I am Saefun

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: AlmayNadia15 (Teenfict) & A_Ogies (Romance)

Dunia terasa membeku ketika mata pandaku terbuka. Suasana subuh hari ini benar-benar dingin. Bukan hanya faktor musim, tapi karena badanku telanjang tanpa diselimuti kain favorit pembelian ibu. Ibu bilang, selimut itu dijemur setelah dikencingi Bone kemarin, dan belum kering sangking tebalnya.

"Epul! Kambingmu udah dikasih makan ndak?" teriak Ibu dari dapur.

"Ya Allah, Bu, baru Subuh lho. Nyawa Epul belum juga terkumpul sempurna, Bu, Bu." Aku menggerutu sambil memperbaiki tempat tidur yang sudah rapi sebelumnya. Sudah kubiasakan, sebelum tidur semua benda di sekitar kamar yang tak besar ini harus berada di tempatnya. Kalau perlu, aku mending tidur di depan tv agar kasurku tetap rapi.

Begitu mataku mengatakan sudah rapi, aku bergegas ke sumur belakang rumah. Menimba air untuk ibu memasak dan mengambil air untuk wudu. Sebenarnya kami punya kamar mandi di dalam, tapi aku lebih suka menggerakkan ototku dengan cara seperti ini. Mumpung aku belum dewasa, jadi rasa maluku bila dilihat gadis-gadis yang lewat belum ada.

"Nanti habis nulis, bantu ibu bawa makanan ini ke ladang, ya," pesan ibu yang langsung kuangguki.

Dengan masih menggunakan sarung ala bapak, aku berjalan ke ruang tamu untuk melihat jam, masih jam lima kurang. Artinya, aku masih punya setengah jam lagi untuk bersiap ke sekolah. Tanpa membuang waktu, aku langsung membuka laptop jadul pemberian pakde dan menghabiskan dua puluh menit bersama rangakaian kata yang kususun menjadi sebuah cerita.

Sudah hampir setengah tahun aku menggeluti dunia tulis-menulis. Kata bapak, aku punya bakat menghayal dan merealisasikan imajinasi tersebut dalam bentuk cerita. Semua itu berawal saat bapak menantangku untuk bercerita guyon di depan Kak Nia yang sedang patah hati saat itu. Alhasil, cerita abal-abal itu Kak Nia tulis di mading sekolah dan ternyata banyak yang suka.

Umurku dan Kak Nia tidak terpaut jauh, hanya berselang setahun setengah.  Dan saat ini, dia sedang mendaftar di salah satu kampus swasta di dekat kota.

"Dek, draf tulisan kelima ini langsung kirim ke Pak Makhrus ya. Biar segera diurus dan diterbitkan."

"Iya," jawabku singkat. Aku tersenyum setelah mengetikkan nama pena di halaman sampul. Sebuah nama yang kuambil dari kepribadianku sendiri. Banyak yang bilang, suaraku unik Tak heran jika ada yang tertawa setelah mendengar suaraku. Aku bersyukur akan hal itu, karena dengan begitu aku sudah membuat orang lain ceria.

Hah, ini adalah bagian kecil dari sosok diriku. Ada banyak hal yang perlu diketahui lagi. Inilah aku, i am Saefun.

***

Di sekolah orang-orang lebih senang memanggil aku dengan  panggilan "Sae" terlebih ketika panggilan itu datang dari Laila,  aku sama sekali tidak keberatan. Gadis manis, yang di mataku ketika tersenyum madu asli pun  kalah saing darinya.

I am Saefun, tampang boleh jauh dari kata good looking tapi keberuntungan bolehlah diadu. Bagaimana bisa aku tidak merasa beruntung, dari beberapa siswa yang mengikuti lomba menulis cerpen, hanya tulisan aku yang memenuhi kriteria Laila--ketua mading--untuk di tempel di majalah mading minggu ini.

Berawal dari cerpen dengan judul "Bone" aku dan Laila pun menjadi dekat. Tentu saja aku sangat berharap, bahwa teori tentang  garis antara persahabatan dan cinta itu batasnya tipis benar adanya.

Seperti saat ini, Laila berjalan ke arahku dengan rambut tergerai, seolah-olah sedang melambai-lambai kepadaku untuk dibelai.

"Bone apa khabar, Sae?" tanyanya, setelah mengambil tempat di sampingku.

Aku hanya menggeleng-geleng bercampur takjub. Fans Bone bertambah. Hah, aku bahkan hanya mendapatkan jatah 720 dari 8760 jam dalam setahun  diingatkan makan oleh ibu dan tentu saja itu membuatku cemburu. Lalu sekarang, Laila juga memikirkannya.

"Baik, La. Hanya saja makin menggila dia."

"Hah, kok bisa?"

Bone, Bone, kau memang mahluk spesial. Karenamu aku bisa menikmati setiap tingkah, respons, dan suara Laila dengan jarak sedekat ini. Sampai  gadis ini terlihat bingung saja tetap  elok dipandang mata.

"Saeee ..."

Manis sekali. "Bercanda, La."

"Iiih, dasar!" Sebuah cubitan keras pun mengenai kulit lenganku.

Aku hanya bisa tertawa, tak apa Laila, cubitlah asal aku bisa menikmati pahatan mahakarya Tuhan yang abadi di wajahmu itu.

"Kamu selalu saja bercanda!" protesnya terdengar kesal.

Aku menggeleng, tanda tak setuju. Itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak benar sepenuhnya. I am Saefun, jika menyangkut soal hati, aku tidak pernah bercanda. Namun, perjalanan masih panjang, belum saatnya perahu berlabuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro