Chapter 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : the_pen_of_happiness

Otak terasa panas, memberontak dari keyakinan. Bukan ketakutan ketersendirian yang menghantui, tetapi kenyataan yang datang tanpa diundang membuatnya panas. Minerva berlari meninggalkan pengalaman pahit beberapa menit lalu. Saking pahitnya, suara teriakan teman-temannya tak terdengar. Manusia ini terlalu sibuk mengelak dari kenyataan.

Seiring dengan deru langkah kakinya serta suara tarikan napas yang mendalam, terlihat sesuatu di sekeliling. Rabun, tetapi semua terlihat. Serat-serat debu berkumpul, membuat kondisi di sekitar Minerva seakan berubah drastis. Portal yang mengkekangnya serasa hilang sekejap mata. Dan teriakan dari seorang pemuda menjadi ucapan selamat kembali di dunia manusia.

"Silvanus!"

Kenneth berteriak, mendendangkan namanya berulang kali seraya berharap cemas. Tangannya berusaha meraih Minerva yang enggan berhenti, berusaha untuk membuatnya tenang.

"Silvanus! Sadarlah!"

Minerva terperanjak, tidak sadar apa yang terjadi. Ia hanya teringat tentang jam pasir yang menyesakkan raga. Tatapannya ragu, mengedarkan pandangan penuh tanda tanya. Hingga pada akhirnya sorot mata mereka berdua bertemu. Membuat matanya berhenti menatap ragu.

"Tidak apa-apa?"

Minerva masih terdiam, merasakan keheningan hutan. Ia merasakan desakan hutan tak kembali mencekiknya. Membuatnya jatuh dalam kecerobohan, dan berakhir dengan berurusan oleh pembinanya. Minerva tersadar bahwa riwayatnya telah tamat sekarang.

"Silvanus, aku bertanya?! Apa kamu kerasukan?!" bentak Kenneth.

Minerva menggeleng. Ia tak mampu menjawab dengan suara. Sudah dipastikan suaranya akan tersendat-sendat. Hal itu dapat menciptakan keraguan berdasar di dalam hati Kenneth. Minerva tak ingin ikut campur lebih dalam dengannya. Menciptakan masalah lebih dalam adalah sebuah mimpi buruk bagi dirinya dan semua murid yang lain.

Suara patahan ranting kembali terdengar, beberapa gerombolan manusia yang diketuai oleh seorang gadis bernama Eriza terlihat. Mereka berlari menghampiri Minerva yang telah tenang untuk saat ini.

"Kamu tidak apa, Silvanus?"

Pertanyaan favorit sejak ia hilang kendali kembali melayang. Untuk kedua kalinya ia harus meyakinkan orang-orang bahwa dirinya baik-baik saja. Setidaknya seorang pemuda di sampingnya harus yakin dengan apa yang diucapkannya. Berurusan dengan Eriza lebih baik daripada dengan pemuda tersebut.

"Aku baik-baik saja. Hanya saja aku panik gara-gara tersesat dan tidak enak badan," dustanya.

Minerva tersenyum manis, tetapi senyuman itu bukan seperti senyuman selayaknya. Hanya tipuan manis yang menipu setiap mata. Namun, sepertinya seorang lelaki mampu mencegah matanya terkena tipuan tersebut.

"Biarkanlah Silvanus istirahat. Kalian lanjutkan penjelejahan kalian. Mengerti?"

Semua manusia itu dengan mudah tunduk padanya. Wajar saja dengan gelarnya dan pangkatnya yang membuat orang-orang di bawahnya tunduk. Bahkan Minerva sekalipun akan menaati semua titahnya, termasuk perintah untuknya kembali ke tenda bersama Kenneth.

***

Suara angin malam melambai, berputar di antara api-api yang berkobar dengan gagahnya. Semua manusia telah kembali dari pertualangan singkatnya, kembali berpecah menjadi beberapa kelompok dan menyiapkan makanan untuk menentukan nasib perut mereka.

Minerva mengenggam beberapa buah wortel dan satu buah pisau di tangan satunya, bersiap memasak makan malam dengan hidangan utama wortel. Pelan namun pasti, terlihat Minerva mengupas dan mengiris wortel itu sedemikian rupa, memastikan wortel itu matang dengan sempurna. Setidaknya ia ingin manusia-manusia di regunya bisa makan dengan layak.

"Silvanus, kamu bisa duluan pergi cuci piringnya? Aku lagi ada urusan sama regu lain."

Minerva mengiyakan. Ia menyingsing kedua lengan bajunya dan membawa beberapa mangkok dan panci. Beberapa langkah berlalu dan kini Minerva telah berada di samping hutan, bertemankan beberapa cucian kotor dan seember air.

Berlangsungnya kegiatan mencuci membuat Minerva fokus pada tumpukan piring kotor. Berusaha membersihkan semua itu dengan hati-hati. Firasatnya terbangun. Ia merasa sepasang iris mata mengawasinya dari jauh. Minerva terdiam, berusaha untuk mengacuhkan itu semua. Mengacuhkan siberian husky yang telah mengintainya.

"Aku tahu, kamu mengetahui keberadaanku di sini."

Minerva tak bergeming dari tempatnya. Ia berusaha mengacuhkan suara di antara kegelapan. Membuat mahkluk tak ladzim itu menyerah untuk membodohinya. Seorang Silvanus Minerva tidak ingin teman sekolahnya menatap aneh. Seaneh beberapa manusia di asrama yang menatapnya. Di asrama Minerva bisa melupakan tatapan itu dengan genggaman erat dari Bunda Eistave. Namun, wanita bidadari bagi Minerva tidak akan terus menaunginya.

"Silvanus Minerva, mau tidak mau kamu akan mengetahuinya."

Minerva tetep berusaha fokus dengan tumpukan piring penuh kotoran tersebut, tetapi separuh otaknya telah berkeliaran mengikuti arus permainan siberian husky.

"Silvanus Minerva, keturunan terakhir, harapan terakhir kaum penyihir."

Gigi Minerva mulai bergemelatuk. Rahangnya mengeras. Berusaha sekeras mungkin untuk menahan hasrat terpendamnya. Setidaknya monster itu akan pergi dengan sendirinya, batinnya.

"Jika kau terus melupakanku dan tidak menanggapi ucapanku, kamu dan kaum-mu akan lenyap."

"Bodoh," gumam Minerva.

"Jangan berpikir aku bercanda, Silvanus! Kau, kaum-mu, dan mungkin juga Bunda Eistave akan lenyap. Wanita yang kau anggap malaikat itu akan dalam bahaya!"

Minerva terperanjak. Ia melemparkan beberapa pasang garpu dan sendok dengan asal. Terdengar cipratan air, serta bajunya yang telah basah oleh air tersebut. Namun, ia tak peduli. Malaikat masa kecilnya dalam bahaya.

"Bagaimana bisa? Dia manusia biasa! Bukan seperti kamu!"

"Silvanus, justru karena manusia biasa dia bisa dengan mudah disakiti. Bangsa Elf akan membunuh siapa pun yang melindungi penyihir. Eistave melindungimu, dan kamu adalah penyihir. Jadi—"

"Bohong! Semua bohong! Enyah kamu! Kamu boleh menipuku, tetapi jangan bermain-main soal nyawa Bunda!"

Minerva melempar beberapa sendok dengan kasar. Mengemukakan rasa kemarahannya, bukan ia merasa ketakutan akan fakta ini. Punggungnya berkeringat. Pikirannya berkecamuk hanya untuk berpikir bagaimana caranya mengusir monster yang telah membodohinya.

"Aku tahu kamu takut—"

"Diam kamu anjing! Kamu pembawa sial!"

Minerva berteriak dengan lantang. Mukanya telah bercucuran keringat. Ia dalam kepanikan yang dalam. Tepukan tangan di pundaknya membuatnya tersentak. Eriza menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"Kau mengumpat? Dengan siapa kamu berteriak?" Eriza melihat ke arah tempat siberian husky bersembunyi, tetapi ia telah lenyap dari pandangan mata. "Dengan siapa kamu berteriak?"

Diam seribu bahasa. Hal itu yang dilakukan Minerva sekarang. Otaknya berusaha memutar cara untuk menemukan elakan yang pantas. Setidaknya mampu membuat Eriza terjerat oleh dustanya. Eriza masih menatapnya dengan tatapan yang tersirat sejuta pertanyaan. Minerva dalam tekanan. Ia masih berharap keajaiban bisa membantunya berdusta.

Benar saja, dunia masih mau membantunya. Terlihat sepasang iris mata berwarna coklat milik seorang pembina mendekati mereka. Langkah kakinya tidak terlalu terdengar, yang dapat dipastikan adalah kehadirannya menimbulkan sedikit kejutan.

"Kalian lagi apa?"

Suara itu membuat Minerva dan Eriza menoleh. Kenneth memperhatikan mereka dengan sorot mata selidik. Ia melihat beberapa tumpukan sendok dan alat makan lainny. Tanpa penjelasan ia sudah tahu apa yang dilakukan mereka berdua. Terlebih lagi Kenneth mendengar percakapan mereka berdua.

"Lagi mencuci."

"Aku tahu," jawab Kenneth singkat.

Eriza menaikkan sudut bibirnya. Seakan mengutuk pembinanya dengan sedikit cibiran pelan. Kalau begitu buat apa ia bertanya, batin Eriza.

"Oh iya, Silvanus, bisakah kau tidak usah mengumpat? Aku sedang melakukan panggilan alam di sana."

Kenneth mengatakan itu untuk membantu Minerva mengelak dari Eriza. Pada saat itu pula Eriza berpikir bahwa Minerva berbicara pada sang pembina, dirinya ber-oh panjang. Ia bergegas mengangkat tumpukan cucian yang telah dibersihkan Minerva, sedangkan Minerva kembali mencuci. Namun, Kenneth berada di sampingnya. Eriza meninggalkan mereka berdua untuk sementara.

"Makasih, kak."

Ucapan itu keluar dari mulut Minerva. Tangannya masih sibuk dengan tumpukan kotoran tersebut dan tentunya busa.

"Tidak masalah. Aku tahu kamu punya indra keenam. Kamu bisa melihat seperti itu, bukan? Aku juga. Kamu tidak ingin ada yang tahu. Oleh sebab itu kamu menyembunyikannya," jelas Kenneth lengkap. "Oh iya jangan panggil aku 'Kak', mengerti?"

Kenneth berjalan meninggalkan Minerva sendiri. Minerva mengerti, Kenneth salah paham. Ia mengira bahwa Minerva bertingkah aneh karena mahkluk halus. Namun, setidaknya ia bisa selamat untuk sekian kalinya.

***

Perkemahan singkat terlewati. Pengalaman seru, menakutkan, dan membuat bulu kuduk merinding hanya tinggal menjadi sebuah cerita. Bisa kembali tanpa kekurangan adalah kebahagian setiap insan. Telebih lagi liburan sehari dari sekolah dengan tujuan untuk mengistirahatkan raga menjadi salah satu dari sekian banyak yang murid sukai. Minerva kini tengah termenung di depan kaca jendela. Pikirannya kembali melayang tentang percakapnnya dengan si siberian husky.

"Hayoo, kamu lagi apa?"

Bunda Eistave menepuk pundaknya, menyadarkan Minerva dari lamunan panjang. Minerva hanya tersenyum tak menjawab pertanyaannya.

"Pulang kemah kamu tidak cerita apa-apa," gerutu Bunda Eistave. "Bunda penasaran sama kemahmu, Minerva."

"Tidak ada apa-apa," jawab Minerva singkat.

"Kamu ada masalah? Ayo berbagi sama bunda," pintanya.

Awalnya Minerva menggeleng. Ia ragu untuk bercerita kepada Bunda Eistave, tetapi dengan paksaan dari malaikatnya itu ia menceritakan segalanya. Menceritakan sampai ke akar-akar, membuatnya sedikit tenang.

Minerva mengira Bunda Eistave akan terkejut, tetapi wajahnya masih tenang. Ia malah tersenyum manis mendengar cerita anak angkatnya tersebut. Minerva keheranan dibuatnya.

"Bunda tidak tahu apa yang harus dikatakan. Bunda hanya seseorang yang menemukanmu di depan pintu panti ini dan merawatnya sebisa mungkin. Masa lalumu masih menjadi misteri bagi bunda, tetapi memang jika begitu masa lalumu, hadapilah. Setidaknya perjuangan keluargamu tidak sia-sia."

Minerva mendengarkan kata perkata yang keluar dari mulut Bunda Eistave dengan penekanan. Ia memikirkan semuanya, merasa apa yang dikatakan malaikatnya itu benar. Di lain tempat, tepatnya di luar jendela, sepasang mata anjing siberian husky mengawasinya.

Sepertinya perjalananku bersamanya tak lama lagi, batin anjing itu. 

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro