Chapter 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : AlvinaZefanya

“Ada apa, Enfil?” panggil Minerva sembari duduk berlutut di lantai dingin jalan keluar dari gua, dekat dengan tubuh Enfil. “Apakah kau merasakan tanda-tanda datangnya musuh?”

Anjing Siberian Husky itu tiba-tiba bangkit berdiri dan menggeram. Minerva seketika panik. Ia tahu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Cepat bangunkan Kei dan anak itu. Kita harus meninggalkan tempat ini sekarang!” perintah Enfil melalui telepati yang menghubungkan pikiran Minerva dengan Enfil.

Tidak membuang waktu lama, Minerva lekas berlari menuju tempat tidurnya tadi. Ia membangunkan Kei yang tertidur amat pulas. Minerva mengguncang-guncangkan keras  bahu Kei hingga dia tersentak bangun.

“Erhh ... ah ... Apa?!” Kei mendudukkan diri dan mengucek-ngucek matanya. Minerva dapat melihat kantung hitam yang melingkari kedua mata Kei. Sepertinya pemuda itu kurang tidur.

“To-tolong dengarkan aku dulu ... baru saja aku mendapatkan mimpi buruk dan Enfil sekarang menggeram entah karena apa di jalan keluar gua. Aku punya firasat terjadinya sesuatu yang buruk. Kita harus meninggalkan tempat ini sekarang!” Minerva mendesak Kei untuk bangun dan memeriksa sesuatu di luar gua.

“Mengapa bukan kau saja yang memeriksa?  Persetan dengan firasat dan mimpi burukmu!” bentak Kei kesal. Pemuda itu langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan tidur meringkuk.

Tiba-tiba suasana hening itu dipecahkan oleh gonggongan Enfil yang terus-menerus.

“Sial! Apa yang terjadi dengan anjing sialan itu?!” kata Kei sembari mengepalkan telapak tangannya. Dia berusaha menahan amarah.

“Apa ku bilang? KITA HARUS PERGI!” teriak Minerva. Rasa takut dan kemarahan meledak-ledak dalam diri Minerva. Ia bahkan tidak sadar bahwa teriakannya membangunkan Kenneth yang terlelap.

“Ada apa?” tanya Kenneth.

Minerva tidak menjawab pertanyaan Kenneth. Tanpa basa-basi, di ambilnya ransel dan menjejakkan langkah ke tempat Enfil.

“Baiklah ....” Kei menggeram. Mau tidak mau, dia bangun dan meraih ranselnya yang dijadikan sandaran kepala. Dia mengalungkan ransel itu di punggungnya dan mengikuti Minerva pergi. “Huh ... berat sekali,” katanya sambil menjejakkan kaki.

Kenneth tertinggal di belakang. Dia hanya berdiri diam menatap Kei pergi. Seolah sadar dirinya sedang di tatapi, Kei menoleh ke belakang. “Kau mau pergi atau tetap melongo di situ, dasar bodoh!” maki Kei.

“Erhh— kaki kananku kaku, susah sekali di gerakkan. Kau pergi saja. Aku hanya ingin meregangkan kakiku sebentar,” kata Kenneth kemudian mulai memijat kaki kanannya.

Kei mengerlingkan mata menatap tajam Kenneth lalu membalikkan badan. “Dasar cecunguk bodoh.”

Kenneth terus memijat kakinya sampai keberadaan Kei jauh dari pandangannya. Setelah dirasa aman, kemudian pemuda itu menghentikan pijatannya dan berdiri bersedekap. Kenneth mengeluarkan seulas senyum culas. Rasa bangga dan kemenangan begitu menggebu-gebu dalam relung dadanya. “Terima kasih kepada para teman elf-ku atas rencananya yang luar biasa. Tidak ku sangka dapat menjebak mereka semudah itu.”

⚘⚘⚘

Minerva telah sampai di tempat Enfil. Dia berlutut dan segera menenangkan anjing itu yang terus menggonggong. “Tenang Enfil. Apa yang kau mau? Aku sudah membangunkan mereka dan mengambil ransel. Kita akan meninggalkan tempat ini segera.” Minerva memeluk dan mengelus surai keemasan Enfil.

“Jauh dari perkiraan semula. Kita sudah terkepung!” Enfil membebaskan diri dari pelukan Minerva berlari ke luar gua.

“Hei ... tunggu!” Minerva menjerit takut. Minerva kini sendiri di jalan keluar menuju gua itu. Keberaniannya lenyap seketika. Minerva menyeret kan kakinya keluar gua dengan putus asa. Tidak ada lagi harapan jika sudah terkepung musuh.

Minerva akhirnya sampai di luar gua. Dia melihat Enfil berdiri di tanah di dekat gua dengan sekumpulan .... “Oh tidak ... apa-apaan ini?” Minerva dapat merasakan jantungnya berhenti berdetak. Ia melihat hutan lebat di kejauhan sana terbakar di lalap kobaran api. Angin berembus membawa bau kayu terbakar. Asap tebal membubung tinggi ke angkasa. Tidak hanya itu, pohon-pohon besar yang tadi menancap di tanah kini hidup dan berjalan. Mereka bahkan mengamuk! Enfil berusaha melawan serangan mereka dengan mantra-mantra sihir.

Lutut Minerva lemas dan ia jatuh berlutut. “Monster pohon yang diceritakan Kei. Mereka sangat banyak. Tidak mungkin ....”

“Ini bahaya yang kau maksud? Tidak mungkin ada kebakaran hutan dan serangan monster dalam skala besar dengan tiba-tiba. Monster pohon tidak akan menyerang jika tidak di usik. Bagaimana bisa kita selamat sekarang,” ucap Kei di belakang Minerva. Pemuda itu baru saja sampai ke luar gua dan tertegun melihat apa yang terjadi saat ini. Dia melorotkan tas yang dipanggulnya hingga jatuh dengan suara berdebum  di tanah.

“Kau bermaksud kalau ada seseorang yang sengaja membuat kekacauan ini? Untuk mencelakakan kita?!”

“Elf!” desis Kei geram. “Kita telah masuk dalam jebakan mereka.” Rahang Kei berkedut. Pemuda itu sangat-sangatlah murka.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Minerva ketakutan.

“Lawan!” ucap Kei sembari mengeluarkan dua bilah belati tajam dan panjang dari ranselnya. Kei berlari ke arah monster pohon terdekat setinggi 3 meter dan menyerang secara membabi buta. Kei memotongsulur-sulur tanaman yang hendak melukainya.

Monster pohon itu mendesis ketika belati tajam Kei memutuskan sulurnya. Monster itu mengamuk dan menyabetkan sulurnya ke tubuh Kei. Sebelum sulur itu menggores kulitnya, Kei berkelit menghindar. Dia melompat ke belakang lalu maju mengayunkan belatinya ke kaki monster saat monster itu sedang lengah. Kei berhasil memutus kakinya!

Monster itu terjatuh dan meraung. Tetapi Kei tidak pandang bulu, pemuda itu menancapkan belatinya ke bagian kepala monster itu dimana terletak inti kehidupannya. Monster itu menjerit melengking. Lengkingannya sangat keras hingga Minerva terpaksa menutup kedua telinganya.

Beberapa detik kemudian, Minerva sudah tidak mendengar suara itu. Dia menatap Kei yang mencabutkedua belatinya dari kepala monster itu. “Apakah monster itu sudah mati?”

“Mati dan tidak akan hidup lagi,” ucap Kei. “Tetapi kabar buruknya, kita kedatangan tamu yang lain.” Kei menoleh ke sekumpulan monster yang berjalan mendekat ke arah mereka.

“Oh tidak ... suara lengkingan monster tadi mengundang mereka semua. Apa yang harus ku lakukan?” ucap Minerva susah payah.

“Tolong bantu aku melawan mereka. Aku tidak bisa sihir penyerang dan tidak bisa melawan mereka sendirian.” Kei mengungkap kelemahannya dengan pasrah. “Aku bergantung pada dirimu.”

“Ta-tapi ... aku tidak tahu harus bagaimana.” Mendadak muka Minerva memerah saat mendengar perkataan Kei. Minerva segera menepuk-nepuk pipinya dengan harapan pipi memerahnya akan segera hilang.

“Buku sihirmu, dasar bodoh!” kata Kei cepat kemudian kembali menyerang monster pohon yang datang pertama.

Buku sihir! Betapa bodohnya diriku yang melupakan buku itu. Gumam Minerva sembari membuka ranselnya. Ia memasukkan tangannya dan merogoh mencari buku sihir. “Haa!” Minerva mendapatkan apa yang dicarinya. Di bukanya lembaran-lembaran kertas buku itu. “Mantra penyerang ... Aorve Eletrenical!”

Dari jari-jari tangan Minerva keluarlah kilat-kilatan listrik berwarna putih. Minerva mengarahkan jarinya ke sekumpulan monster di belakang Kei, siap untuk diledakkan. “Kei awas!”

Kei melompat ke belakang dan menghindar tepat waktu. Minerva meledakkan listrik berkekuatan tinggi ke arah mereka.

Duar!!

Kilatan listrik menyilaukan mata Minerva. Ia refleks menutup matanya. Beberapa saat kemudian, indra penciumannya menangkap bau sesuatu. Perlahan Minerva membuka matanya dan terperangah. “Apakah aku yang melakukan itu? Luar biasa!”

“Sihir yang hebat Silvanus.” Kei mengakuinya. Dibandingkan dengan Minerva, dirinya tidak ada apa-apanya. “Dan kuharap kau tidak meledakkan diriku juga dengan sihir ....”

Sekumpulan monster itu kini runtuh terbakar. Lengkingan pilu kesakitan terdengar dari mulut para monster itu. “Aku tidak suka suara mereka. Aorve Eletrenical!” Sekali lagi Minerva meledakkan listrik untuk menghentikan lengkingan tidak mengenakkan mereka. Setelah itu, Minerva bangkit dan melangkahkan kaki menuju ke tempat Kei berdiri. Minerva segera memeriksa keadaan Kei dan menyembuhkan luka-luka sayatan di sekujur lengan Kei.

Rejuvenatio!” Luka di lengan Kei segera pulih, tetapi sebagai gantinya Minerva menjadi terengah-engah kelelahan. Efek penggunaan sihirnya mulai bekerja ....

“Terimakasih Silvanus. Sebaiknya kita harus segera pergi dari tempat ini sebelum di bunuh hidup-hidup oleh para monster. Dan satu lagi ... di mana cecunguk bodoh itu?” Kei mengalihkan pandangannya ke gua. “Aku tidak melihatnya keluar.”

“Mungkinkan dia takut dan bersembunyi di gua? Akuakan memanggilnya,” kata Minerva lalu melangkah ke dalam gua. Tetapi baru beberapa langkah ke sana, Minerva merasakan lengannya ditahan oleh sesuatu.

“Kau tetap disini. Biar aku saja yang memanggil bocah itu,” kata Kei.

“Ta-tapi ....” Minerva melayangkan pandangannya ke tangan Kei yang menahan lengannya.

“Kau tetap disini untuk berjaga-jaga. Aku hanya sebentar. Kau ... bersama anjingmu,” kata Kei tidak ingin dibantah. Minerva hanya bisa mengangguk dan diam saat Kei melewatinya menuju gua.

“Sudah saatnya Kei tahu ....” Enfil mendekatkan diri ke Minerva.

“Siap-siap saja di interogasi oleh Kei. Aku dapat melihat raut wajahnya yang dipenuhi kebingungan. Lalu Enfil, menurutmu apakah Kenneth harus tahu tentang ini juga?”

“Tetap rahasiakan semuanya, Silvanus. Aku merasakan aura elf jahat dari dirinya—”

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro