lvl. 9 Sindrom Pemeran Utama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

29 Juli 2052, Kota Brigham - Frost Garden
________


Satu minggu berlalu semenjak kami terjebak di dalam Tyrant Saga. Namun, tidak juga kepastian untuk kami disampaikan. Yang kami tahu, tubuh kami di luar sana telah dirawat dengan baik dan dijaga asupan nutrisinya. Terima kasih berkat itu, sebagian dari kami bertahan hidup hingga sekarang.

Tidak ada raid ataupun pertarungan di wilayah manapun di dalam Tyrant Saga hingga saat ini. Seminggu kami tunggu kabar dan kepastian itu tidak pernah benar-benar datang. Sabar kami pun ada batasnya. Dan tidak perlu disebut, ada beberapa yang cukup bodoh untuk menganggap diri mereka adalah tokoh utama dan pergi seorang diri entah kemana. Kami mulai gila, tidak terkecuali aku. Jujur saja.

"Kamu yakin?" Akane bertanya padaku yang tengah sibuk mengetik di hadapan layar menu.

Di sisi lain Kota Brigham, jauh dari jurang yang menghubungkan Frost Garden dengan peta baru. Terdapat distrik di pojok kota yang semuanya bergaya Jepang sebelum perang dunia. Tidak ada pohon Sakura yang tumbuh, karena Frost Garden di sisi ini lebih seperti daratan Finladia yang berupa Tundra. Membuatmu berpikir, akan alasan mengapa pojok ini perlu ada. Meski terdapat daerah khusus di selatan yang serupa Asia Timur.

Aku pun mengangkat bahu sedikit, tidak meniatkan diri untuk mendongak ke depan. "Entahlah. Kenapa?"

Seorang NPC wanita berbalut kimono datang membawakan kami dua cangkir teh. Kemudian pergi agak terbata-bata karena kimono yang dikenakannya. Berbeda dengan pelayan NPC itu, Akane yang saat ini dan biasanya mengenakan kimono sebagai pakaian santai, memiliki opsi yang sedikit berbeda. Dia tidak mengenakan 'Obi' yang biasa melingkar di sekitar pinggang dan membuat kimono lebih ketat. Gayanya itu lebih seperti kimono yang biasa laki-laki pakai, dengan belahan kain yang sedikit lebih memanjang ke bawah. Sehingga, agak menampakkan perban yang ia kenakan di balik kimono itu.

Aku di lain pihak, tidak banyak mengenakan apa-apa yang menonjol. Hanya kemeja lengan pendek yang bawahannya kubiarkan lepas dan sepasang celana bahan gelap.

"Kupikir kamu sudah usai dengan urusan yang melibatkan banyak orang. Jika memang tidak ingin, kamu tidak perlu memaksakan diri." dia dengan santainya berkata tentangku seraya menyeruput teh.

"Kamu bicara seperti mengerti aku saja. Tapi, ya... Kamu memang benar. Aku sudah muak."

"Lantas?"

"Keadannya seperti ini dan aku tidak bisa hirau." surat yang kutulis selama setengah jam terakhir pun akhirnya jadi dan melalui fitur pertemanan, kukirim pesan itu ke Akane. "Bagaimana? Jujur saja, aku takut jika surat itu agak profokatif."

Akane membaca surat yang kukirim dengan bibir gelas masih menempel di ujung bibirnya. Sesekali ia seruput tehnya, sebelum kembali menatapku dengan tatapan dinginnya yang akhir-akhir ini membuatku terbiasa.

"Daichi-san dan Ruri-san tahu tentang ini?" tanyanya.

"Daichi-senpai justru yang menyarankanku tentang ini. Ruri-senpai pun pasti tahu dari dia entah kapan. Itu sebabnya aku mengajakmu untuk bicara."

"Tanpa Ritsu?"

"Dia sudah bangun?"

Bayang-bayang Ritsu yang tengah terlelap dalam pose mustahil pun terlintas dalam benak Akane selepas aku mengatakan itu, mungkin. Teh hijau pun kembali disisipnya.

Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya kami berdua benar-benar saling tatap dan mengobrol empat mata. Kami kerap kali saling menghujat dan bertentangan, tapi tidak jarang juga dia menjadi orang pertama yang sadar saat aku memikirkan sesuatu. Aku sendiri pun secara insting mengalihkan perhatianku padanya setiap kali dia muncul.

Aku tahu alasan dari segala tindakan konyolku itu terhadapnya, tapi aku tidak berniat terlalu memikirkannya. Selain itu, yang di sana pun belum tentu sejalan denganku. Bukan berarti aku takut. Hanya saja, memangnya pantas memikirkan hal seperti itu dalam keadaan ini?

"Hei..." itu dia, bersuara tanpa tahu tujuannya.

Akane pun mengangkat alisnya seraya berdehem. "Hm?"

Bodohnya diriku. "Tidak. Jika kamu pun setuju, surat ini akan kukirim ke para ketua guild besar di Tyrant Saga. Meski aku tidak bisa menjamin, mereka semua akan datang."

"Bagaimana dengan mereka yang di luar?"

Di luar itu... "Ah, pemerintah Jepang dan keluarga kita?"

Akane mengangguk.

"Aku pun berencana untuk menghubungi mereka. Tapi..." aku sendiri tidak tahu harus mengatakan apa ke mereka. Karena, aku sendiri tidak bisa menjamin diriku untuk selamat. "...ini bukan waktu yang tepat. Mungkin setelah kita usai dengan para ketua guild."

Akhirnya aku mencicipi teh yang jika di luar sana pastinya sudah mulai dingin. "Pahit."

***

Dari pada pulang langsung ke penginapan, kami memutuskan untuk mengambil jalan memutar. Waktu kami terlalu luang untuk di sini. Terima kasih berkat himbauan yang diberikan agar kami tidak terbunuh oleh monster virtual tertentu.

Tidak sedikit yang nampaknya sepemikiran dengan kami. Beberapa pemain menghabiskan waktu luang mereka untuk sekadar jalan-jalan atau menikmati kuliner di sekitar kota. Tentu, ini hanyalah kreasi ulang dari mimpi yang dirancang secara virtual, sehingga seberapa banyak pun kamu makan, kamu tidak akan merasa muak. Beberapa pemain memanfaatkan itu dengan menghabiskan sebagian uang mereka untuk makanan. Ide yang menarik. Aku harus mencobanya lain waktu.

"U-... Wah, menjijikan." Akane di lain pihak, tidak memiliki ketertarikan itu.

Aku yang berjalan di sebelahnya pun memalingkan pandang dari sekumpulan pria punya selera di restoran restoran yang dengan lahapnya memakan beberapa tumpuk roti lapis daging. Pasti enak.

"Kupikir itu menarik. Tidak menjijikan sama sekali." aku menyela tanpa ragu.

"Hah?"

"Habisnya, begini. Kalau kamu bisa makan apa saja tanpa perlu khawatir perutmu meledak, bukannya itu luar biasa? Cobalah ganti tumpukan makanan babi itu dengan sesuatu yang kamu suka."

Mata Akane nampak menyipit padaku. Tapi untuk beberapa saat setelahnya, ia palingkan seraya berdecik. Aku pun menarik senyum puas.

"Jangan bercanda." ujarnya seraya mempercepat langkah.

Ah, sial. Dia marah. "Hei hei... Jangan mudah marah begitu, bisa kan?" tawaku lepas sedikit. Lagi pula, apa yang dia bayangkan sampai sentimen seperti itu?

Ketika aku berniat menyamakan langkah kami kembali, Akane terhenti di depan gerbang kota dan melihat keluar. Aku secara reflek pun mengikuti arahnya melihat.

Daratan Frost Garden yang sedikit ditumbuhi flora dan berselimutkan salju tipis tidak selalu sesepi ini. Biasanya karafan para pemain berlalu lalang bersama dengan beberapa monster yang terkadang mengejar mereka. Kini, dengan dilarangnya kami untuk bertarung sementara waktu, para monster berkeliaran seperti makhluk tak berotak.

Ada pergerakan yang ganjil di jarak yang agak jauh. Debu virtual berterbangan seperti terhempas hentakkan kaki. Dua sosok berwujud manusia nampak saling bertarung. Dari jarak ini, aku tidak bisa mematikannya dengan tepat, tapi yang pasti adalah seorang pemain berkelas knight dan monster tingkat menengah, wandering knight.

"Bodoh kah?" gumamku melihat itu.

Peralatan yang dikenakan pemain itu tidak salah lagi, berada di kelas level atas. Aku dapat menjamin dia seorang pemain yang handal dari caranya bertarung dan opsi dia dalam senjata serta zirah. Hanya saja, dia seharusnya tahu kita masih dihimbau untuk tetap diam. Dan justru dengan cerobohnya menyerang monster secara asal.

"Kamu pikir dia akan menang?" tanya Akane.

"Ya. Dia nampaknya kuat walaupun begitu. Hanya saja, wandering knights itu memiliki defense yang luar biasa tinggi. Jika dia tidak bisa menumbangkan monster itu dengan cepat, monster lain akan datang dan mengacaukan perhatiannya."

"Haruskah kita bantu?"

Aku hanya mengangkat bahu. Entah kenapa aku kurang suka dengan tindakan ceroboh pemain itu. Mengingatkanku pada seseorang yang main terobos begitu melihat boss pertama game kematian muncul.

"Saku (咲く/mekar)." zirahnya terpakai seketika ia berucap.

"Aku tidak akan membantu." tegasku pada Akane.

Maaf, jika diri ini egois. Dia yang di sana, aku yakin dia bisa selamat dan kembali dengan raut puas. Tipikal pemeran utama yang berpikir, jika hal ceroboh yang dilakukannya itu benar. Dan lebih memilih menyendiri untuk lebih kuat. Sayangnya tidak semua kenyataan dapat dihadapi seperti itu. Sekalipun di dunia virtual ini, kamu harus lebih dari sekadar kuat untuk selamat.

"Tidak apa." dia melirik ke arahku seraya tersenyum. Di saat benakku tengah gelap-gelapnya, ia justru menampakkan satu hal yang selama ini jarang kulihat. Curang. "Aku ingin mencoba ini. Jadi, aku permisi."

Akane berlari seraya menggenggam erat Kiku-ichimonji yang tersaru good di pinggangnya. Dia yang rambut hitamnya berkibar menjauh dariku. Bunga di medan perang, jika sastrawan boleh berkata. Dalam sekilas, membuatku sadar dan bercermin akan apa yang baru saja kupikirkan.

***
30 Juli 2052, Kota Brigham - Frost Garden

Dia seorang laki-laki, knight dengan level. 90, setara aku dan Daichi. Akane bilang namanya Shinji, ditulis dengan kanji percaya. Dari yang kulihat di kejauhan, dia memiliki gaya rambut tipikal pemeran utama. Hitam dengan poni tiga sisi. Dan ketika Akane bertanya akan alasannya bertarung walaupun sudah dihimbau, ia pun menjawab dengan nada serius.

"Aku telah muak berdiam di sini saja. Tidak akan kubiarkan diriku terjebak di sini." begitu, selayaknya pemeran utama.

Yang paling membuatku risih adalah, meski dari jauh, aku bisa melihat Akane terkekeh sebelum akhirnya berlari kembali padaku.

Ini sudah besok, berarti masalah kemarin harusnya sudah selesai. Hanya saja, yang mengganjal tetap saja ada. Dan aku tidak tahu kenapa dan bagaimana menghidangkan itu. Jawaban dari para ketua guild pun sudah kuterima, mereka menerimanya dengan tangan terbuka dan aku pun bersyukur. Aku seharusnya senang karena itu semua, tapi tetap saja seperti ada yang berat di dalam sini. Ini hari rapat perdana persatuan ketua guild akan dimulai, jadi aku harus segera menyisihkan perasaan ini sesaat.

Kadang angin berhembus tanpa memberi kabar. Begitu pula kehadiran seseorang kala kamu terjebak di ruang lingkup yang padat. Memang kemungkinannya begitu kecil, tapi bukan berarti tidak mungkin sama sekali. Ketika aku baru hendak keluar dari penginapan, sosok itu hadir begitu saja.

Username, @.shinji tanpa embel-embel. Berzirah lengkap, walaupun berada di dalam zona aman. Menatap lurus ke pintu masuk dengan amat serius, seperti akan menghadapi boss terakhir. Kami saling berukar pandang untuk sesaat, sebelum akhirnya ia buka mulut lebih dulu.

"Anu. Kudengar... Akane-san tinggal di sini. Apa benar?"

Sekilas itu juga aku paham. Bodohnya aku mengelebui diri sendiri dengan asumsi-asumsi yang dibuat-buat. Sejak awal, sudah kuakui akan alasan kebodohanku ketika berada di sekitarnya. Dan saat sadar, jika bunga terindah akan menarik lebih dari satu lebah. Aku pun terdiam dan mengutuk diriku sendiri.

___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro