Chapter 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : kurome_hiyoshi6


Minerva terbangun di atas tempat tidur yang terbuat dari bambu. Bau apek dan obat-obatan menguar di udara. Matanya menatap langit-langit yang banyak mengelupas dan terdapat bercak kekuningan.

Napasnya terasa berat dan kepalanya berdenyut-denyut. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang tampak asing. Cat dindingnya mulai mengelupas dan berlumut. Seakan-akan sudah ditinggalkan penghuninya bertahun-tahun. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela memaksanya untuk menyipitkan mata.

Minerva menarik lepas selimut yang melilitnya, lalu berusaha untuk bangkit. Sakit kepala hebat langsung menyerangnya saat ia mencoba duduk. Memaksanya untuk kembali berbaring.

Ia mengerang dan mengutuk para elf yang membuatnya seperti ini.

Bunyi derit kayu yang bergesekan dengan lantai membuatnya terkesiap.

"Enfil?" tanyanya dengan suara serak dan parau.

Seorang pemuda bersurai hitam berdiri dengan semangkuk sup yang mengepulkan uap. Aroma sedap menusuk indra penciuman, membuat Minerva menelan ludah dengan susah payah. Pemuda itu meletakkan mangkuk sup itu di atas meja.

Seekor anjing siberian menggonggong kecil di depan pintu. Bulunya yang biasanya tampak lembut berubah menjadi kusut. Hati Minerva semakin mencelos ketika melihat Enfil berjalan pincang. Ia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi hewan peliharaannya.

Minerva kembali berusaha mendudukkan dirinya. Kali ini ia berhasil melakukannya. Ia melawan rasa sakit yang menghujam setiap persendian. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang.

"Siapa kau?" Alis Minerva menukik tajam. Dahinya berkerut. Seingatnya, ia tidak pernah mengenal ataupun bertemu dengan pemuda tersebut.

Pemuda itu mendongak. Tampan dan dingin. Itulah kesan pertama yang ditampilkan. Raut wajahnya datar, tidak menunjukkan ekspresi apapun. Minerva menebak jika umur si pemuda kurang dari dua puluh tahun. Ia mengenakan mantel berwarna cokelat yang tampak kumal.

"Siapa kau?" Minerva kembali mengulang pertanyaan tadi. Matanya menatap penuh selidik.

"Kei."

Kei. Nama yang indah. Minerva berharap pemuda tersebut juga seindah namanya.

"Aku ada di mana?" tanya Minerva. "Kenapa aku ada di sini?"

Kei terlihat enggan menjawab. Ia mengambil gelas dan menuangkan minuman yang beraroma obat-obatan.

"Di rumah lamaku," katanya datar. Ia juga menyodorkan gelas itu ke Minerva. "Ambil dan minumlah. Minuman itu adalah obat herbal. Aku sendiri yang meraciknya."

Minerva mengernyit. "Rumah lama?"

"Perkampungan penyihir bagian barat."

Minerva terdiam. Seingatnya perkampungan penyihir yang ditunjukkan oleh pasir waktu sudah musnah. Kebanyakan bangunannya sudah berubah menjadi puing-puing. Hanya ada beberapa yang masih berdiri tegak. Meski dindingnya tampak hitam karena terbakar dan atap yang sudah tidak utuh lagi.

Kei berdecak. "Tidak semua perkampungan penyihir berubah menjadi puing-puing," jelasnya. "Sebelum pasukan elf datang menyerang ke kampung ini, para penyihir barat melarikan diri setelah mendengar kampung tempat tinggal kepala desa diserang. Meski begitu, para elf berhasil menyerang kami dalam perjalanan. Korban jiwa banyak berjatuhan."

"Berapa orang yang masih bertahan hidup?"

Kei memalingkan wajah. Terdiam.

"Berapa lama aku pingsan?" tanya Minerva, mencoba mengalihkan topik.

"Dua hari."

"Dua hari?" Minerva tertegun.

Dua hari bukanlah waktu yang ideal untuk tetap berdiam diri. Ia sudah cukup mengulur-ngulur waktu untuk mencari benda pusaka yang tersisa. Bagaimana jika para elf mendapatkannya terlebih dahulu? Apakah mereka akan melakukan sesuatu yang buruk dengan benda itu? Minerva mendesah. Mengeyahkan pikiran konyolnya.

Sambil menahan rasa sakit ia bangkit dari tempat tidur. Kakinya menyentuh lantai keramik yang dingin. Pakaian yang dikenakan masih sama saat ia jatuh pingsan. Minerva kembali meringis. Ia butuh obat untuk mengurangi rasa sakit.

"Hei!" Kei berjalan menghampiri Minerva setelah kembali meletakkan gelas yang masih penuh minuman obat herbal di meja. Nada suaranya penuh peringatan. "Tubuhmu masih lemah. Kau jangan terlalu banyak bergerak, bodoh."

Pelipis Minerva berkedut kesal. Ia tidak suka jika seseorang yang tak dikenal memanggilnya dengan sebutan bodoh. Sambil berpegangan pada dinding, Minerva menghela napas dan mengabaikan perkataan Kei. Ia harus segera melanjutkan pencarian benda-benda tersebut.

Kamar tidur yang ditempati Minerva tidak seluas kamar tidur di panti. Perabotannya hanya terdiri satu ranjang tempat tidur, lemari pakaian berukuran sedang, serta sebuah meja kayu rendah dan kursi di samping ranjang. Tirai jendela berwarna merah terlihat kusam dengan debu.

Sebelum sampai di sebuah pintu, Kei memegang tangan Minerva erat. Menahannya untuk melangkah lebih jauh. Saat itulah Minerva menatap langsung ke dalam sepasang manik kelam. Tubuhnya membatu seketika. Terbius oleh pesona langit malam tanpa bintang.

"Bisakah kau melepaskan genggaman di tanganku?" bisik Minerva. "Kau menggenggam tanganku terlalu erat."

Kei menatap Minerva dengan sorot mata bersalah. Kemudian ia melepaskan genggaman tangannya.

Minerva tersenyum kecil. Dengan jarak yang begitu tipis ia bisa melihat jelas wajah pemuda tersebut. Kei memiliki rahang yang tegas dan berkulit putih pucat. Postur tubuhnya tinggi seperti seorang atlet. Matanya memiliki sorot yang tajam. Sangat berbeda dari pemuda yang dikenal Minerva selama ini.

Pemuda itu penuh dengan karisma.

"Kenapa kau mencegahku? Seharusnya kau membiarkan aku pergi. Jadi, kau tidak perlu repot mengurusku lagi." Minerva mendengus. Tubuhnya kembali bergetar dan mengeluarkan keringat dingin. "Lagi pula, aku juga punya urusan yang harus diselesaikan."

"Kembalilah ke tempat tidur. Kau masih perlu beristirahat." Kei mengacuhkan perkatannya. Ia kembali bersikap seperti sebelumnya. Seakan-akan perkataan yang terlontar dari mulut Minerva tidak berarti apa pun.

"Kenapa kau bersikap seperti ini?" Mata Minerva menyipit. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding. "Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu peduli padaku? Apa yang sebenarnya kau rencanakan?"

"Istirahatlah. Kemampuan sihir penyembuhanku terbilang sangat jelek dibandingkan penyihir lain. Aku tidak bisa menyembuhkanmu dengan cepat. Beruntung aku pernah belajar membuat ramuan herbal." Kei menunjuk segelas penuh minuman herbal dan semangkuk sup di atas meja. "Jangan lupa untuk makan dan minum yang sudah kusediakan di meja."

Minerva terperangah. Ia tidak menduga kalau Kei kembali mengacuhkan perkataannya. Namun, yang dikatakan Kei memang benar. Ia perlu beristirahat. Tubuhnya masih terasa lemas. Jika terus memaksakan diri, ia bisa ditangkap dengan mudah oleh pasukan elf.

Ia melirik minuman di atas meja. Matanya memicing tajam. Seakan-akan bisa mendeteksi komposisi minuman tersebut.

"Apakah minuman itu aman? Bagaimana jika kau memasukkan sesuatu untuk meracuniku?" tanya Minerva penuh selidik.

Kei mendengus kecil. "Jika aku berniat membunuhmu, kau sudah kubunuh saat tidak sadarkan diri, bodoh."

"Jangan memanggilku bodoh," tukas Minerva tersinggung.

"Hm?" Kei mengangkat salah satu alisnya. "Kau tidak memberitahukan namamu padaku. Bukan salahku jika aku memanggilmu dengan sebutan yang kusuka."

"Silvanus." Minerva menggeram kesal. "Kau bisa memanggilku Silvanus."

Kei menatap Minerva tanpa minat. "Nama yang aneh."

Minerva tidak menjawab.

"Kalau begitu," Kei menyambar gelas di atas meja dan kembali menyodorkannya pada Minerva, "minum dan beristirahatlah."

Minerva mengambil gelas itu dengan terpaksa, lalu meminumnya. Seketika rasa pahit menyecap indra perasanya. Ia mengernyit. Ini adalah minuman terpahit yang pernah diminum oleh Minerva. Dengan susah payah ia melawan rasa pahit itu sampai gelas tersebut kosong.

Kelegaan dirasakan Minerva saat ia berhasil menghabiskan minuman tersebut. Tanpa bersuara ia berterima kasih kepada kekuatan apa saja yang telah menolongnya untuk menghabiskan segelas minuman pahit itu. Setelah melirik sekilas Kei yang menyiapkan tumbukan daun-daun kering, ia menghela napas dan berjalan ke sebuah kursi kayu.

Ia terpaksa memercayai pemuda tersebut untuk saat ini.

Gonggongan kecil menarik perhatian Minerva. Enfil menggesekkan bulunya di kaki sang majikan, lalu bergelung. Minerva merasa bersalah karena mengabaikan kehadiran anjing itu beberapa menit yang lalu. Ia berjongkok dan mengelus pelan bulu milik Enfil.

"Enfil, apa menurutmu Kei bisa dipercaya?" tanya Minerva lirih. "Aku ingin mempercayainya, tapi hatiku berkata tidak."

"Ikuti saja kata hatimu, Silvanus." Enfil menyamankan dirinya untuk dielus sang majikan. "Untuk sementara ini kita jangan saling berkomunikasi. Tidak ada yang boleh tahu kalau aku bisa berbicara dan melakukan sihir. Beruntungnya Kei masih belum sadar aku bukan anjing biasa. Jika dalam keadaan mendesak, cobalah untuk bertelepati. Kau mengerti, Silvanus?"

"Baiklah."

Minerva mengangkat tubuh Enfil, menggendongnya. Ia duduk di kursi yang tampak rapuh. Seketika kursinya berderit dengan suara nyaring. Minerva meringis. Merasa takut jika kaki kursi itu tiba-tiba patah karena tidak kuat menahan beban tubuhnya.

Kei berjalan ke arahnya dengan membawa tumbukan daun-daun kering. Kemudian berdiri di belakang Minerva.

"Buka bajumu," perintah Kei.

Minerva membalikkan badan. Bola matanya membesar mendengar perkataan Kei. Tidak percaya. Berbagai spekulasi negatif langsung menghantui pikirannya. Apa pemuda tersebut mau melakukan adegan dewasa?

"Buka bajumu, bodoh!" Kei memicingkan matanya tajam.

Minerva menyilangkan tangannya di dada. Ia berusaha melindungi tubuhnya dari cowok kulkas yang memiliki libido tinggi. "Aku tidak mau. Dasar cowok mesum!"

Kei menjitak kepala Minerva. "Kau pikir aku mau melakukan apa, bodoh? Cuci otakmu yang berpikiran kotor. Lagi pula aku bukan penyuka sesama jenis." Ia mendecakkan lidah. "Aku mau mengobati luka di punggungmu. Hadap depan dan buka bajumu bagian belakang!"

Minerva menunduk malu. Semburat merah mewarnai pipinya.

Ia duduk membelakangi Kei di kursi. Membiarkan pemuda itu menempelkan tumbukan daun-daun kering pada lukanya. Walaupun tubuhnya masih terasa kaku, namun luka itu hanya terasa seperti disengat serangga setiap kali ia bergerak.

Kei mengatakan luka itu akan sembuh perlahan. Berhubung ia tidak bisa sihir penyembuhan, hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membuat luka Minerva menutup. Meracik obat dari tanaman herbal. Ini adalah metode pengobatan tradisional yang diturunkan oleh nenek atau kakek buyutnya. Setidaknya luka itu akan sembuh sepenuhnya dalam kurun waktu lima hari.

Namun, Minerva tidak memiliki waktu sebanyak itu. Ia harus bertindak cepat. Menemukan pusaka yang tersisa.

"Kei!" Minerva memanggil pemuda itu ketika membereskan sisa obat-obatnya.

"Apa ada yang kau perlukan lagi?" Kei menatapnya datar.

"Apa kau tahu kotak cokelat gelap dengan garis tepi berwarna emas?"

Kei mendongak. Raut wajahnya yang biasanya tenang kini berubah serius. "Aku menyimpannya dengan sihir ruang." Ia mencondongkan tubuhnya dan berbisik. "Lihatlah di tangan kirimu itu, ultima fetus."

Sontak Minerva bangkit berdiri. Ia mundur selangkah. Matanya menatap lama manik kelam milik Kei. Sampai pemuda itu memutuskan kontak dan berjalan ke luar kamar.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro