2. Kedatangan Hiko

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Garret mengatur napas, wajahnya pucat pasi. Namun, lawan bicaranya hanya tersenyum melihat reaksi Garret menatap dirinya.

Senyum yang membuat Garret, berkali-kali meneguk saliva. Keringat keluar dari pelipis kepala. Garret mencoba tenang, tapi gagal. Dia terlalu panik.

"Kenapa? Kaget?" tanyanya dengan nada mengejek. "Bro, bukannya kita teman? Santai aja," lanjutnya lalu tersenyum lagi.

"Mau apa, lo?" tanya Garret dengan suara bergetar. "Kenapa lo kembali?" tanya Garret lagi.

"Gue? Ini tanah kelahiran gue, wajar dong gue balik, iya nggak?" Cowok itu lagi-lagi tersenyum. Senyum yang paling menyebalkan bagi Garret.

"Mau lo apa?" tanya Garret mengulangi.

"Gue? Jelas, pengen kita kayak dulu lagi," jawabnya santai. "Ah, katanya lo udah jadi seleb sekolah, ya? Wah, jadi gampang dong gue menyesuaikan diri di sekolah besok, karena ada lo," ucapnya bersemangat. "Mohon bantuannya, ya."

"Apa? Di sekolah?" Garret semakin tak paham. Cowok bernama Hiko itu mengangguk cepat.

"Tentu, di sekolah kita," ucapnya mengulangi. "Tenang aja, gue udah lupa tentang fakta lo seorang ..." Ucapannya terhenti karena Garret maju satu langkah tepat di depannya.

"Jangan ganggu hidup gue, please. Kalo lo dateng cuma untuk mengatakan hal itu, mending pergi!" gumam Garret ketus. Sangat jelas jika suaranya bergetar. Dia menyembunyikan sikap ketakutannya.

"Santai aja, sih! Gue cuma pengen ada di dekat lo lagi, Bro!" Hiko berbicara dengan nada seperti orang mengejek.

Garret menghela napas kasar, berjalan kembali meninggalkan Hiko.

"Ah, jangan bilang kalo lo menghindar karena lo masih terbayang-bayang malam itu!" ujar Hiko sedikit berteriak. Garret tak mengindahkan ucapannya, cowok itu malah semakin jauh dengan Hiko.

"Sialan! Makin belagu aja tuh anak!" gerutu Hiko kesal. "Lihat, siapa yang akan menang kali ini," ujar Hiko sinis. Dia tersenyum kecut melihat punggung Garret yang semakin mengecil dan akhirnya menghilang dari pandangannya.

Tak selang beberapa menit, netra Hiko kembali melihat Garret dengan motor sport-nya meninggalkan pelataran sekolah. Cowok itu menghela napas, lalu tersenyum sinis.

____

Garret menjatuhkan tubuhnya tepat di atas tempat tidur. Dia terlihat cemas karena berkali-kali meneguk saliva, mengembuskan napas untuk mengatur pergerakan jantung yang berpacu layaknya motor milik Valentino Rossi.

Pikirannya melayang. Memikirkan lagi kemunculan Hiko hari ini.

"Buat apa dia kembali?" tanyanya lirih. Satu tangannya dia gunakan untuk menutupi kedua matanya.

"Bagaimana ini?" ujarnya lagi.

Seseorang membuyarkan pikirannya ketika dia membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Cowok itu menurunkan lengannya. Netra cokelat milik Garret langsung menangkap pemandangan di ambang pintu kamarnya.

"Karet!" Suara Grace menggema bak orang yang akan memaki.

"Karet?" Garret bingung, ia hampir saja membuat garis kerutan di dahinya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk.

Grace mengangguk cepat. "Kak Garret, kalo disingkat Karet. Jadi, nggak perlu buang tenaga manggilnya!" oceh Grace ketus. Kini tubuhnya sudah sempurna terlihat oleh Garret. Dia mengacak pinggang seolah-olah akan mengajak ribut.

Garret tersenyum kecut. Cowok itu menatap kembarannya aneh. Belum sempat menunaikan niatnya masuk ke kamar Garret. Namun,pemilik kamar bernuansa biru itu seolah tahu dengan kedatangan tamunya.

"Gue enggak apa-apa! Udah, mending lo sekarang turun, buatin minum buat pacar lo yang udah nunggu di bawah!" perintah Garret.

"Aish," gerutu Grace. Dia tampak kesal. Garret tak ingin diperhatikan, tetapi memang dia membutuhkannya.

Gadis itu selalu datang ke kamar saudaranya setelah melihat kejadian yang sama di sekolah tadi. Grace kembali menutup pintu kamar kakaknya dengan kuat. "Sejak kapan Ren jadi pacar gue!" gerutunya sembari menuruni anak tangga.

Ren yang sedari tadi menunggunya di ruang keluarga, kini berdiri saat melihat Grace turun dengan mulut yang sudah mengerucut.

Dia tersenyum. Sudah dipastikan Garret akan membuatnya kesal. "Kenapa?" tanya Ren penasaran. "Dia baik-baik aja, 'kan?" tebaknya.

Grace mengangguk, seraya berkata, "Nyesel gue selalu khawatir!" Grace membanting tubuhnya di sofa panjang berwarna cokelat. "Dia bilang baik-baik aja. Tapi, kenapa perasaan gue nggak enak," ucapnya.

Ren tersenyum, dia berkata, "Itu karena lo terlalu khawatir." Tangannya mengusap rambut Grace dengan lembut.

"Ren, kapan dia bisa bebas? Gue nyesel dulu nggak bareng dia, nggak nemenin dia saat dia mungkin butuh gue." Tatapan Grace menerawang. "Kalo aja gue tau kejadian yang sebenarnya, kalau aja gue nggak nurut sama perintah Nyokap buat tinggal sama Nenek, dan kalau aja gue selalu ngekorin dia, pasti nggak akan terjadi, kan?" tanya Grace menyesal.

"Udah lo nggak usah nyalahin diri lo gitu," ucap Ren. Dia merapikan rambut Grace yang berantakan. "Ah, karena semuanya baik-baik aja, gue balik." Grace hanya mengangguk pelan tanpa menoleh.

Ren berjalan menuju pintu depan. Ternyata Grace mengikutinya.

"Besok jemput gue, ya." Grace meminta. Ren mengangguk setuju, dia mengacungkan jempol.

"Siap Tuan Putri," kata Ren. Dia berjalan menuju motor matic yang terparkir.

Ren menyalakan mesin motor matic miliknya. Bersiap dengan menggunakan helm. Lantas menarik gas. Dia meninggalkan halaman rumah Grace. Setelah Ren benar-benar menghilang dari balik pintu gerbang, Grace kembali masuk.

Langit begitu mempesona karena kini tengah berwarna jingga. Ren menganggukkan kepala seiring musik yang dimainkan melalui earphone yang sedari tadi sudah sengaja dipasang. Dia juga ikut bernyanyi. Walaupun seperti itu, dia seperti sedang gundah. Namun, dia mencoba menahannya.

Entah kenapa tiba-tiba cowok itu meneteskan air mata, karena terkena angin, atau memang dia sedang dalam mood yang buruk. Ren membelokan kemudi motornya. Menepi saat tepat sudah di samping jalanan taman kota. Dia memarkir motornya lalu berjalan masuk, menelusuri jalanan beralaskan paving blok hingga sampai di suatu danau kecil yang sangat indah.

Warna air yang kehijauan, sangat tenang dan banyak sekali pepohonan yang membuat danau itu lebih indah.
Cowok itu duduk di bangku besi yang sudah usang. Menatap kosong air yang begitu tenang di depannya. Lagi-lagi air matanya menetes.

Dia menundukkan kepala. Emosinya meluap.

"Kenapa? Kenapa? Kenapa harus pergi!" Suaranya semakin melemah. Terlihat jelas emosi yang selama ini ingin dia ekspresikan. Namun, seperti tertahan. Hanya air mata yang bisa meredakan emosi itu. "Aku marah! Kenapa harus Garret? Kenapa?" Suara Ren tertahan. Dia terisak parah. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Maaf," ucapnya. Dia segera menghapus air matanya. Menenangkan diri, dengan berkali-kali menarik napas lalu membuangnya.

Ren menatap kosong air danau. Dia sama tenangnya dengan air itu.

"Raina sangat suka tempat ini," ujar seseorang dari belakang Ren. Sontak pemilik nama lengkap Narendra Erif Wijaya menoleh secepat kilat. Ia membulatkan matanya sempurna melihat sosok laki-laki yang sudah berdiri di belakang.

"Lo!" ujarnya tak percaya. Dia segera berdiri. Wajahnya benar-benar mengekspresikan bahwa dia tengah terkejut. "Lo ngapain di sini?" tanya Ren ragu.

Hiko tersenyum melihat Ren. "Apa kabar?" tanyanya santai. Ia mengambil posisi duduk di mana tadi diduduki oleh Ren.

Mata Ren terus menatap cowok itu dengan tajam. Dia tak habis pikir, jika dia muncul di depannya hari ini.

"Sejak kapan lo di Jakarta?" Pertanyaan itu muncul dengan spontan dari mulut Ren.

"Gue?" tanya Hiko. Dia tersenyum kecut. "Kayaknya lo nggak suka gue ada di sini," kata Hiko santai.

Alih-alih penasaran akan jawaban Hiko, Ren kembali melempar pertanyaan.

"Kenapa lo kembali? Semuanya udah baik-baik aja," ucap Ren ragu. Matanya masih menatap tajam Hiko yang cengengesan.

"Enggak, semuanya masih sama!" ujar Hiko tegas. Dia akhirnya berdiri. Menghadap Ren yang masih tak percaya bahwa dirinya kembali melihat Hiko.

Ren menatap Hiko tajam, lalu membuang jauh tatapan itu.

"Semuanya gue anggap impas. Lo tau kenapa? Karena setiap hari gue ngeliat dia terus ketakutan," ujar Ren.

"Gue pastiin, dia bakal lebih menderita dari apa yang dialaminya sekarang! Karena gue mau membalaskan dendam lo ke Garret!" ujar Hiko. "Tenang, gue pasti bakal bantu lo," katanya

Ren menggelengkan kepala cepat. "Enggak, kalaupun Garret bersalah, aku yang akan membalaskan dendam, dan lo nggak perlu ikut campur!" kata Ren tegas.

Sepasang mata keduanya bertemu. Seolah mereka melakukan percakapan hanya melalui tatapan tajam dari mata elang milik Hiko dan mata monolid milik Ren.

_______

Grace mengotak-atik remote TV. Dia tak berniat menonton serial di televisi. Namun, tak memiliki kesibukan karena sedari tadi Garret terus di kamarnya.

Grace sengaja menambah volume televisi itu sangat kencang. Agar Garret keluar. Perbuatannya benar-benar berhasil.

Garret membuka pintu dengan gusar.

"Bisa di kecilin nggak suaranya! Kayak orang budeg tau nggak," katanya sinis.

"Keganggu? Abis sepi banget! Gue jadi nggak ada temen buat ngobrol. Ya udah gue ngobrol aja sama TV," jawab Grace dengan santainya.

Garret mengembuskan napas. Dia mengalah, melangkah maju menuju Grace. Mengambil alih remote di tangan Grace dan duduk di sampingnya.

Garret mengecilkan volume suara itu, dan mengembuskan napas.

"Bukannya belajar, malah nonton TV!" tegur Garret ketus. Grace merasa tak terima dengan ucapan kembarannya itu.

"Hello! Yang harusnya belajar itu lo, Kak!" jawab Grace tegas. "Oke, lo emang jago di bidang olahraga. Tapi, tidak dengan mata pelajaran! Emang nanti masuk kuliah tesnya pake pelajaran olahraga?" kata Grace judes.

Garret tertawa. Dia mendorong kepala Grace seraya berkata, "Udah doyan ngomong! Pasti yang ngajarin Ren!" Garret menatap Grace sembari tersenyum kecut.

"Aish," gerutu Grace.

Keduanya lantas menatap layar televisi di depannya.

"Lo yakin nggak apa-apa?" tanya Grace membuka pembicaraan serius.
Garret menganggukkan kepala pelan.

"Kenapa? Apa lo nggak baik-baik aja?" tanya Garret. "Apa lo ngerasain lagi, apa yang gue rasain?" tanyanya lagi.

Grace mengangguk pelan. "Itu membuat gue tersiksa," kata Grace datar.

"Maaf," ucap Garret lirih.

Ponsel milik Grace bergetar. Sang pemiliknya segera mengambil ponsel yang terletak di meja depannya. Notif pesan masuk dari Ren.

Grace mengerutkan kening aneh. Lalu dia melirik ke arah Garret yang masih fokus pada layar televisi. Grace segera membuka pesan dari Ren.

-Hiko kembali ke Jakarta.- Isi pesan itu cukup membuat Grace terkejut. Dia segera menatap Garret lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro