7. Bukan Pelampiasan Emosi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 7 Bukan Pelampiasan Emosi

“Aku masih memiliki hak atas rumah ini, kan?” Joshua Lee, berdiri tepat di depan sang kakak yang masih menampilkan ketegangan. Rachel hanya mampu menahan napasnya. Serasa ingin lantai di bawahnya menelan tubuh dan menghilang dari ketegangan di antara pasangan kakak beradik ini.

Joshua sengaja menekan kata masih. “Setidaknya sebelum kau mengambil alih semuanya, kan?”

“Kau tahu kenapa?” desis Reagan lebih tajam.

Joshua mengedikkan bahu dengan sikap santainya. “Ya, karena aku tak becus menerima tanggung jawab yang begitu besar. Yang bisa kulakukan hanya membuat masalah, yang semuanya kau bereskan. Kecuali Lania tentu saja.”

Reagan menggeram.

Joshua terkekeh. “Aku sudah banyak mengalah dengan perusahaan dan tinggal dengan Lania di paviliun.” Pandangannya melirik ke arah Rachel. “Kalian masih pengantin baru, kan. Aku harus memahami situasi kalian.”

“Dan … mungkin kami akan segera melangsungkan pernikahan saat anak dalam kandungannya lahir.” Joshua sengaja berhenti, menatap lebih dalan raut wajah sang kakak sebelum melanjutkan. “Hanya kemungkinan. Karena kau tahu hati Lania masih dipenuhi oleh dirimu, kan?”

“Itu masalahmu, Joshua. Jangan mengeluhkan hal semacam ini padaku.”

“Ya, aku tahu. Kali ini aku yang akan mengurusnya.” Joshua melirik pada Rachel, mengamati sang kakak ipar lekat-lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Reagan yang menyadari ketertarikan sang adik, menarik tubuh Rachel ke belakang tubuhnya.

Joshua tersenyum geli. “Kenapa? Setelah kekasihmu, kau takut kali ini aku akan tertarik dengan istrimu?”

Tatapan Reagan semakin menajam, begitu pun dengan pegangan pria itu di tangan Rachel yang tanpa sadar semakin menguat.

“Ya, lakukan saja apa yang kau inginkan,” ucapnya kemudian berjalan membawa Rachel masuk ke dalam rumah. Melintasi ruangan-ruangan yang luas dengan langkah yang terburu. Menyeret tubuh Rachel yang kewalahan mengikuti langkah besar-besar pria itu.

Rachel masih tak berkata-kata. Saat mencuri pandang ke wajah Reagan, ada rasa sakit, kekecewaan dan pengkhianatan yang teramat pekat di sana. Yang bisa ia pahami dengan baik.

Setidaknya yang mengkhianatinya adalah kekasih dan sahabatnya. Sementara Reagan, pria itu dikhianati oleh kekasih dan adik kandung pria itu sendiri.

Setelah masuk di dalan lift, keduanya tiba di lantai tiga. Ada sebuah meja dengan hiasan vas bunga besar di depan pintu lift. Reagan masih terus membawanya, hingga melewati pintu ganda coklat dan barulah pria itu melepaskan pegangannya.

Desahan gusar lolos dari mulut pria itu. Berjalan melepaskan jaket yang dikenakannya dan melemparnya ke sofa. Menggusurkan kesepuluh jemarinya di rambut.

Rachel hanya bergeming di tempatnya. Mendadak menjadi makhluk tak kasat mata di dalam ruangan ini. Menunggu hingga Reagan selesai dengan emosi pria itu sendiri. Kemarahan dan kekecewaan Reagan masih begitu padat, meyakinkan Rachel bahwa semua emosi negatif itu sebanding dengan rasa cinta yang masih dimiliki Reagan pada Lania.

“Kau lelah?” Pertanyaan Reagan memecah keheningan tersebut. 

Rachel menoleh, menatap ketegangan di wajah Reagan yang sudah mulai berkurang. “Tidak.”

“Sebentar lagi meja makan selesai disiapkan. Barang-barangmu sudah ada di sana jika kau membutuhkan sesuatu. Besok pelayan akan mulai menatanya untukmu. Katakan saja apa yang kau butuhkan.”

Rachel mengangguk. Menatap ruangan lain yang ditunjuk Reagan sebelum pria itu masuk ke dalam pintu lainnya yang berada di samping pintu ruang ganti. Menyusul suara gemericik air.

Setelah berganti pakaian, Reagan dan Rachel turun ke ruang makan. Ketegangan masih menyelimuti Reagan dan Joshua. Yang membuat Rachel kesulitan menelan makanannya dan nyaris tersedak ketika secara terang-terangan Joshua memuji kecantikannya.

“Aku suka matamu yang jernih dan tatapanmu yang teduh,” tambah Joshua yang semakin membuat Reagan berang bukan main. “Bolehkah aku memanggil namamu saja? Kakak ipar sepertinya terdengar berlebihan. Kau lebih muda 6 tahun dariku.”

Suara tinju yang menggebrak meja membuat piring dan mangkuk di atas meja bergeser. Menciptakan suara dentingan yang memenuhi seluruh ruang makan.

Dan kemarahan tersebut sama sekali tak membuat Joshua terusik. Kata-kata pria itu semakin sengaja membuat sang kakak dipenuhi emosi yang lebih besar. Joshua mencondongkan tubuhnya ke arah Rachel. Melengkungkan senyum selebar mungkin sebelum melanjutkan kalimatnya. “Aku penasaran berapa banyak uang yang kakakku keluarkan untuk menikah denganmu? Daun muda sepertimu jelas bukan selera kakakku.”

“Cukup, Joshua,” geram Reagan. Kepalan tangannya semakin menguat hingga buku-buku jari pria itu memutih.

“Umur, model rambut, bentuk tubuh, dan bahkan kepolosanmu. Semua itu berbanding terbalik dengan Lania.”

Cukup sudah, Reagan tak lagi mampu membendung amarahnya. Gebrakan tinju pria itu di meja kali ini berhasil membuat gelas di depannya tumpah. Pria itu menyambar lengan Rachel, membawa sang istri keluar dari ruang makan dan kembali ke kamar.

Erang kesakitan Rachel yang berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman Reagan yang terlalu kuat sama sekali tak pria itu indahkan. Reagan membanting pintu kamar dengan keras, menyeberangi ruangan dan mendorong tubuh Rachel ke dinding kamar sebelum kemudian menangkap bibir sang istri dan menciumnya dengan kasar.

“Cukup, Reagan!” Rachel akhirnya berhasil melepaskan bibirnya dari Reagan, mendorong dada pria itu dan dengan cepat menciptakan jarak di antara mereka. Wajahnya tak kalah merah padamnya dengan Reagan. “Aku tak tahu dan tak perlu tahu permasalahan apa yang ada di antara kau, adikmu, dan kekasihmu itu. Tapi aku bukan samsak balas dendammu pada mereka. Dan meskipun kau menikahiku karena nominal yang kau berikan pada perusahaan papaku, kesepakatan pernikahan kita tak melibatkan urusan pribadimu dengan mereka.”

Reagan terdiam. Matanya mengerjap dan tersadar.

“Aku istrimu. Kau berhak atas tubuhku, juga rahimku. Tapi tidak untuk kau gunakan sebagai pelampiasan emosimu terhadap mereka. Jadi kumohon, jangan libatkan aku ke dalam permasalahan kalian. Yang bahkan bukan urusanku.”

Perlahan emosi di dada Reagan mereda, rasa bersalah mulai muncul di dadanya mendengar kata-kata Rachel yang emosional. Ya, Rachel sama sekali tak ada hubungannya dengan permasalahan rumit antara dirinya dengan Joshua dan Lania.

Rachel terdiam. Emosi yang bertumpuk di dadanya perlahan mulai mereda, menatap Reagan yang masih mematung di hadapannya. Keheningan membentang di antara keduanya, cukup lama.

“Baiklah.” Suara dan raut Reagan terlihat lebih lunak. Ketegangan di tubuh pria itu juga sudah mulai berkurang. Ya, Lania dan Joshua tak pernah tak berhasil mempermainkan emosinya. “Aku tak bermaksud melakukan semua ini padamu.”

Rachel tak mengatakan apa pun. Menatap kesungguhan di wajah Reagan yang mulai meluruhkan kemarahannya pada pria itu. Rachel pun memberikan satu anggukan singkat, kemudian berjalan ke arah kamar mandi. Meninggalkan Reagan yang masih mematung di tengah ruangan.

Mata pria itu terpejam, mendesah kasar dan membanting tubuhnya ke sofa. Ia pikir pernikahannya akan membuat permasalahannya selesai. Tetapi Joshua jelas tak ingin semua berakhir dengan mudah. Pun permasalahan di antara mereka tak pernah benar-benar berakhir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro