My Husband

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: tibs_rhm (Romance) & hwarien (Teenfict)

Kim Aeri terbangun di tengah malam karena merasa haus. Namun, ia tidak menemukan Lee Seungkwan–suaminya berada di sisinya. Yang lebih mengejutkan lagi, suasana rumah benar-benar gelap. Semua lampu padam termasuk lampu teras yang biasanya sering dinyalakan.

Dengan bantuan senter ponsel, Kim Aeri berjalan menuruni tangga. Entah sudah panggilan keberapa yang ia tujukan untuk suaminya, tetapi tidak mendapat jawaban.

Setelah menuntaskan dahaganya, Aeri ingin kembali ke kamar. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan perempuan dari arah gudang.

“S-siapa?”

Suara jeritan itu semakin keras. Dengan mengumpulkan keberanian, Aeri mendekati pintu gudang dan menempelkan telinganya.

Suara jeritan terdengar semakin pilu. Ditambah, ada suara tumbukan yang entah apa.

Tubuh Aeri membeku. Keringat bercucuran. Ia mendengar suara tawa dari suaminya. Suara tawa yang terdengar menyeramkan.

Aeri tidak bisa lagi berpikir positif. Ia berjalan mundur dan berencana pergi. Namun saat hendak berbalik, tangannya tidak sengaja menyenggol pisau.

Aeri mengarahkan senter ke bawah. Keterkejutannya semakin bertambah ketika melihat pisau itu berlumuran darah.

“I-ini..”

“Hai, sayang. Kamu sedang apa?”

Pintu gudang terbuka dan menampilkan sosok Seungkwan yang sedang tersenyum ke arahnya. Dengan tangan gemetar, Aeri mengarahkan cahaya senter ke wajah suaminya.

Dengan bantuan cahaya seadanya itu, Aeri bisaa sedikit mengintip apa yang ada di dalam gudang.

“K-kamu?”

Seungkwan menunduk dan mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Ia tersenyum dan berkata, “Kau tau sayang, mencintaimu ternyata harus mengorbankan orang lain.”

“M-maksudmu?”

Aeri berjalan mundur saat Seungkwan mendekatinya. Ia menepis tangan Seungkwan saat lelaki itu ingin menyentuh wajahnya.

Seungkwan melotot ke arahnya. Ia mmerasa tidak terima dengan perlakuan kasar Aeri.

“Setelah yang sudah ku lakukan untukmu, kini kau menolakku?!”

Seungkwan menjambak rambut Aeri sampai membuat wanita itu mendongak ke arahnya.

“Apa yang sudah kamu lakukan?”

Aeri meringis, mencoba menggapai tangan suaminya dan berusaha melepaskan diri. Namun, cengkeraman Seungkwan makin kuat seiring seringai dan tawanya yang menajam. Laki-laki itu menatap sang istri penuh nafsu, mengendus aroma leher dan rambutnya. Aeri bergidik, menahan mual dan takut sekaligus.

Dalam gelap, Aeri tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya sinar senter yang mengarah ke sembarang tempat yang membuat matanya terjaga. Saat Seungkwan berkata ini-itu tentang pengorbanan yang ia maksud, sosok gadis berlumuran darah di wajahnya itu bangkit dan berjalan terseok-seok mendekati mereka. Aeri menelan ludah, suaminya belum tahu. Dengan ancang-ancang kuat, gadis itu memukul kepala suaminya menggunakan benda tumpul di sekitar sudut ruangan.

“Ayo lari, Nyonya!”

Aeri pasrah saat tangannya diraih begitu saja. Ia tergopoh-gopoh dalam menyelaraskan langkahnya dengan gadis yang sepertinya lebih muda darinya itu. Otaknya belum bisa mencerna. Di satu sisi tidak percaya dan ingin membantu Seungkwan yang tergeletak tak sadarkan diri, di sisi lain percaya 100% setelah melihat penampakan orang yang kini menggenggam tangannya erat. Dalam pelarian mereka, Aeri bisa melihat darah yang bercecer di sepanjang jalan. Perut gadis itulah sumbernya.

“Aku berhenti di sini.”

Aeri mengerutkan kening. “Ini belum terlalu jauh. Suamiku bisa menemukan kita.”

“Nyonya saja yang pergi. Takdir saya di sini.”

“Mana bisa begitu? Ayo, berdirilah.” Aeri memaksa. Namun, gadis itu menggeleng.

“Tubuh saya lemah. Percuma. Saya hanya akan menghambat Nyonya.”

“Sebenarnya kamu siapa? Apa yang kamu lakukan di rumah saya? Dan kenapa suami saya melakukan ini?”

Gadis itu tersenyum tipis. “Nyonya tidak perlu tahu. Yang jelas—”

“Aeri Sayang! Kami di mana?”

Seketika gadis itu bungkam, begitu pula dengan Aeri. Mereka lekas menunduk, bersembunyi di balik tong sampah yang cukup besar. Gadis yang kesusahan menahan sakit itu lekas menyerahkan selembar kertas pada Aeri dan menyuruhnya berlari.

“Cepat, Nyonya!”

“Tapi—”

“Saya mohon, pergilah.”

Tubuh Aeri menegang saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Terpaksa egois, ia enyah dari persembunyian itu ke arah yang berlawanan dengan Seungkwan. Ia terus berlari dan berlari hingga tak tahu lagi apa yang terjadi. Satu-satunya yang ia tahu adalah lagi-lagi ia mendengar jeritan gadis itu.

Aeri luruh. Hatinya teriris. Seharusnya ia tidak meninggalkan gadis itu sendiri. Namun, apa boleh buat? Ia takut setengah mati. Ia kemudian menepi dan berteduh di sebuah gubuk di pinggir hutan. Secarik kertas yang diberikan padanya itu lekas ia buka. Lekat, Aeri membacanya dalam hati sambil menggigit bibir.

“Terima kasih atas kerja samanya, Nyonya Aeri.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro