RENA - THE FIRST TIME I SAW YOUR FACE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


July 2011...

"Do you miss Bali?"

"I try not to, but I do."

Gue lagi ngobrol sama Lukas. It's been ... a month since he left Bali. We could finally arrange time to talk on Skype. Meski masih sapa-sapaan di Facebook, tapi kami nggak pernah video chat. It's good to see his face again.

"Gimana Cologne?"

"Udah masuk musim panas di sini, paling nggak orang-orang di sini kelihatan bahagia," jawabnya sambil tersenyum.

Ngeliat Lukas lagi jelas bikin gue seneng. Sekalipun rasa bersalah itu masih ada, tapi dengan gue nggak harus ketemu Lukas tiap hari, bikin perasaan itu berkurang. Satya, gue bisa bikin macem-macem alasan buat nggak ketemu dia. Dia bakal ngerti. Sejak Lukas pergi, gue makin yakin kalau apa yang gue lakuin ke mereka, bukan sesuatu yang besar. They'll move on.

"Gue kangen hang out ama lo, Lukas. Belakangan gue sibuk di hotel, jadi nggak punya waktu buat hang out. Apalagi gue mau resign."

Gue ngeliat ekspresi kaget di wajah Lukas begitu gue bilang mau keluar.

"Kenapa resign?"

"Pengen nyoba tantangan baru aja, nggak ada alasan lain. Jadi kesibukan gue kemarin juga karena musti kasih training sama yang gantiin gue ntar."

Gue liat Lukas cuma ngangguk. "I see."

"Masih suka surfing?"

"Sejak pulang dari Bali, aku belum surfing lagi. My final paper is driving me crazy!" ucapnya sambil ngasih gue sesuatu yang gue kangenin banget, his milion dollar smile. "Aku ingin semuanya cepat selesai. Get a job and save, so I can go back to Bali."

Gue cuma nelen ludah denger Lukas bilang kalau dia pengen balik ke Bali. "Gue pegang janji lo buat balik ke Bali."

Gue berharap kalau saat itu tiba, Lukas udah nemuin cowok lain buat gantiin tempat Satya di hatinya, begitu juga dengan Satya. Kalau udah begitu, gue yakin mereka nggak akan terlalu marah sama gue kalau tahu gue udah bohong.

"Gimana kabar Satya, Rena? I haven't talked to him for weeks."

"Gue juga udah lama nggak ketemu Satya. Sejak nerima tawaran Retro buat ngisi kafe itu hampir tiap malam, dia jadi makin sibuk. Belum lagi private occasion yang nggak ada jedanya. At one side, I'm happy that he finally got what he deserves, career-wise, tapi di sisi lain, gue juga ngerasa kehilangan Satya. Ntar pasti kalau udah ada waktu, kami pasti ketemuan."

Ekspresi Lukas berubah begitu gue cerita tentang Satya. Gue nggak bisa bilang dengan pasti apa yang ada di pikiran Lukas sekarang. Yang pasti, gue nggak terlalu suka liat ekspresi Lukas kayak gitu. That guilty feeling hits me again. Mungkin, itu alasan gue nggak suka.

"I miss him."

Gue cuma bisa diem. Mungkin gue perlu tahu juga gimana perasaan Lukas ke Satya sekarang. Di Jerman, tentunya banyak cowok yang jauh lebih baik dari Satya kan? Gue tahu kalau Lukas nggak mungkin jatuh cinta begitu cepetnya sama orang lain, tapi kalau memang ada yang bikin dia head over heels, why not?

"Lo masih nyimpen perasaan itu, Lukas?"

Gue liat Lukas cuman diem sebelum ngangguk. "I can't help it, Rena. Kamu tahu kalau aku nggak bisa dengan mudah jatuh cinta sama orang lain. That feeling is still  there though I have left Bali a month ago. The urge to tell him my feeling, is getting stronger from day to day. But, I remind myself that it's not a wise thing to do."

Bravo, Lukas!

Gue cuma bisa nahan senyum denger Lukas ngomong gitu. Itu berarti, Lukas nggak akan pernah ngomong ke Satya tentang perasaan dia. Oh, how that really relieved me.

"Don't do stupid things, meski lo udah jauh dari Satya. Lo nggak mau hubungan lo sama Satya rusak gara-gara lo jujur sama dia kan? Gue percaya, Satya bakal ngerasa lo khianatin. Dia udah nganggep lo sahabat dia. Gue juga nggak mau hubungan kalian rusak cuma gara-gara lo nurutin perasaan lo."

Lukas ngangguk. "You're right. Mungkin saatnya aku berusaha membuka hati untuk orang lain. My feeling for Satya will never go anywhere."

Sama kayak perasaan gue ke lo, Lukas. Sekalipun lo udah jauh dari gue, perasaan gue ke lo masih ada, Lukas. Gue belum bisa buka hati gue buat orang lain.

"Gue percaya, kalau Satya tahu perasaan lo, dia pasti pengen lo ketemu orang lain yang pantes buat lo. Gue tahu gimana Satya. Gue denger-denger sih dia lagi deket sama seseorang. Tapi gue belum tahu banyak dia lagi deket sama siapa."

I told another lies. Covering lies with another, just to hurt the man that I love.

Gue benci bohong ke Lukas, tapi gue bakal lebih nggak rela kalau Lukas tahu Satya juga suka sama dia. Ini jauh lebih gampang daripada pas Lukas masih di sini.

"Sorry, I shouldn't have told you that."

"No, that's alright, Rena. Aku tahu kamu nggak mau aku jadi lebih kecewa."

Gue cuma ngangguk. "Gue yakin lo pasti bisa ngatasin ini, Lukas. You're a tough guy. And you're good looking. Gue yakin, lo bakal ketemu cowok yang pantes dapetin lo di sana. Cowok yang bisa bales perasaan lo."

"It'll take a while, Rena," ucap Lukas sambil senyum. "But, I'll be alright."

"You will."

"Alright then, I gotta go now. There are several things I have to do or I'll get too lazy."

"Okay. Thanks for calling, Lukas. It's nice seeing you again."

"Me too, Rena. Take care and send my regards to Satya."

Gue ngangguk.

"Bye, Rena."

"Bye, Lukas."

And, that's it.

Begitu wajah Lukas ilang dari layar laptop, gue cuma bisa diem. Kalau Satya punya pacar, begitu juga dengan Lukas, semuanya bakal baik-baik aja. Perasan bersalah gue bakal ilang. Mungkin, kalau gue juga bisa buka hati gue buat cowok lain, gue akhirnya berani buat jujur ke mereka. Karena perasaan gue ke Lukas mungkin udah nggak ada, yang bakal ada cuma rasa bersalah nggak jujur ke mereka. That's it. Buat sekarang, gue bakal diem and let things be the way they are.

Hape gue berdering. Pas gue liat nama Laras di sana, gue tahu kenapa cewek itu tiba-tiba telepon gue.

"Napa Ras? ... Gue kan nggak diundang, ngapain gue musti dateng? ... Nggak ah, ntar dikira gue tamu nggak diundang lagi ... Lo yakin? ... Ya udah, sms-in gue tempatnya, ntar gue nyusul ke sana. Tapi lo janji nemuin gue di luar ya? Awas kalau lo ngabur duluan ... Daah!"

Laras ngajak gue ke pesta ulang tahun temennya dan biasanya, gue ogah banget ke pesta yang gue nggak diundang, apalagi sama Laras. She's not my favorite person to hang out with. Tapi gue butuh keluar dari kamar gue ini. Keluar sendirian juga nggak lucu kan? So, that invitation from Laras came at the right time.

Gue langsung buka lemari gue dan milih apa yang pantes gue pakai buat nemenin Laras ke pesta ulang tahun temennya di daerah Petitenget.

***

"Lo lama di Bali?"

Pesta ini tenryata rame juga. Gue nggak nyangka bakal serame ini. Dan satu pun, gue nggak ada yang kenal, kecuali Laras, yang udah entah ke mana. Pas ada cowok duduk di sebelah gue dan ngajak ngobrol, gue ladenin aja. Toh, cowok ini juga lumayan. Dari tampangnya, gue yakin, dia blasteran.

"Cuma seminggu. Ke sini juga karena ajakan temen."

Cowok ini bukan tipe cowok-cowok kurang ajar kalau gue liat dari cara dia ngomong dan bahasa tubuh dia. Paling nggak, keliatannya bukan sex oriented kind of guy. Gue bisa aja salah. Sekalipun temanya nggak terlalu formal, cowok ini makai kemeja lengan panjang krem dan chino pants item, bikin dia agak stand out diantara tamu-tamu yang lain, yang cuman make kemeja lengan pendek.

"Gue Rena," ucap gue sambil ngulurin tangan.

"Joddi," jawab cowok itu sambil bales uluran tangan gue.

"Lo rapi banget. Nggak gerah ya, pake lengen panjang?"

Joddi senyum. "Nggak sih. Masak aku rapi banget? Biasa aja menurutku."

Gue ngangguk.

"Kamu beda."

Gue ngerutin dahi. "Maksud lo?"

Joddi nyesep red wine-nya sebelum kembali natap gue. "Biasanya, begitu kenalan, orang langsung nanya apa aku blasteran, kalau iya, darah dari mana. Kayak penampilan aku jadi kurang Indonesia kalau aku jawab iya."

"Lo PD juga ya?"

Joddi ketawa. "Nggak lah, cuma ngasih opini tentang pertanyaan sejuta umat aja. Aku ngerasa orang lebih tertarik ke fisik daripada nyari orang buat diajak ngobrol."

Gue cuma bisa geleng-geleng. Kalimat cowok ini kesannya kalau dia itu cakepnya udah ngalah-ngalahin cowok paling cakep sejagad raya, tapi bukan itu yang gue tangkap. Cowok ini cuma capek aja orang-orang lebih tertarik sama fisiknya daripada ngobrol sama dia. Gue juga nggak bisa nyalahin orang-orang itu.

"Lo ngapain di Bali? Liburan?"

Joddi ngangguk. "Sambil nyari opportunity buat bisnis di sini. Siapa tahu ada."

"Lo mau bisnis apaan? Jangan deh. Bali mahal kalau lo mau punya bisnis. Lagian, gue paling nggak suka kalau orang datang ke Bali terus punya bisnis yang sama sekali nggak mikirin orang-orang lokal di sini, cuma karena mereka ngerasa punya banyak duit."

"Wait ... wait ... wait ... jangan judgemental dulu dong. Kamu kan belum denger apa yang mungkin bisa aku lakuin di sini."

Gue tiba-tiba ketawa begitu sadar apa yang baru gue bilang ke Joddi. Nggak biasanya gue langsung bersikap judes kayak gitu sama orang yang baru gue kenal. Let alone, cowok cakep macam Joddi ini yang dengan main kata-kata aja, bisa gue bawa ke kamar kos gue. At least, buat pelampiasan karena gue masih belum bisa lupain Lukas. But, I'm not gonna do that. Joddi keliatannya bukan tipe-tipe yang pro sama ONS.

"Kamu kenapa ketawa?" tanya Joddi sambil miringin kepalanya. Mungkin, dia belum pernah liat orang ketawa setelah orang itu ngasih judgement ke dia.

"Nevermind. Anyway, memangnya lo mau bisnis apaan di sini?"

"Mungkin kafe kecil atau restoran vegetarian? Something back to nature. Aku masih belum tahu pasti apa, tapi dengan begitu banyaknya orang asing dan sebagian dari mereka pasti punya gaya hidup sehat, pasarnya ada. It's just a thought. Aku belum bener-bener serius mau buka bisnis di sini."

"Lo vegetarian?"

Joddi ngangguk. "Kenapa? Ada yang salah dengan itu?"

Gue bener-bener nggak percaya sama apa yang gue denger. Ada apa sih dengan pria-pria pembenci daging ini? Apa begitu nggak enaknya daging sampai mereka musti jadi pria-pria yang nggak makan daging? Dulu Lukas, sekarang Joddi. Oh my!

"Nggak ada sih. Lo total nggak makan daging atau gimana?"

"Iya, aku total nggak makan daging. Ikan juga nggak, telur, susu. Cuma ... aku masih makan keju," jawabnya sambil nyengir. "Itu aja sih yang cacat sebenernya. Aku berusaha buat nggak makan keju tapi nggak bisa. Bener-bener nggak bisa ninggalin satu hal itu. Mungkin, karena dari kecil udah terbiasa."

"Lo bilang itu cacat cuma karena lo masih doyan keju?"

"Pengennya kan jadi total vegetarian, tapi ya sudahlah, yang penting, aku nggak makan daging sapinya," ucapnya sambil nyengir.

"Lo nggak gay kan?"

Joddi sepertinya kaget sama pertanyaan gue ini. Gue trauma sama Lukas dan gue, nggak mau kejadian yang sama terulang. Biar pun gue juga nggak tahu apa gue bakal suka sama Joddi atau nggak, paling nggak, kalau gue tahu dia normal, gue bisa bernapas lega. Cukup deh cowok cakep tapi gay di dunia ini. Spare some for the ladies.

"Kamu mau bukti seperti apa?" tanyanya.

Gue liat Joddi kayak tertantang buat jawab pertanyaan gue. Selama ini, gue selalu punya jawaban yang sama kalau ada cowok yang nantangin gue dengan pertanyaan kayak gitu. Cuma nggak tahu kenapa, kali ini gue malah diem. Gue ngeliatain Joddi, yang masih nunggu jawaban gue.

"Just answer my question."

"Kalau cuma jawab pertanyaan, aku bisa bohong kan? Ada hal-hal yang jauh lebih baik dibuktiin daripada cuma diomongin."

"Lo ini nakal juga ya?"

Jodi ketawa. "So?"

"Lo mau apa? Mau buktiin kalau lo bukan gay di kamar gue? Atau apa?"

Sekalian gue bilang aja apa yang ada di pikiran gue. Daripada gue main petak umpet cuma buat tahu jawaban dari pertanyaan gue.

"Nah, siapa yang lebih nakal sekarang?" bales Joddi balik sambil ngasih gue senyumnya.

Nggak tahu dari mana, gue tiba-tiba deketin tubuh gue ke Joddi dan langsung nyium bibir dia. Awalnya, gue ngerasain kalau Joddi pasti kaget. Cuma, lama-lama Joddi bales ciuman gue. Oh boy! Gue udah ciuman sama entah berapa banyak cowok dan Joddi is a hell of a kisser!

Pas akhirnya gue ngelepasin diri dan mandang Joddi, dia masih keliatan kaget. Gue yakin, dia pasti punya banyak pertanyaan buat gue. Jangankan buat Joddi, buat gue aja, apa yang baru gue lakuin nggak bisa dipercaya. But, it happened.

"That kiss answered my question."

Joddi cuma senyum. "Aku harap, kamu nggak ngelakuin itu ke semua pria yang dapet pertanyaan kayak tadi. I'm such a lucky bastard this evening."

Gue nggak bisa nahan ketawa denger ucapan Joddi. "Don't be cocky, boy. You haven't got a bit of luckiness you just mentioned."

"Kamu mau aku ambilin wine? Red? Champagne? Cocktail? Or me?"

"Champagne, thanks."

Begitu Joddi beranjak, gue cuma bisa ngehela napas. What have I done? Kissing a stranger in a place full of people? I'm a bitch but not a slut. Tapi gue nggak bisa bohong kalau Joddi is a good kisser. Paling nggak, dari ciuman itu gue tahu kalau dia bukan pria gay.

Gue masih cinta sama Lukas. Cuma karena gue ciuman sama Joddi, bukan berarti cinta gue sama cowok yang lagi di Jerman itu luntur. Nggak ada kata serius dalam kamus Rena kalau menyangkut cowok sekalipun Lukas adalah sebuah perkecualian.

We'll see ... we'll see.... 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro