Bagian 22 | (Not) Comfortable ✓

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry for typo
~Happy reading~

"Dunia ini begitu lucu ya, dia mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Tak jarang pula, ada yang dekat semakin mendekat dan yang jauh semakin menjauh." Anaya Natsumi

"Kita hanya perlu menemukan tanpa perlu saling melupakan." —Shanaya Keiko

~Twin's

Hari ini, Naya beserta sebagian anggota tari, termasuk Widia. Mereka sedang melaksanakan latihan terakhirnya, karena beberapa jam lagi perlombaan yang akan mereka ikuti, akan segera dimulai. Dua bulan yang lalu, mereka telah sepakat untuk mengikuti lomba di event japanzuki yang akan diselenggarakan di UPI Bandung. Naya dan lainnya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Tidak untuk hal yang telah Naya nanti-nantikan.

"Lo kaya yang cape banget deh, Nay. Pucet tuh," tegur Widia saat mereka sedang gladi resik tentang dance yang akan mereka tunjukan nantinya.

Naya menggeleng lemah, dia berusaha untuk terus fokus pada gerakannya. Walaupun dia sendiri merasa tulang-tulang sendinya mulai kebas dan sulit digerakkan. Mati rasa.

Pasti karena efek gak minum obat! Naya menghela napasnya saat dia teringat akan rutinitas yang biasanya tidak pernah dia lewatkan, kini dia mendapatkan akibat keabsenan yang sudah menjadi habit menyebalkan yang harus Naya lakukan, sekalipun dengan terpaksa.

Naya merasakan tubuhnya jauh lebih dari kata remuk. Maka saat latihan itu selesai, Naya langsung tepar di lantai. Layaknya orang pingsan kebanyakan, anak-anak dance yang lain mendekati ke arah Naya.

Laras yang menjadi leader sekaligus coach mereka, mengecek suhu tubuh Naya dengan menempelkan punggung lengannya pada kening Naya. "Panas!" ujarnya panik, anggota tari yang lain ikut kelimpungan, mereka saling pandang.

"Terus gimana ini?! Lombanya bentar lagi, apa ... harus pake cadangan?"

Mereka semua serentak melotot atas usulan Kia. Karena menurut mereka, ucapan Kia terlampau berlebihan. Apalagi jika Naya sampai tahu.

"Kenapa? Gue cuma ngungkapinnya aja ya, kita sendiri tahu, resiko saat kita sendiri bawa anggota yang sakit, kan?"

Kia sengaja mengutip kata sakit dengan kedua jarinya. Memberikan sebuah penekanan pada kata tersebut.

Widia yang ada di samping kanan Kia, menyenggol lengan gadis itu. "Diem lo, jangan celetuk kaya gitu!" peringatnya yang dibalas oleh dengkusan kasar.

Sementara itu, Laras terus mengguncang tubuh Naya. "Nay, lo denger, kan?" Laras juga beberapa kali menepuk-nepuk pipi Naya, memastikan kesadaran gadis tersebut.

Sintia yang merupakan anggota termuda karena masih berusia lima belas tahun itu, memandangi Naya dengan iba. "Kak Naya gak kaya biasanya, dia lebih pucat deh," ucapnya.

Jauh dari lubuk hati Widia, dia membenarkan ucapan Sintia. Namun tak ayal, dia membantah kalimat tersebut karena tidak mau terjadi hal buruk yang menimpa Naya. "Gue rasa dia cuma kelelahan aja."

Naya melenguh, dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Naya menatap sekitarnya dengan kening yang berkerut samar. "Loh ... kenapa ini?"

Kia menatap Naya sekilas, dia mencebikkan bibirnya. Laras menghembuskan napas lega. Akhirnya Naya bangun juga.

"Lo paling pinter ya bikin kita khawatir," ujar Widia sarkas. Tapi tetap membantu Naya untuk duduk.

Naya meringis, saat mengetahui bahwa kejadian beberapa menit itu, cukup membuatnya merasa malu. Hal yang paling Naya ingat adalah saat dia berusaha untuk mengistirahatkan tubuhnya, namun tubuhnya tidak mampu menahan bobotnya lagi. Sehingga tubuhnya ambruk dengan kesadaran yang menipis.

"Maaf ngerepotin kalian," cicit Naya.

"Gak apa-apa, Naya. Kita semua juga ngerasain hal yang sama kaya lo, kok. Jangan sungkan ya kalo lo emang butuh istirahat, bilang aja. Jangan maksain diri yang akan berujung sakit," ujar Laras penuh perhatian.

Naya tersenyum ke arah Laras. "Makasih, ya, Mbak!"

•×•×•×•

Karena terlalu bosan di rumah sakit, Shana merengek pada Nana dan meyakinkan Dokter Al bahwa dirinya akan baik-baik saja, jika dirinya diizinkan untuk pulang. Tentu saja dengan tambahan janji manis akan minum obat setiap harinya secara rutin dan teratur. Tapi tentu saja, Shana dan obat adalah hal yang saling bertolak belakang. Tidak pernah dan Shana tidak mau repot-repot harus menelan pil pahit itu ke dalam mulutnya.

Tapi usahanya untuk membujuk kedua orang itu, berhasil. Karena pada saat di rumah sakit, siapa sangka dia bisa mendapatkan gelar sebagai 'pasien teladan' hanya karena rutin minum obat dan makan secara teratur.

Berbekal dengan gelar tersebut, akhirnya Nana beserta Dokter Al menyetujui agar Shana bisa pulang. Tentu saja dengan berbagai syarat dan jadwal check up rutin yang harus Shana lakukan.

"Ingat ya, Shana. Kamu jangan pernah absen dari jadwal check up minggu depan nantinya," pesan dokter Celio Al-Lazuardi yang Shana angguki.

Yes! Akhirnya bisa lolos juga!

Shana bersorak dalam hati, tak sia-sia dia berusaha untuk menahan rasa pahit dari obat yang memberikannya sedikit efek samping mengantuk yang berlebihan setiap harinya.

Sehingga di sinilah Shana berada. Setelah selesai melakukan check up sebelum berangkat sekolah, Shana berada di dalam kelas yang ramai oleh deretan kursi dan meja yang masih tampak kosong. Wajar saja, hari ini masih pukul enam pagi.

Dengan langkah seringan kapas, Shana melangkah kakinya menuju meja yang selama tiga minggu harus dia tinggalkan. Jujur saja, dia mulai mencintai sekolahnya dibandingkan harus homeschooling seperti dulu. Hingga sebuah sapaan yang akrab di telinga, membuat Shana harus berkali-kali mengusap dadanya, sabar.

"Eh, Shana. Apa kabar, oy!"

Ziyad langsung duduk di samping Shana dan dengan tidak berdosanya, laki-laki itu malah membuat rambut Shana berantakan.

"Bisa gak, sih, diem!" dumelnya.

Ziyad malah tertawa melihat Shana yang pagi-pagi seperti ini sudah kesal. "Kalo udah marah, berarti lo beneran gak apa-apa."

Shana mendelik tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia menyumpal telingannya dengan earphone, berharap bahwa Ziyad tahu itu adalah cara pengusiran secara halus. Namun sayangnya Ziyad berpura-pura menjadi tipe orang yang tidak peka. Dia merogoh saku celananya dan menyodorkan dua tiket acara event di Bandung di depan wajah Shana.

Shana yang awalnya malas menengok pada Ziyad, kini sudah menghadap sepenuhnya pada laki-laki tersebut. "Dapat dari mana lo?" tanya Shana penuh keterkejutan. Pasalnya tiket tersebut telah habis terjual dan Shana kurang beruntung untuk bisa mendapatkan tiketnya.

Ziyad memberikan salah satu dari dua tiket yang ada di tangannya pada Shana yang meresponnya dengan mengangkat sebelah alisnya.

"Buat lo, nanti gue jemput, ya?" ujar Ziyad.

Shana masih memandangi tiket dan wajah Ziyad secara bergantian, belum mengerti arah pembicaraannya kali ini.

Bahkan hingga Ziyad kembali mengacak-acak rambutnya yang disertai senyuman lebar dari laki-laki tersebut, meninggalkan Shana yang masih kebingungan di tempat duduknya.

Dahi Shana semakin mengerut saat matanya membaca rangkaian acara yang nantinya akan diselenggarakan di event tersebut. Tertera dengan jelas bahwa akan ada perlombaan dance cover di ujung bawah sebelah kiri. Seketika Shana dapat mengetahui dari mana Ziyad mendapatkan tiket ini dengan mudahnya.

"Pasti dari Naya."

Shana merasa ada yang tidak sinkron dengan hatinya. Dia mendadak gelisah juga merasa tidak nyaman. Padahal sebelum Ziyad datang dan memberikannya tiket, perasaannya justru tidak serumit sekarang. Shana juga heran, hal semacam ini datang dari Ziyad, tiket event atau ... Naya?

Atau karena Shana tidak menyukai ketiganya?

~tbc~
©280320 tanialsyifa
[Selesai revisi tanggal 14 Juli 2020]

Note : Thank's for reading~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro