Chapter 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : Aelvin dan Zulfa_Fauziyyah

"Kau tidak tidur, Silvanus?"

Minerva menoleh dan mendapati salah seorang kakak pembina yang baru saja menegurnya. Ia menggeleng pelan dan menjawab, "Tidak bisa tidur, Kak." Lalu, ia kembali mengawasi sebuah titik di dalam kegelapan hutan. Tepat arah jam 2.

Ia yakin! Yakin sekali bahwa ada seseorang yang mengawasinya dari sana. Ia ingin berjalan ke sana, tetapi ketakutan menghalangi niatnya. Akan lebih baik jika ia pergi ke sana saat hari mulai terang, pikirnya.

"Apa yang kau lihat di arah jam 2 itu?"

Menggeleng pelan. Minerva mengelak, "Tidak! Tak ada apa pun di sana." Sial baginya, suaranya terdengar gugup dan panik bahkan untuk telinganya sendiri hingga membuat kakak pembinanya mengerut heran. Ia merutuki kebodohannya.

"Maaf, Kak. Saya permisi." Akhirnya ia pun memutuskan untuk melarikan diri daripada membuat kebodohan lain lagi.

"Kenneth!"

Minerva menghentikan langkahnya dan menoleh. Sang kakak pembina yang terkenal galak itu tersenyum ramah. "Hah?"

"Panggil saja aku dengan namaku. Jangan 'Kak'. Tidurlah! Besok kau harus bangun pagi. Kita akan menjelajahi hutan ini," jelas Kenneth, lalu bangkit dari duduknya dan patroli memantau keadaan.

"Selamat malam, Kak Kenneth!" ucap Minerva sebelum masuk ke dalam tendanya. Malam itu, sebelum benar-benar terlelap, ia memutuskan akan mencari tahu mengenai anjing Siberian Husky yang belakangan ini mengganggu pikirannya. Ia yakin, makhluk yang mengawasinya dari arah jam dua tadi adalah anjing itu lagi.

***

"Silvanus! Bangun! Sudah pagi!" Minerva merasakan ada yang mengoyang-goyangkan badannya dengan kasar. Ia merenggangkan badannya sejenak, lalu menatap sekeliling dengan bingung. Ini bukan kamarnya! Lagi pula, orang yang membangunkannya bukanlah teman sekamarnya di panti.

"Kita sedang camping! Kau tak lupa, 'kan?" tanya pemuda di depannya itu membuatnya menepuk jidat pelan. Ia meringis melihat pemuda itu mendelik tak percaya. "Cepatlah! Kita sudah tak punya waktu lagi! Tinggal 5 menit sebelum semuanya dikumpulkan untuk memulai kegiatan pertama."

Sontak Minerva melompat dari tempatnya dan berlari menuju sungai untuk mencuci mukanya. "Dasar! Bagaimana bisa mereka begitu tega tak membangunkanku? Sungguh keterlaluan!" keluhnya sembari berlari kecil menuju tenda. Dari jauh dilihatnya para kakak pembina sudah berteriak-teriak seolah kebakaran jenggot lantaran kelompoknya masih belum lengkap.

"Telat bangun, eh?"

Hampir saja Minerva terjengkang kebelakang saat mendengar suara Kenneth. "Maaf, Kak!" Ia segera berlari menuju kelompoknya.

"Sudah lengkap semuanya?" tanya Kenneth yang langsung dijawab dengan suara koor.

"Bagus! Bagi kelompok kalian menjadi dua kelompok kecil. Satu kelompok untuk mengambil kayu bakar dan satunya lagi untuk mengambil air di sungai! Cepat! Saya mau, satu jam dari sekarang kalian sudah kembali ke kelompok kalian dan menyiapkan sarapan. Mengerti?" titah Kenneth yang lagi-lagi dijawab dengan suara koor kompak.

"Begini saja, tiga orang masuk ke dalam hutan untuk mengumpulkan kayu bakar dan empat lainnya mengambil air di sungai. Yang ingin masuk ke hutan berdiri di sebelah kananku, dan di sisi lainnya yang akan mengambil air," putus Eriza yang langsung diamini oleh yang lainnya. "Ayo, gerak sekarang! Kalian hati-hati. Di sungai licin."

Sudah setengah jam Minerva, Eriza dan Zen mengumpulkan kayu bakar. "Eriza, aku rasa kita sudah mengumpulkan cukup banyak kayu bakar," ucap Zen membuat Eriza menatap teman-temannya.

"Ya, sepertinya sudah cukup. Ayo kembali. Kita bantu yang lainnya untuk mengambil air." Eriza memimpin jalan kembali ke tenda.

Minerva menoleh ke belakang saat merasakan ada yang mengawasinya. Benar saja! Ia melihat Siberian Husky itu lagi. Ia berhenti sejenak, mengamati anjing itu dari tempatnya berdiri hingga suara Zen menyentaknya.

"Silvanus! Apa yang kau lakukan di sana! Cepat ke sini!"

"Ya, sebentar!" Silvanus menatap Zen sejenak lalu berbalik kembali. Akan tetapi, ia menemukan anjing itu sudah tidak ada di tempatnya. Menghela napas pelan, ia memutuskan untuk mengabaikan anjing itu sejenak.

"Bagaimana? Apakah airnya sudah cukup?" tanya Minerva setelah meletakkan kayu bakarnya.

Zen menggedikkan bahunya ke arah tong yang belum terisi sepertiganya. Minerva menghela napasnya kasar dan merutuki pada gadis yang mendapat tugas mengambil air. Tanpa banyak bicara, ia membantu Eriza yang sudah mengambil air terlebih dahulu.

"Minerva! Sudah cukup! Jangan ambil lagi!" Minerva mengacungkan jempolnya ke arah Zen. Akan tetapi, karena kurang hati-hati kaki Minerva tergelincir. Ia hanyut, mengikuti arus sungai yang lumayan deras itu.

Minerva berusaha untuk tetap tenang. Menatap sekeliling, mencari dahan pohon yang dapat membantunya naik ke atas. Air yang mengalirkannya begitu dingin. Tiba-tiba, ia merasakan ada yang mengangkatnya ke atas. Anjing itu! Anjing yang selalu mengawasinya itu menggigit kerah bajunya dan mengangkatnya ke darat.

Anjing itu begitu besar. Tubuhnya ditutupi oleh bulu perak yang begitu indah. Bulu-bulunya sangat lebat dan halus. Saat sudah berada di daratan, anjing itu menurunkannya dengan hati-hati. Lalu ia menundukkan badannya seolah memberi hormat dan pergi begitu saja.

"Hei! Anjing! Tunggu! Jangan lari! Hei!" panggil Minerva berusaha menggapai anjing itu, namun tidak bisa karena kakinya begitu keram akibat air sungai yang dingin itu. "Terima kasih," lirihnya.

Tidak berapa lama kemudian, beberapa kakak pembina serta Zen dan Eriza berlarian dengan panik ke arahnya. "Silvanus! Syukurlah kau selamat," desah Kenneth menyuarakan kelegaan mereka semua. "Kau tak apa-apa?" lanjutnya lagi saat melihat Minerva tak kunjung berdiri dan hanya menatap ke dalam hutan.

"Eh? Iya, aku tak apa. Hanya saja kakiku sedikit keram, airnya terlalu dingin," balas Minerva lalu berusaha berdiri. Ia menghentak-hentakkan kakinya ke tanah guna memperlancar kembali aliran darahnya.

"Bagaimana kau bisa keluar dari sungai itu tanpa pertolongan dari seseorang?" tanya Zen menyuarakan keheranan yang lainnya.

Minerva menatap semua pemuda di depannya dengan alis terangkat. "Oh?" Matanya meneliti sekelilingnya dan menangkap sebuah ranting. Ia menggedikkan bahunya ke ranting itu. Beruntung sekali posisi ranting itu sangat pas dengan tempatnya mendarat tadi. "Itu. Tadi aku memegang ranting itu sebagai tumpuanku," bohongnya. Ia tidak mungkin menceritakan bahwa ada seekor anjing besar yang mengangkatnya dari sungai, bukan? Bisa-bisa ia dikatai gila oleh teman-teman sekolahnya. Cukup anak panti saja yang menganggapnya aneh. Tak perlu ditambah dengan teman-temannya di sekolah.

Ia menghela napas lega karena teman-temannya tidak bertanya lebih lanjut. Mereka lebih memilih kembali ke perkemahan, meninggalkan Minerva yang belum sepenuhnya mengerti dengan kejadian barusan. Hampir semua. Kecuali seseorang. Kenneth.

"Ayo! Kembalilah ke tendamu," ucap Kenneth.

Sejenak, Minerva menatapnya bimbang. Seumur-umur, ia tidak pernah diperhatikan orang lain seperti sekarang. Kecuali oleh  Eistave tentunya.

"Ayolah, tunggu apa lagi? Apa kau berniat bunuh diri dengan berdiam diri di sini lama-lama?" canda pemuda tadi dengan mata menyipit.

Ragu, Minerva mengikuti Kenneth dan berjalan terpincang kembali ke perkemahan.

***

Matahari telah meninggi ketika Minerva dan teman-temannya menyelesaikan sarapan mereka. Meskipun begitu, udara dingin tetap menusuk tulang rusuknya dengan sekali hentak. Belum lagi hawa dingin yang berpadu dengan rasa panas di sekitar kakinya yang baru saja dibalur cream penghilang rasa sakit.

Tak lama terdengar suara peluit panjang. Semua teman Minerva berlarian kemudian berbaris rapi di lapangan.

"Van, kau bisa berjalan?" tanya salah seorang temannya ketika ia hendak berdiri.

Tersenyum singkat, Minerva kembali memposisikan tangannya di samping tubuh sebagai penyangga.

"Tidak apa, aku bisa sendiri," tuturnya seraya berjalan tertatih ke gerombolannya.

"Baik, karna semuanya sudah berkumpul, kami akan memberi sedikit arahan untuk kegiatan kali ini."

Sebentar lagi pencarian jejak akan segera dimulai. Para pembina sudah bersiap membagikan rute perjalanan dan sebagian lagi telah berangkat ke hutan lebih dulu. Termasuk ada Kenneth di antaranya.

Minerva mengikuti arah pemuda itu pergi. Netra hijau miliknya sesekali berkelana melintasi sudut hutan yang gelap dan sunyi hingga tak dipedulikannya lagi teriakan para pembina yang mungkin bisa merusak gendang telinganya. Kepalanya berputar, hendak kembali memfokuskan pandangan ke depan. Tapi ketika ia melakukannya, sesuatu di kegelapan kembali membuat pikirannya teralihkan.

Minerva menajamnya penglihatannya hingga dapat melihat dengan jelas sesuatu itu sebelum ....

"Silvanus Minerva, apa yang sedang kau lakukan!" bentak seseorang hingga membuat tubuhnya berjengit.

Ia tergeragap. Lapangan itu perlahan mulai sepi. Teman-temannya telah bersiap kembali ke tenda untuk membawa perlengkapan yang dibutuhkan selama perjalanan mereka nanti. Kembali ia menunduk takut sebelum ikut membubarkan diri.

"Tongkat, P3K, senter, peta," ucap salah satu anggota regunya.

Minerva meraih tasnya dan mengambil senter. Tak lama mereka telah siap dengan semua barang dan memutuskan mulai berjalan.

Dilihatnya beberapa regu sudah duduk bergerombol menghadap hutan. Mereka menunggu giliran sebelum akhirnya dipersilakan untuk memulai pencarian.

Minerva duduk bersimpuh dengan keringat yang mengucur deras di dahi dan punggungnya. Sesekali tangannya terangkat naik, menghalau teriknya sang mentari di cakrawala.

Tak lama setelahnya, regu mereka mendapat giliran. Seorang senior menyambut mereka di perbatasan hutan kemudian menyerahkan clue pertama. Tak sulit untuk sampai di post satu karna letaknya memang tidak jauh dari lapangan tadi. Dengan begitu mereka berhasil mendapatkan bendera pertama. Begitu juga yang kedua dan ketiga.

Kembali berjalan, Minerva mulai merasa lelah. Dia memegangi betisnya yang terasa kaku sembari duduk di atas sebuah batu besar.

"Van, ayo cepat!" teriak Eriza yang sudah berjalan lebih dulu.

"Ya, aku akan menyusul setelah ini," sahutnya.

Menyusul. Ya, ia harap ia dapat menyusul jika saja kakinya dapat digerakkan. Entah apa yang terjadi, tanah di sana seperti menarik kakinya.

Minerva menatap sekelilingnya. Hutan itu dipenuhi pohon beringin dan ek berukuran raksasa dengan dedaunan rimbun yang berhasil menghalau sinar mentari. Hanya sebatas komorebi.

Lima menit berlalu dan ia telah tertinggal jauh. Minerva mencoba berdiri dan menggerakkan kakinya. Dan keajaiban datang, kakinya tidak lagi merasa sakit bahkan ia merasa tubuhnya begitu ringan.

Bibirnya tertarik ke atas, menunjukkan deretan giginya yang tersusun rapi. Dengan semangat ia mencoba berlari untuk mengejar teman-temannya. Langkahnya riang dan suasana hatinya sedang sangat bagus meskipun lambat laun telinganya mendengar suara-suara aneh di balik semak belukar.

Tapi semakin cepat langkah kakinya, semakin jauh pula ia dari jalur utama. Pikirannya menyuruhnya kembali, tapi intuisi mengatakan sebaliknya, meyakinkan dirinya bahwa tidak masalah kau berada di jalur yang berbeda.

Minerva menurut.

Ia terus berlari dan berlari. Dan entah dari mana datangnya, Siberian Husky yang tadi menolongnya kini ikut berlari di sisi kanan tubuhnya. Bulu halus perak keabuannya menari dan tampak berkilau.

Anjing itu melolong keras. Dan setelahnya, Minerva merasa dirinya ditarik hingga jiwanya seperti melompat keluar. Ia terlempar semakin jauh ke dalam hutan. Tubuhnya jatuh berguling hingga mendarat mulus di sebuah lembah.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro