SATYA - RENA THINKS HE'S GAY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


September 2011...


"He's definitely gay. 100% homosexual."

Aku hanya mampu menaikkan alis mendengar ucapan Rena. Aku sedang ada di kosnya setelah hampir sebulan kami sama sekali tidak saling bertemu. Rena sedang sibuk dengan laptopnya sementara sudah lebih dari sepuluh menit, aku merebahkan tubuh di tempat tidur.

"Kok bisa?"

"Satya, alasan apalagi yang masuk akal kalau bos lo itu bukan gay?"

"Alasan Pak Stefan cukup masuk akal buatku. Orang Indonesia kan cenderung selalu pengen tahu urusan orang."

"Satya, lo percaya sama gue. Cuma cowok gay yang bisa ngelakuin itu. Kalau bos lo itu straight, buat apa dia pakai cincin kawin palsu? Itu kan sama aja matiin pasaran dia. Lo memangnya nggak pernah kepikiran sampai ke sana?"

Aku menghela napas sebelum menggeleng. Sejak menceritakan perihal obrolanku dengan Pak Stefan malam itu, Rena meyakinkanku kalau Pak Stefan itu gay. Aku tentu saja berusaha menyanggahnya habis-habisan karena itu sama sekali tidak mungkin. Alasan Pak Stefan cukup masuk akal dan bisa diterima. Rena, seperti biasa, bersikukuh kalau cincin itu cuma tipuan untuk menutupi kalau dia gay.

"Kalau pun Pak Stefan itu gay, bukankah dia harusnya tahu kalau di Indonesia ini sebagian besar orang kita masih kolot soal homoseksual? Kenapa dia nggak tinggal di Belanda aja? Di sana, dia bisa jadi dirinya sendiri tanpa harus bohong ke siapa pun."

Kami saling bertatapan dan mengenal Rena, aku tahu dia sudah lelah mendengar semua alasan yang aku pakai untuk tidak memercayai pendapatnya tentang Pak Stefan.

"Satya, lo ini kadang naifnya keterlaluan ya? Bos lo itu pindah ke sini pasti ada alasan kuat. Something you don't know because he keeps it to himself. Dia mungkin nggak mau balik ke Indonesia, tapi siapa tahu ada masalah atau sesuatu yang bikin dia harus balik? Lo kan bukan sahabat deket dia yang tahu semuanya. Jadi, nggak usah berargumen sama gue. Percaya gue kalau dia gay."

"Kita lihat aja nanti, apakah prediksi kamu itu bener atau nggak."

"Ngeyel juga ya lo Sat?"

"Gimana Joddi?"

Aku menanyakan nama pria yang sempat diceritakan Rena beberapa minggu lalu. Pria yang menurutnya beda karena membuatnya penasaran. Sejak itu, Rena tidak pernah lagi mengangkat topik tentang Joddi. Aku hanya ingin tahu bagaimana hubungan dia sekarang dengan pria yang juga membuatku penasaran karena berhasil membuat seorang Rena penasaran. Alasan sebenarnya karena aku tidak mau membahas tentang Pak Stefan lagi.

"He's fine. Lo ngapain tanya-tanya tentang dia?"

Aku bangkit dari posisi rebahanku dan menyandarkan punggung ke tembok. "Nanya aja. Kamu bilang dia bikin kamu penasaran, aku cuma mau tahu gimana sekarang kamu sama dia."

"Lumayan sering BBM-an, telepon kadang-kadang, udah gitu aja. Gue juga biasa-biasa aja nanggepinnya."

"Yakin?"

Aku mengajukan pertanyaan itu karena Rena jarang menyebut seorang pria dengan nama, kecuali pria itu benar-benar mengusiknya. Dan jawaban yang diberikan Rena hanyalah tatapan yang sangat aku kenal, yang berarti 'Shut up!' sebelum kembali menekuri laptopnya.

"Cowok ini jelas bikin kamu penasaran. Kenapa harus gitu banget reaksi kamu? Nggak biasanya kamu begini kalau urusan cowok. Sama Julien dulu juga kamu biasa aja."

"Udah deh Sat, palingan juga Joddi ini mau playing game aja sama gue. Kita liat deh ntar dan lo berani taruhan apa kalau gue bener?"

"Nggak mau taruhan apa-apa."

Kami kemudian terdiam. Aku memandangi Rena—yang entah sedang sibuk melakukan apa—sambil berpikir tentang Joddi. It's been more than a year since she had a boyfriend. Aku tahu, Rena bukan tipe yang bisa sendirian, apalagi lebih dari setahun. Pasti ada pria yang disukainya setahun belakangan ini, tapi tidak diceritakannya padaku atau dia memang benar-benar belum menemukan siapa pun. Mungkin Rena benar kalau Joddi ini hanya ingin main-main, tapi siapa yang tahu kan? Mungkin saja Joddi ini pria yang akan bikin Rena berhenti mencari.

"Kamu pasti nyembunyiin sesuatu, Rena."

"Like what?" balas Rena tanpa mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Nggak tahu. Tentang Joddi atau tentang cowok lain yang kamu nggak ceritain ke aku."

Aku mendengar helaan napas Rena. Dia lelah aku seperti mencecarnya tentang Joddi. But, I need to know EVERYTHING. Tidak pernah ada rahasia di antara kami.

"Gue pasti cerita ke lo kalau ada cowok lain, Sat. Tapi, kalau memang nggak ada, gue musti cerita apaan ke lo? Lo sendiri gimana? Masih belum move on juga dari Lukas?"

Kali ini, aku yang terdiam.

Lukas ... sudah lebih dari dua bulan dia meninggalkan Bali tapi aku masih belum juga bisa menyisihkan apa yang aku rasakan. Bahkan bisa dibilang, kami cukup sering bertukar pesan di Facebook. Namun aku berusaha untuk tidak menerima panggilan Lukas melalui Skype. Melihat kembali wajahnya langsung di hadapanku, bisa membuatku kehilangan kendali. Akan terlalu menyesakkan melihat wajah pria yang aku cintai tetapi tidak bisa aku miliki. Membiarkannya mengetahui perasaanku saja tidak mungkin.

"Menurut kamu?"

"Gue nanya lo, Satya. Kalau gue tahu, ngapain gue nanya?"

"Masih belum bisa, Rena dan aku lagi nggak mau denger ceramah kamu tentang ini salah atau apa."

Ucapanku itu berhasil membuat Rena memandangku. "Mau sampai kapan?"

"Nggak tahu. Sampai aku jatuh cinta sama cowok yang namanya bukan Lukas."

"Kapan itu Sat? Sepuluh tahun lagi?"

"Nggak perlu sarkastis gitulah, Rena. I need time. Baru juga dua bulan Lukas pergi dari Bali."

"Gue kira bakal lebih gampang buat lo move on karena Lukas udah nggak di sini, ternyata gue salah. Lo masih ngarepin dia atau gimana sih Sat?"

Ada nada tidak sabar dalam suara Rena. Seperti geregetan mengetahui bahwa setelah kepergian Lukas dan kenyataan bahwa hampir enam bulan sejak Rena memberitahuku tentang status Lukas, aku belum juga bisa melepaskan Lukas dari hatiku.

"Kamu kan nggak bisa maksa aku buat ngelupain dia, Rena."

"Siapa yang bilang gue maksa lo, Sat? Gue cuma heran aja sama lo. Udah jelas-jelas lo tahu Lukas itu straight, bahkan udah lama gue ngasih tahu lo tentang itu dan udah dua bulan lebih Lukas pergi, tapi lo tetep mikirin dia. Nggak salah dong kalau nanya apa lo masih ngarepin dia atau nggak."

"Kamu tahu kalau aku bukan tipe yang gampang buat move on."

"Buktinya, lo move on cepet dari Patrick."

Aku terdiam. Pernyataan Rena memang benar. Jarak antara aku jatuh cinta dengan Lukas setelah hubunganku dengan Patrick berakhir, memang singkat. Namun, aku punya alasan untuk segera mengenyahkan Patrick dari hatiku.

"Itu beda Rena."

"Gue rasa, lo cuma pengen nyiksa diri lo sendiri, Sat."

"Dan itu jadi urusan kamu karena?"

Aku tidak suka arah pembicaraan kami saat ini. Rena tahu, Lukas adalah topik sensitif untukku. Dia tahu aku menyimpan perasaan khusus terhadap Lukas, tapi Rena seperti berusaha untuk membuatku melupakan Lukas secepatnya. Kenapa?

"Satya, lo tahu gue sayang sama lo, gue peduli sama lo. Gue cuma nggak mau lo terjebak sama perasaan lo ke Lukas, yang bisa bikin lo jadi nutup diri sama kemungkinan cowok lain yang pengen deket sama lo. Gue cuma pengen lo bahagia dan jatuh cinta sama orang yang tepat. Lukas jelas bukan orang yang tepat buat lo dan dia nggak bisa bikin lo bahagia."

Sekuat apa pun aku ingin menyanggah ucapan Rena, apa yang dia ucapkan itu tidak salah. Aku hanya tidak mau memaksa diri untuk melupakan Lukas. Memaksa Lukas untuk segera pergi dari hatiku akan membuatku semakin sulit untuk melupakannya. Aku hanya perlu waktu. Hanya itu.

"I told you, I just need time."

"Gue ngerti, tapi harus ada yang ngingetin lo biar lo nggak pake alasan waktu buat nyimpen perasaan ke Lukas lebih lama. Dan gue nggak bakal bosen jadi orang itu. Mungkin gue kedengeran nggak punya hati, tapi, ini semua juga demi lo sendiri, Sat."

Kami saling bertatapan. Kali ini, aku hanya mengangguk.

Rena hanya ingin aku bahagia dengan melupakan Lukas dan membiarkan pria lain, siapa pun itu, tidak menyimpan keraguan atau ketakutan kalau mereka ingin mengenalku lebih jauh. Aku harusnya berterima kasih sama Rena. Mungkin, ego untuk mempertahankan perasaanku ke Lukas masih cukup besar.

"Aku tahu."

"Kenapa lo nggak coba deketin bos lo? Siapa tahu dia bisa jadi cowok buat gantiin Lukas. Dia juga nggak tua-tua amat. Lo belum pernah kan pacaran sama cowok yang usianya udah hampir 40?"

Kali ini, aku melempar bantal berbentuk hati ke arah Rena begitu dia menyelesaikan kalimatnya. Yang baru diucapkannya membuatku tertawa, karena tahu aku tidak mungkin melakukannya. Rena bukan hanya memberi ide yang sangat konyol, tapi juga absurd.

"Stop it, Rena!"

Dan dalam waktu singkat, kami seperti melupakan sedikit ketegangan yang sempat terjadi dan membiarkan acara saling melempar bantal ini jadi sebuah pelampiasan.


***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro