Chapter 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : Zulfa_Fauziyyah

Menerima usulan dari seekor anjing ternyata bukanlah pilihan yang selalu baik. Lihatlah sekarang, Minerva dan Enfil baru kembali melanjutkan perjalanan ketika sang mentari sudah menyingsing hari.

"Cepat habiskan makananmu, Silvanus! Kita bisa terlambat," kata Enfil sembari mengamati keadaan sekitar yang terlihat begitu lengang.

Para elf memang tidak menyukai matahari. Mereka lebih suka berkeliaran ketika gelap mulai menyapa dunia. Tapi meski begitu, bukan tidak mungkin para elf berkeliaran di sekitar sana saat ini. Apalagi mengingat semakin bertambah kuatnya kekuatan yang mereka curi sehabis memusnahkan bangsa penyihir.

Bersiap kembali dengan tas di punggungnya, Minerva kembali berjalan ke arah timur. Daun-daun pohon maple dan ek berjatuhan seiring hembusan angin yang terasa menusuk tulang rusuknya. Kakinya mengayun semakin cepat setiap saatnya di antara dedaunan dan ranting yang patah.

"Hei, Enfil! Kau bilang akan mengajariku menggunakan ilmu sihir," ujar Minerva tiba-tiba teringat janji Enfil sebelum mereka berangkat.

Bulu halus keperakan itu melambai saat tubuh Enfil bergerak dinamis. "Kupikir aku sudah mengajarimu semalam."

Satu alis Minerva terangkat naik. "Apa yang tadi malam itu bisa disebut mengajari?" sindirnya.

"Ya, tentu saja."

Jika saja seekor anjing bisa tersenyum layaknya manusia, Minerva yakin saat ini Enfil tengah memasang sebuah smirk.

"Itu hanya sebagian kecil, benar 'kan?" tanyanya.

"Ya, kau benar. Tapi asal kau tau, semua kekuatan itu sudah ada di dalam dirimu. Yang bisa kulakukan hanyalah membangkitkan kekuatan yang terpendam saat jiwamu disegel."

"Jadi ... aku tidak perlu mempelajarinya terlebih dulu?"

Enfil terkekeh pelan. "Sebenarnya ada yang harus kau pelajari lebih lanjut. Karna kau tau, setiap kekuatan memiliki kelemahannya sendiri. Dan seperti bangsamu, kekuatan kalian bisa jadi sangat berbahaya ketika energi telah terkumpul sempurna, dan kau dalam pengaruh kemarahan."

"Jadi ... apa yang harus kulakukan sekarang?" Minerva mulai jengkel dengan pembicaraan mereka. Ia tidak sabar. Keingintahuannya mengalahkan ego yang biasanya tinggi.

"Ada sebuah buku rahasia di sana, dan kita harus segera menemukannya sebelum bangsa elf menemukannya juga. Karna di sanalah semua hal tentang bangsa penyihir tertulis sempurna."

"Di sana?" ulangnya.

"Ya, di sana."

"Di mana tempatnya?"

"Kau sendiri yang tau di mana tempatnya. Tanyakan pada hatimu. Tanyakan pada masa lalumu. Sejarah telah memberitahumu semuanya. Tugasmu untuk kembali menemukan dan menyatukan kepingan-kepingan itu."

Minerva terpekur dalam lamunannya sendiri. Tanpa sadar mereka telah berjalan jauh dari tempat sebelumnya.

Minerva memejamkan matanya rapat-rapat ketika sebuah cahaya yang begitu terang menyilaukan matanya. Kontras sekali dengan kondisi hutan yang cenderung gelap. Dan ketika netra hijaunya sanggup menyesuaikan keadaan, saat itu juga ia melihat sebuah perkampungan dengan ratusan rumah yang sebagian telah hancur dan terbakar.

"Selamat datang di rumah, Silvanus Minerva!" sambut Enfil. Dan seketika itu dapat Minerva lihat beberapa pohon di sisi kanan dan kirinya menunduk, seolah memberi hormat akan kedatangannya.

***

Rintik hujan perlahan-lahan jatuh. Bersamaan dengan itu, petir tampak saling bersahutan di atas sana. Meringkuk di bawah sebuah bangunan yang hanya menyisakan atap berlubang dan dinding berlumut, gigi Minerva bergemeletuk.

Enfil sejak tadi bergelung di bawah kakinya, mencoba menghangatkan sang majikan meski bulu-bulunya kini juga basah. Meski begitu, setidaknya ia telah mencoba. Mata keperakannya menatap ke arah Minerva dengan perasaan bersalah. Hampir saja tadi ia mencelakainya. Ini semua ulah para dormenian yang bersekongkol dengan kaum elf itu.

Minerva tampak sudah bisa menguasai diri. Ia terlihat lebih baik ketimbang saat habis berlari tadi. Mata hijaunya sudah berubah menjadi lebih terang sekarang. Dan badannya perlahan mulai kembali tegap. Tapi tak berapa lama kemudian, Enfil mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk ketika merasa ada dua atau tiga orang tengah berjalan ke arah mereka.

"Lari," katanya pelan.

"Apa?"

Mereka tidak punya waktu lagi, cepat atau lambat, para elf akan menemukan mereka. "Lari!" teriaknya sembari mendorong tubuh Minerva agar beranjak secepat mungkin.

"Itu mereka!" seru salah satu elf itu. Dan tebakan Enfil salah, mereka berjumlah sekitar sepuluh.

Minerva yang sadar posisinya sedang dalam bahaya lekas berlari sebisanya. Menerjang hujan di antara rumah-rumah yang hangus terbakar. Minerva berharap para elf itu berhenti mengejar mereka. Setidaknya untuk saat ini. Tidak saat air menggenang di jalan berlumpur yang harus ia lalui.

"Lewat sini," titah Enfil sembari berbelok ke kiri.

Minerva bernapas tersenggal. Ayunan kaki jenjangnya kian melambat, sementara di belakang mereka makhluk bertelinga panjang itu terus aja mengejar.

"Aku tidak tahan lagi," ucap Minerva.

Enfil ikut berhenti dan meneriakinya, "Apa yang kau lakukan? Kita bisa mati terbunuh!"

"Aku tidak kuat berlari lagi. Tidak bisakah kau berubah seperti saat di hutan dan membiarkanku naik di punggungmu!"

Enfil menggonggong kecil. Dia tidak bisa melakukannya sekarang. Tidak saat kekuatannya habis terkuras kala menghalau para dormenian tadi.

"Tidak. Cepatlah, Silvanus!"

Minerva mendongak dengan tatapan pias. Tidak. Dia tidak sanggup.

"Kenapa kita tidak mencari tempat sembunyi saja?" katanya sambil melirik ke kanan dan kiri.

Enfil ikut mencari. Meskipun ia tidak terlalu yakin dengan apa yang akan terjadi nanti.

"Kita ke sana!" ucap Minerva berjalan tergesa ke arah sebuah rumah yang kondisinya tidak jauh seperti rumah-rumah di sekitarnya.

"Pintunya terkunci," ujarnya berusaha membuka pintu.

Berlari kecil, Enfil menatap sekumpulan elf yang ia perkirakan tak jauh lagi.

"Gunakan kekuatanmu."

"Kau bilang apa?"

"Gunakan kekuatanmu sekarang, Silvanus!"

"Bagaimana caranya? Kau bahkan tidak memberitahuku caranya!"

"Fokuskan saja pikiranmu dan coba tembus pintu itu sekarang!"

Meskipun bingung, Minerva tetap mencoba. Awalnya ia bahkan tidak bisa berkonsentrasi pada apapun. Sampai akhirnya, jiwanya seperti bergerak keluar dari tubuhnya secara perlahan. Seperti bayangan, ia masih hidup, hanya jiwanya menjelajah ke dimensi lain yang membuatnya dapat melakukan apapun.

Ceklek ....

"Kau berhasil!" ucap Enfil seraya menyerukkan kepalanya kemudian mendorong tubuh Minerva ke dalam.

Dan seperti baru terbangun dari tidur, Minerva merasa linglung. Lututnya terasa seperti jelly hingga tubuhnya jatuh terduduk di lantai marmer.

Enfil menarik tas ransel berisi perbekalan mereka ke arah Minerva setelah sebelumnya menutup pintu dengan hati-hati. Mereka telah aman.

"Apa mereka masih dapat menemukan kita?" tanya Minerva.

"Tidak."

"Apa kau yakin."

"Ya."

Tentu Enfil yakin, kekuatan yang tadi digunakan Minerva dapat sekaligus mengelabui musuh. Itulah salah satu kekuatan hebat bangsa penyihir. Meski awalnya Enfil ragu, tapi dia mencobanya. Illuminate. Seperti itulah mereka menyebutnya. Salah satu kekuatan yang tidak semua penyihir dapat melakukannya. Dan jikapun berhasil, kebanyakan dari mereka pasti akan kehilangan kesadaran setelahnya.

"Tidurlah. Kita bisa beristirahat di sini sampai besok pagi," tuturnya kemudian memposisikan diri sebagai sandaran bagi Minerva.

Netra hijau itu semakin redup. Dinding di sekitarnya tampak indah dengan beraneka ragam ukiran di setiap sudutnya. Sayangnya, ia tidak tahu ukiran apa yang tercetak di sana, sekelilingnya gelap gulita. Ia juga terlalu lelah dengan semua yang terjadi hari ini, perlahan Minerva kehilangan kesadaran dan jatuh tertidur.

***

Secercah cahaya berdesakan, menyilaukan penglihatan yang belum sepenuhnya utuh. Perlahan Minerva mencoba membuka mata. Setelah beberapa kali berkedip, akhirnya ia benar-benar dapat melihat dengan jelas. Di belakangnya, Enfil masih tertidur nyenyak.

Tapi tiba-tiba Minerva sadar akan sesuatu. Tempat yang tengah mereka singgahi rupanya lebih besar dari yang ia perkirakan. Ada beberapa patung yang berdiri di setiap sudut, ditambah lampu gantung yang tampak megah di tengah-tengah ruangan. Berdiri dari posisinya, Minerva sedikit terhuyung sebelum berhasil menguasai diri.

Ia menyusuri dinding penuh lukisan di beberapa sisi ke sisi yang lain. Lukisan yang indah, batinnya bersuara. Meski sedikit bingung, Minerva seolah mengerti cerita di balik lukisan itu. Sebuah desa yang makmur dan hebat.

Matanya terus bergerilya, mencari kelanjutan kisah-kisah itu hingga ia berdiri di satu bagian yang menggambarkan sebuah keluarga. Sepasang suami-istri yang terlihat bahagia. Mereka mengenakan pakaian yang tampak modern, kontras sekali dengan para penduduk yang tadi ia lihat. Meskipun begitu, kedua orang tadi tampak manusiawi. Sempurna.

"Andai aku bisa mengenal kalian, Ayah, Ibu," bisiknya tertahan.

Tangan Minerva terulur, mencoba menyentuh gambaran itu dengan tangannya. Lukisan itu seperti replika dari pasir waktu kala itu. Bagaimana dua penyihir jatuh cinta. Bagaimana mereka menikah. Sampai sang istri mengandung buah hati mereka. Kisah mereka memang nyata.

Minerva tersenyum sebelum melanjutkan untuk melihat kisah itu lebih jauh.

"Mereka pernah di sini," gumam Minerva pelan.

Perasaan hangat sekaligus sesak menyeruak begitu saja. Ia tengah berada di tempat yang seharusnya ia sebut rumah. Tapi akibat ulah para elf, Minerva kehilangan segalanya. Bahkan mungkin, dialah satu-satunya yang tersisa hingga sekarang.
Mengepalkan kedua tangannya, Minerva bertekad, ia akan membuat semua setimpal nanti. Takdirnya telah datang. Dan dia berjanji akan membuat akhir dari semua mimpi buruk yang dialaminya menjadi manis meski hanya bagi dirinya sendiri. Ya, dia berjanji.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro