Bagian 4 | Friendship ✓

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry for typo
~ Happy reading ~

"Karena pada dasarnya ikatan yang terjalin layaknya saudara adalah sebuah persahabatan."
•×•×•×•

Hangat dari pemanasan ruangan membuat cuaca dingin—karena hujan baru saja mengguyur kota metropolitan—menjadi hangat. Naya yang sedang berada di rumah Widia yang luas dan minimalis ini, semakin merasa malas untuk beraktivitas. Mereka sepertinya terlena untuk tetap berada di atas kasur daripada harus berbasah-basah dengan rinai hujan yang sedang mengguyur bumi.

Rumah Widia memang terkesan luas, namun hal itu tetap membuat Widia merasa hampa. Selain karena orang tuanya yang sibuk bekerja, Widia juga merupakan anak tunggal mereka satu-satunya. Tak heran jika Naya sering kali menginap di rumahnya dan akrab dengan orang tua Widia, sehingga mereka sering disebut sebagai saudara. Widia menoleh ke samping, melihat Naya yang sedang memejamkan matanya. Widia tahu jika Naya belum tidur, karena jam masih menunjukkan pukul setengah delapan malam. Terlalu awal untuk Naya yang hendak tidur.

"Nay, lo masih terjaga, kan?" Naya hanya bergumam tak jelas, tanpa minat membuka matanya. "Masih terpikir hal yang Shana lakuin tadi?" tanyanya lagi.

Mata Naya mulai mengerjap. Dia melirik sebentar pada Widia dan mengulas senyum tipis. Pandangannya lurus, menatap langit-langit kamar Widia. "Ya ... seperti yang kamu lihat. Shana emang terlihat sensi banget, gak tahu kenapa," terang Naya.

Widia jadi tidak enak hati, jika harus membahas tentang kelakuan Shana pada Naya minggu lalu. "Kalau tentang Akio gimana, Nay?" goda Widia sambil mengerlingkan matanya. Sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

Naya merenggut kesal. Dia melemparkan sebuah bantal pada Widia, perempuan itu dengan gesit menghindarinya. "Kok jadi bawa-bawa dia sih!" protes Naya sambil mengerucutkan bibirnya.

"Habisnya, dia keliatan suka banget sama lo, tahu." papar Widia.

Naya mencebikan. "Suka dari mana ya? Orang player gitu, ih! Jijik tahu," ucap Naya sambil bergidik ngeri saat bayangan pemuda bernama Akio itu muncul di dalam benaknya.

Memang kerap kali Akio sering melemparkan candaan yang bersifat perasaan pada Naya, tapi Naya tidak buta. Orang seperti Akio itu, cuma bisa memainkan perasaan wanita saja. Omongannya juga selalu Naya artikan sebagai gurauan belaka.

"Eh, jangan bilang gitu, nanti beneran suka lho," cerca Widia.

"Ih, amit-amit ya!"

Lalu mereka sama-sama tertawa memikirkan nasib Naya yang mungkin saja akan menjadi target kesekian dari Akio.

"Wid, maaf ya, kalo orang tua kamu ... sekarang gimana?" ujar Naya mengalihkan topik pembicaraan.

Widia mendesah berat. "Gitu deh," jawabnya sekenanya.

Karena tidak mendapatkan jawaban yang puas, Naya berdecak. Tapi dia tidak ingin semakin membuat Widia merasa tidak nyaman karena topik pembicaraan mereka tentang orang tua, menjadi pantangan tersendiri bagi seorang Darlene Widia.

"Daripada kita males-males di sini, gimana kalo kita buat bolu?" ajak Naya.

Widia menggeleng, mood nya sedang kurang bagus untuk melakukan suatu pekerjaan. Dia hanya ingin bermalas-malasan. "Gak, ah. Gue lagi unmood."

Naya merenggut. "Ayolah, masa anaknya Chef gak bisa masak makanan yang segitu sederhana sih." Naya mencibirnya, berusaha membuat Widia untuk membantunya membuat bolu.

"Ish, bukan gitu. Gue lagi males tahu!"

Naya mencebik, berpikir keras untuk mengajak Widia mengalihkan pikirannya dari kedua orangtuanya. "Oh, ayolah. Kita happy fun, yuk?" Naya terus menggoyangkan lengan Widia dengan memasang puppy eyes miliknya.

Widia mematut senyum manisnya. "Baiklah-baiklah," pasrah Widia pada akhirnya. Dia tidak tega untuk menolak ajakan Naya, jika gadis itu sudah memakai tatapan memelasnya.

Naya berjingkrak senang dan langsung menyeret Widia menuju kitchen set-nya. Widia yang melihat Naya seperti itu hanya mengulum senyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Dasar cewek manja." Kekehan itu cukup pelan untuk bisa terdengar oleh Naya yang sudah setengah jalan menuju dapurnya.

•×•×•×•

Setelah menyelesaikan pembuatan bolu bersama Naya, Widia kembali ditinggal sendirian di rumah yang terbilang luas ini. Naya bilang, bahwa dia ada masalah urgent dari keluarganya yang secara mendadak menghubunginya. Padahal niatnya, Naya sudah akan menginap di rumahnya.

Memang, di rumah seluas ini, Widia tidak benar-benar sendirian. Masih tersisa beberapa asisten rumah tangga yang disediakan oleh orang tuanya untuk mengurusi Widia.

Tangannya terulur menyentuh sebuah pigura yang memperlihatkan dua anak yang tersenyum bahagia ke arah kamera. Gadis yang memakai dress selutut berwarna peach dengan laki-laki yang mengenakan tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu berwarna merah itu, membuat kedua anak yang ada dalam satu frame pigura terlihat seperti pasangan kekasih yang akan tunangan, pikiran Widia memang selalu merancau jika mengingat kenangannya dengan laki-laki yang dulu selalu menemaninya.

"Sekarang gimana keadaanmu? Sudah bahagia kah?" Widia tersenyum pahit saat setetes air matanya, menetes pada kaca pigura. Dia segera menyekanya. "Gue udah janji sama dia, supaya gak boleh pernah nangis lagi."

Widia kembali menyimpan pigura tersebut pada laci di lemari pakaiannya. Berharap dapat sedikit mengurangi rasa rindunya pada laki-laki tersebut.

Sementara itu, jauh dari kediaman Widia, Naya sedang termenung. Tangannya memegang pembatas besi yang ada di balkon kamarnya. Pikirannya melayang jauh dengan mata yang terus melihat ke arah langit bertabur bintang. Beberapa kali matanya mengerjap, saat melihat bintang jatuh. Naya bersorak dalam hati, karena mungkin inilah saatnya yang tepat untuk dia memanjatkan permintaannya.

Dia tidak berharap banyak. Hanya menginginkan keluarganya kembali utuh seperti dulu, sebelum guncangan yang meruntuhkan keluarganya terjadi. Naya hanya ingin keluarganya kembali seperti semula. Hanya itu. Naya kembali memandang langit yang bertabur banyak bintang, membuat rasi bintang yang sangat indah.

"Kalo lo kangen sama seseorang, lo boleh lihat langit. Berharap bahwa orang yang kamu rindukan itu sedang menatap langit yang sama. Sehingga rindumu akan tersampaikan oleh hembusan sang angin."

Naya yang masih meragukan ucapan tersebut, bertanya. "Kalo rindunya tetep gak kesampaikan gimana?"

Orang itu tertawa. "Namanya juga mitos lho. Bisa aja itu benar ataupun tidak. Tergantung keyakinan kita."

Naya mengangguk patuh. 

Ingatan itu kembali membuat Naya tersadar bahwa yang selalu dia lakukan setiap malam, ketika merindukan seseorang adalah mengikuti perkataan orang yang dulu pernah memberitahukannya. "Kayanya dia lagi sibuk banget deh, kira-kira, apa ya, yang sedang kamu lakuin di sana?"

Dengan sebelah tangannya, Naya menopang dagunya. Jari-jari dari tangannya yang lain mulai melukis di udara membentuk segurat garis yang membentuk tanda love.

"Aku harap, kamu selalu baik-baik aja, ya." Naya kembali memasuki kamarnya dan mematikan lampu sebelum beranjak tidur. Naya berharap bahwa orang yang sedang dia rindukan dapat merasakan perasaan rindu dari Naya.

•×•×•×•

"Satu ... Dua ... Hasyim ... Haaasyim!" Sudah menjadi kebiasaannya jika akan bersin, harus menghitung dulu. Seperti aba-aba pada sebuah perlombaan.

Dia menggaruk pangkal hidungnya yang terasa berair. Dia selalu benci kondisi seperti ini. Lalu, tak lama setelahnya, dia mulai sesenggukan tiba-tiba. "Haish, pasti ada yang kangen sama gue ini mah, emang repot banget ya, jadi orang yang ngangenin tuh," rancaunya.

Dia menarik napas, menahannya sejemang dan membuangnya perlahan. Dia terus mengulanginya hingga beberapa kali. Namun sesenggukan itu masih ada. "Ah, dasar! Gue kutuk juga nih yang berusaha ngebuat gue sesenggukan gini!"

~tbc~
©100220 tanialsyifa
[Selesai revisi tanggal 20 Juli 2020]

Note : Thanks for reading, Keep stay, ya~
Salam hangat,
Bye~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro