BAB III : New Atmosphere

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini, hari di mana Vanko merasakan suasana dan dunia baru untuk menimba ilmu, setelah banyak hal yang dialaminya selama sepekan ini, dan berharap, ia bisa menemukan suatu hal yang berbeda di Stora High School, pendidikan lanjutan yang terletak lumayan jauh dari perkotaan dan menawarkan suasana asri nan mengagumkan. Manalagi, terdapat lapangan Bisbol dan olahraga lainnya yang menjadi ciri khas Stora High School dari pendidikan lanjutan lainnya bagi pelajar yang telah menyelesaikan pendidikan menengahnya.

Dengan blazer berwarna coklat muda dan celana hitam, Vanko cukup menikmati semua hal yang ada pada Stora High School---sangat berbeda dengan sekolah terdahulu yang sangat menyesakkan dirinya. Mungkin, Vanko akan betah saat menilik dari luar, tidak tahu saat ia akan turut andil menjadi siswa.

"Ini sudah menjadi tugas kami, Tuan dan Nyonya Dickson. Semua siswa, berada dalam pengawasan dan bimbingan kami dan kami sangat berterima kasih saat Tuan dan Nyonya mempercayai Stora High School dalam hal ini," kata seorang wanita berpakaian formal yang tidak lain adalah salah seorang guru yang mengajar. Lebih tepatnya, wali kelas Vanko di kelas barunya.

Perbincangan itu terjadi cukup singkat di ruang guru, hingga kini menyisahkan Vanko dengan guru yang dikenal dengan nama Miss Ville, setelah ayah dan ibunya telah meninggalkan sekolah beberapa menit lalu sesaat semuanya dirasa telah kelar. Membuat Vanko terus menundukkan wajah saat Miss Ville masih sibuk mencari suatu hal sebelum memasuki kelas.

"Huh, akhirnya ketemu," seru Miss Ville yang menjangkau sebuah proposal di dalam lemari. Lantas, meraih tas kecilnya dan menatap ke arah Vanko dengan senyum tipis. "Come on, Vanko!"

Vanko mengangguk yang kemudian mengekori Miss Ville yang berjalan begitu anggun. Namun, baru beberapa saat mereka melangkah, helaan napas terus tercurahkan saat mendapati beberapa tatapan kagum dari para siswi, tetapi amat memuakkan saat ia menatapnya.

"Oh God! Dia tampan sekali!"

"Kapan jam pertama berakhir? Aku ingin segera terlelap untuk memimpikannya."

"Sungguh, aku dapat melihat aura di mana dia adalah jodohku di masa depan."

Dan Miss Ville yang mendengar dan melihat bagaimana para siswi yang mengagumi siswa baru, membuatnya menghela napas. "Apa kalian ingin berada di ruangan bimbingan konseling hingga jam pelajaran berakhir?" Lantas semua siswa yang mengagumi visual Vanko, berlari terbirit-birit kala mendengar Miss Ville yang tadinya bagai angel, sedetik seperti devil.

Vanko hanya terdiam dengan tatapan kosongnya saat mendapat titah dari Miss Ville untuk tetap melangkah dan akan berhenti di depan sana, di mana mereka masih melewati tiga kelas. Akan tetapi, kejadian di pagi hari ini, langsung membawa kekesalan saat lorong yang berada di samping kanan mereka, memperlihatkan seorang gadis yang tidak bisa mengontrol dirinya hingga terjadi kecelakaan kecil.

Gadis itu masih beruntung saat ia hanya menabrak Vanko saja, tidak menabrak Miss Ville. Akan tetapi, Vanko menggeram dan meringis sakit sembari memegangi lengannya yang masih berada di tahap pemulihan di mana lengannya terkilir saat bermain bola basket secara diam-diam.

"Astaga, maafkan aku." Sambil membantu Vanko untuk berdiri. Namun, dengan kilat Vanko menepis dan berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. "Aduh, aku benar-benar tidak sengaja. Aku buru-buru."

"Vanko, ada yang terluka?" tanya Miss Ville yang baru menyadari kecelakaan kecil itu. Tatapan khawatirnya langsung tercurahkan dan berganti dengan tatapan mengintimidasi pada gadis yang hanya menyengir tidak berdosa. "Dan Sachi! Apa yang kau lakukan? Kenapa baru tiba di sekolah?"

Gadis itu belum menjawab, lebih memilih untuk menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. "Eung ... Maafkan aku Miss, semalam aku harus merangkum nilai yang di suruh oleh Mr. Choi selaku guru Arkeologi kami dan aku juga lupa menyetel jam bekerku," katanya yang kemudian beralih pada Vanko yang terus memegangi lengan kirinya dan sesekali meringis. "Apa lenganmu patah?"

Gadis bergigi kelinci itu memang tidak bisa memilih kosakata yang tepat saat sudah kacau seperti ini. Sachi Martinez memang seperti itu sejak dulu. Apalagi, saat kejadian ini adalah murni dari kesalahannya. Vanko hanya berdeham dan memilih untuk mengabaikan tutur kata itu.

"Baik kalau begitu, Sachi. Kau silahkan masuk ke kelas," pintanya yang membuat Sachi mengangguk paham.

"Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf dan sampai ketemu di lain waktu," kata Sachi lantas berlari menuju kelasnya.

Vanko yang mendengar kata; sampai ketemu di lain waktu, membuat satu sudut bibirnya terangkat yang beriringan dengan sebelah alisnya. Padahal, ia sama sekali tidak ingin bertemu ataupun terlibat kegaduhan dengan gadis itu. Akan tetapi, dalam benaknya malah berspekualasi di mana akan ada pertemuan setelah ini. Bahkan, dikatakan lebih gila lagi.

Namun, dengan kilat, Vanko menyadarkan dirinya atas apa yang berputar dalam kepalanya.

Kenapa harus memikirkan orang lain?

"Vanko, kau baik-baik saja?" Yang ditanyai hanya mengangguk dan tanpa mengulur banyak waktu, keduanya kembali menarik langkah. Hingga di mana keduanya berada di dalam sebuah kelas yang memperlihatkan bagaimana kegaduhan telah terjadi dan sekejap, kelas menjadi senyap saat Miss Ville memasuki kelas.

Akan tetapi, pandangan seisi kelas langsung teralihkan pada sosok lelaki yang berdiri di samping Miss Ville. Tampan dan menawan, membuat bisikan halus yang menguarkan kekagumam terdengar begitu saja. Apalagi, saat bisikkan itu perlahan terdengar amat jelas dan membuat kelas menjadi berisik.

"Perhatian semuanya! Jangan ada yang berisik! Dan sebelum melanjutkan materi, saya ingin mengatakan, kita memiliki satu keluarga baru setelah kepindahan Viona ke Brazil," katanya yang kemudian menatap Vanko dengan tulus. "Vanko, silakan perkenalkan dirimu."

Vanko tidak memberikan timbal-balik, baik berupa senyuman ataupun sejenisnya. Ekspresinya masih tetap sama dan mungkin terkenal sombong saat beberapa orang tidak memahami banyak hal. Vanko tidak peduli, karena ia ingin mengakhiri semua ini dengan tidak berlama-lama berdiri dan menjadi pusat perhatian.

"Halo, namaku Vanko, Vanko Dickson," katanya sangat datar. Memberikan satu kesimpulan bagi beberapa orang di mana Vanko tipikal irit bicara, dingin, tertutup dan pendiam.

"Baik, Vanko. Selamat datang di rumahmu dan semoga kalian semua bisa berteman baik dan sekarang," kata Miss Ville yang membuat Vanko tidak yakin jika ia bisa bertahan di sekolah ini setelah apa yang dilaluinya. "Kau bisa duduk di samping kiri bangku gadis itu ... Sachi!"

Mendadak, seisi kelas menoleh ke arah sumber suara. Sosok di mana kini menopang dagunya dengan mata yang terpejam nyaman. Namun, belum membuat gadis itu menghentikan mimpinya yang sepertinya sangat indah. Sehingga, melibatkan seorang pria yang bangkunya berada di belakang, memukul kepala Sachi dengan buku.

Sachi spontan terperanjat dan bangkit dari duduknya dan hendak memukul kepala teman sekelasnya itu. "Sakit tahu! Bagaimana jika aku mendadak geger otak? Kau ingin bertanggung jawab?"

"Sachi Martinez!"

Suara itu perlahan membuat kemarahan Sachi menghilang. Ia baru mengingat semuanya. Apalagi, saat ia kini berbalik dan mendapati bagaimana tatapan Miss Ville yang bersiap untuk menerkamnya.

Sachi hanya menyengir. "Maaf, Miss. Saya tidak bisa menahannya." Sembari kembali duduk di tempatnya dengan ekspresi yang sama dan membuat Miss Ville menggelengkan kepala. Hingga di mana Sachi baru menyadari saat manik kelabunya tidak sengaja berpapasan dengan manik huzelnut yang kini berjalan menuju bangku kosong yang berada di sampingnya setelah mendapat titah dari Miss Ville.

Bahkan, Sachi dapat melihat tatapan kosong itu yang terus saja terpatri. Tidak mengindahkan sapaan ataupun senyuman yang sekitarnya berikan. Seolah-olah, hanya kisah lelaki itu saja yang berada di dunia ini.

Mendadak, Sachi menatap Miss Velli yang kini memaparkan materi, membuat Sachi langsung mengalihkan tatapannya pada lelaki itu yang memcoba fokus pada materi sembari mengulurkan tangan tepat di hadapan lelaki itu.

"Hai, aku Sachi, Sachi Martinez dan oh iya, siapa namamu?" tanyanya dan Vanko memilih untuk mengabaikannya. Membuat Sachi mengerucutkan kedua bibirnya. "Ayolah, sebagai teman sebangku, aku harus mengetahui siapa namamu. Aku tidak mungkin memanggilmu sesuka hatiku."

Dan lagi, kebisuan Vanko, membuat Sachi mendadak panas saja. Sembari melihat Miss Ville yang masih sibuk menulis di papan, Sachi menghela napas panjang. "Apa dengan menabrakmu, kau mendadak bisu?"

"Atau kau sedang sariawan sehingga terus diam seperti itu? Come on! Setidaknya, bicaralah walau satu kata saja---"

"Diamlah!" kata Vanko penuh penekanan juga tatapan menusuk yang membuat Sachi sontak meneguk salivanya hingga habis. Sungguh, Sachi merasa otaknya mendadak korsleting saat berpapasan dengan paras yang membuatnya diam seribu bahasa.

Sachi tidak bisa membodohi dirinya sendiri di mana teman sebangkunya sangat tampan---seperti seorang pangeran.

"Kau tampan ...." katanya dengan senyum manis.

"Sachi Martinez, silakan naik dan kerjakan nomor 1."

Lantas penuturan Miss Ville, membuat Sachi sadar atas apa yang baru saja dikatakannya. Bahkan, saat ia harus menghadapi kenyataan di mana ia tidak bisa mengerjakan soal yang berada di papan tulis.

Otaknya edisi terbatas.

*****

Yang bikin para ciwi terpesona🙂termasuk authornya juga dungs😌🙈

Semoga terhibur yah manteman dan mampir juga diceritaku yang lainnya😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro