tiba membeku, dia pun tak lagi bersuara dengan lantang seolah mengiyakan perkataan Alyssa barusan.

"Aneh kalau lo bilang nggak, masuk akal kalau lo bilang iya. Terlalu berlebihan kalau lo ngelarang Ify buat deket sama Ario hanya karena kejadian di masa lalu, apalagi Ify sendiri nggak paham duduk permasalahannya, kan?"

Aku mengangguk cepat. Kemudian memperhatikan Gabriel untuk melihat jawaban apa yang akan pria itu berikan. Tapi nihil. Gabriel tidak bersuara sama sekali. Sebagai gantinya, dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aku tahu dia menyembunyikan tangannya yang terkepal itu di dalam sana, terlalu lama bersahabat dengannya membuatku hapal kebiasaan itu. Gabriel menyembunyikan sesuatu.

Gabriel memilih membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan kami yang heran setengah mati dengan tingkahnya. Tuhan... kalau sampai benar Gabriel Elfano jatuh cinta padaku. Aku tidak tahu bagaimana harus berhadapan dengan makhluk itu esok hari.

***

"Gue nggak nyangka kalau kisah cinta lo bakal semanis dan serumit ini."

Aku mendongak, berhenti menyeruput susu kotak yang kubeli dari minimarket kampus yang berhadapan dengan kantin gabungan antara kampus dan rumah sakit. Oh ya, aku belum bilang, ya? Yayasan kampusku memiliki sebuah rumah sakit yang dibangun satu lahan dengan area perkuliahan. Jadi ya begini, gedung fakultas Kedokteran bersebelahan dengan gedung kantin gabungan kampus dan rumah sakit ...... Oh ya ampun! Aku kok malah nongkrong di daerah kekuasannya Ario Maheswara!? Kalau ketemu dia, aku harus menampilkan ekspresi seperti apa!?

"Kenapa muka lo begitu?" tanya Alyssa yang menyadari ketakutanku, alisnya terlihat nyaris menyatu. "Baru sadar kalau kita lagi duduk di minimarket yang deket sama gedung Kedokteran?"

"Kok lo nggak ingetin gue sih?" kataku kesal.

"Fy, mau lo ngumpet ke ujung dunia sekalipun, kalau lo emang udah ditakdirin ketemu sama Ario, pasti bakalan ketemu. Jangan kayak anak kecil yang penakut deh, cinta kan bukan sesuatu yang aneh kalau harus kita rasain sekarang."

Aku mendengkus. Orang yang hobinya kabur dari mantan, bisa-bisanya menceramahiku begitu! "Lo nggak sadar, lo selama ini selalu kabur dari Gio?"

"Itu kasus yang beda. Gio mau gue, gue nggak mau Gio. Sementara lo. Lo naksir Ario. Ario positif naksir berat lo. Trus El..? Berusaha mati-matian buat mencegah lo sama Ario jadian. Cinta segitiga di semester tiga, judul FTV yang bagus."

Sial. "Hell-o.... Gabriel nggak mungkin suka sama gue, gue yakin ada hal lain yang dia sembunyiin." Meski tidak tahu apa, aku merasa yakin hal itu berkaitan dengan isi surat Ario padaku saat SMA dulu. Aish, penasaran itu benar-benar perasaan yang sangat mengganggu!

"Lo bisa baca isi hati orang?"

Aku menggeleng.

"Lo bisa baca ekspresi orang?"

Aku menggeleng lagi.

"Lo bisa tahu, kapan orang jatuh cinta sama lo, kapan orang benci sama lo?"

"Ya nggaklah, emangnya gue dukun," ujarku langsung kemudian menyedot kembali sisa isi susu kotakku. Pertanyaan Alyssa kok malah bikin pikiranku makin kusut sih?

"Kalau gitu, lo nggak punya bukti apa pun untuk membenarkan kalau El nggak jatuh cinta sama lo."

"Gabriel jatuh cinta sama kamu?"

Aku dan Alyssa mendongakkan kepala ke arah sumber suara. Susu kotak yang kugenggam meluncur dengan lancarnya ke meja panjang di pinggir jendela minimarket yang ada di depanku. Sosok itu sudah berdiri dengan tegapnya di belakang punggungku dan Alyssa, entah sejak kapan. Aku bergidik. Apakah dia mendengar kata-kata Alyssa mengenai aku yang menyukainya? Tuhan... Tuhan... kumohon...

"Se-sejak kapan... kamu..."

"Rio, lo nggak ja−" Perempuan yang berhasil membuat ucapanku terhenti itu kini memandangiku dengan intens, lalu mengalihkan pandangannya pada Ario yang sekarang sedang melirik ke arahnya. "Gue duluan deh, Yo. Kalau ada dosen, gue LINE, ya."

"Ok, thanks, Vi."

Saat perempuan itu pergi, Alyssa kembali buka suara. "Gue kayak nggak asing sama dia." Ucapannya membuatku menoleh. "Dia mirip cewek yang nemenin kalian kejuaraan semester kemarin deh, iya nggak sih, Fy?"

"Iya." Ario ternyata menjawab lebih cepat daripada kemampuan otakku mengenang masa lalu. "Namanya Azizah Silvia, biasa dipanggil Silvi. Salah satu asisten dokter jaga di klinik kampus."

"Tuh kan bener. Lo nggak inget dia, Fy?" Alyssa sepertinya ketularan Andini. Dia tahu kalau kelemahanku adalah mengingat orang apalagi namanya. Tapi sekarang, dia justru memperjelas kelemahanku di depan cowok yang katanya naksir berat padaku sejak SMA.

Aku berdeham. "Gue cuma inget hal-hal yang penting."

Alyssa bergumam dengan mata mengejek. "Berarti, dia nggak penting dong?" Dagunya mengarah pada Ario yang masih berdiri di tempatnya, tanpa bergeser sedikit pun.

"Ishh...." Aku mendesis sebal. Mau mati hah? Kulemparkan kode itu pada Alyssa−melalui mataku−yang terkikik setelahnya.

"Gue mau beli jajanan lagi deh. Lo mau apa, Fy? SleiOlei? Poki? Citato? Atau susu kotak lagi aja?" Bagus, sekarang dia sedang mengabsen jajanan favoritku di depan Ario. Tidak sekalian memberi tahu berapa IP-ku!?

"Udah deh sana," kataku gemas. Sepertinya lebih baik dia cepat pergi daripada membuatku jadi semakin malu.

"Duh, yang udah nggak sabar mau berduaan." Aku refleks membuang bekas susuku ke arahnya yang tertawa puas sambil berdiri dan meninggalkan aku dengan Ario.

Apa dosaku di masa lalu Tuhan? Sampai punya dua teman yang mulutnya laknat begini..???

Saat Alyssa benar-benar menghilang di antara rak makanan. Ario mengambil kursi yang tadi sempat diduduki Alyssa.

"Gabriel suka sama kamu?"

Aku terdiam. Kalau kubilang iya, kira-kira, apa responnya, ya?

"Kupikir, orang tuamu pasti melarang kamu untuk pacaran, apalagi sama yang beda keyakinan."

Aku mendelik ke arahnya. "Kamu... tahu darimana?"

"Soal apa?" tanyanya balik, duh, sebentar lagi sepertinya aku butuh ke klinik. Isi kepalaku jadi terasa semrawut tidak jelas gini. "Soal orang tuamu, atau soal kalian yang beda keyakinan?"

"Semuanya. Soal lokerku. Soal genre film favoritku. Soal... tempat duduk kesukaanku kalau nonton di bioskop. Soal... orang tuaku yang melarangku buat pacaran."

Ario terlihat berpikir sejenak. "Terlalu lama memendam perasaan, bikin aku terlalu lama mengamati kamu dari kejauhan. Jadi, aku tahu banyak hal."

"Masuk akal kalau itu masalah loker atau genre film. Tapi, urutan kursinya! Kamu tahu darimana?"

"Aku pernah ikut nonton sama kamu, beberapa kali. Waktu sama kakakmu, waktu sama Gabriel. Atau sama temen-temen cewekmu yang lain."

SASAENG FANS! Astaga.... Aku harus senang atau takut padanya sekarang!?

"Aku udah jelasin semua itu di suratku dulu. Kenapa... kamu masih tanya?"

Astaga. Lucu tidak ya kalau kubilang suratnya dibaca Gabriel dan dibuang ke kolam ikan sekolah? Duh, kalau setelah kukatakan mereka berantem lagi bagaimana? Reputasiku di kampus yang jadi taruhannya. Sudah IP standar, bisanya cuma berantem nendang sasaran latihan saat Taekwondo. Sekarang, malah bikin dua cowok keren kampus berkelahi? Tuhan... kepalaku rasanya seperti mau terbelah jadi bakso beranak.

"Su-suratnya.... Itu...."

"Dibuang Gabriel, ya?"

Aku menggeleng cepat. "Dibaca sama dia. Baru setelahnya, dibuang ke kolam ikan," kataku penuh penyesalan. Ish, Gabriel resek! Itu kan surat cinta punyaku, kenapa dia yang menikmatinya!?

Ario terlihat mendesah. Kemudian kembali menatapku. Dan aku merasa Tuhan menciptakan medan magnet di dalam kedua bola matanya, karena sampai detik ini, aku tidak bisa berkedip atau mengalihkan pandangku darinya.

"Dulu, aku menyukaimu. Tapi, nggak berani mengaku. Dan kali ini, nggak akan begitu. Fy, bisa kamu kasih aku kesempatan kedua? Buat tunjukin ke kamu, kalau apa yang aku rasain itu, layak untuk diperjuangkan."

To be Continu

Ciaaat, ciaaaat...
Inikah namanya cinta????
Kutunggu vote dan komentar kalian semua ya say.
☆ヘ(^_^ヘ)

301017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro