The Killer

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi by: setefvi (HTM) & jhounebam (Teenfict)

Di sebuah ruangan yang amat luas terdapat seorang gadis yang tengah menangis dengan memeluk dirinya sendiri. Dia kembali teringat kejadian beberapa bulan yang lalu, saat dirinya baru saja pulang dari sekolah dan harus melihat kedua orang tuanya dibunuh dengan cara yang mengenaskan di depan matanya sendiri.

Orang tuanya tergeletak tak berdaya dengan darah yang selalu mengalir dari kepalanya. Suara tembakan yang  menggelegar di dalam rumah membuat suasana menjadi mencengkeram. Ellen tak tega melihat rintihan kedua orang tuanya saat tentangan yang dilayangkan pembunuh itu. Bahkan mamanya menangis tersedu-sedu meminta di bebaskan.

Saat dirinya tengah mengintip di samping pintu, Ellen tak sengaja menjatuhkan vas bunga didepan rumahnya dan itu menyebabkan dirinya menjadi pusat perhatian. Mamanya yang terlihat tersiksa itu terus memberikan kode kepada Ellen agar dirinya segera pergi. Ellen yang melihat kode dari mamanya ingin rasanya ia menerjang tubuh sosok di depannya itu, namun ia mengurungkan niatnya. Ellen yang menyadari posisinya tak aman pun melarikan diri, dengan segap pembunuh itu mengejar Ellen.

Dengan panik Ellen berlari sekuat tenaga. Saat melewati deretan tong di depannya Ellen segera bersembunyi di dalamnya. Ellen mengatur deru nafasnya dan jantungnya yang terus berdegup kencang. Sebisa mungkin ia membekap mulutnya agar tidak menimbulkan suara.

Setelah memastikan suasana yang kembali sepi ia mendongakkan  kepalanya untuk melihat sekitar.

Tidak ada siapa pun. Sepi. Angin malam yang dingin menembus sampai ke tulang. Tapi setelah mendengar sebuah suara di belakangnya, buru-buru Ellen masuk ke dalam tong lagi.

"Kemana perginya anak itu?" Telinga Ellen berdiri saat mendengar suara itu, suara perempuan yang sepertinya tidak asing baginya.

"Ck! Cepat cari! Kau ke sana, dan kau ke sebelah sana!" Perempuan itu memerintah kedua suruhannya.

Ellen berbalik dan berusaha melihat siapa perempuan itu. Perempuan itu melepas topi hitamnya untuk menguncir rambutnya yang panjang. Saat ia melepas maskernya, Ellen langsung mengenali wajah itu. Ia terkejut sampai terjengkang hingga menabrak tong yang lain dan membuat suara gaduh. Tentu saja perempuan itu langsung menoleh.

Ellen merangkak keluar dari tong dan berdiri berhadapan dengan perempuan itu.

"Amber? Kau dibalik semua ini?!" Ellen berteriak kepada teman sekelasnya itu.

"Well, well. Akhirnya kau muncul di hadapanku." Amber memasang senyum jahat.

"Apa yang kau lakukan terhadap orang tua ku?! Kau benar-benar keterlaluan!!" Teriakan Ellen makin meninggi.

"Justru kau yang keterlaluan! Kau merampas harta keluargaku. Jadi aku harus merampas keluargamu agar impas."

"Apa?! Aku tidak pernah—"

"Ayahmu yang menyebabkan ini semua! Ia membuat ayahku duduk di pengadilan! Semua hartaku hampir disita karena ayahmu!"

"Hartamu? Jadi, barang-barang mahal yang selalu kau bawa itu hasil galian tikus?"

"Beraninya kau!!!" Amber mencengkram kerah baju Ellen dengan geram.

"Jika memang ayahmu bersalah, memang seharusnya ia diadili!"

"Tutup mulutmu! Atau kau rasakan akibatnya." Amber mengancam Ellen dengan menaruh ujung pistol yang dingin di leher Ellen.

Dengan sekuat tenaga ia menendang Amber sampai jatuh ke tanah. Amber terbatuk dan kembali berdiri. Ia mengambil handy talky dari kantong celananya.

"Aku sudah menemukan anak itu. Kalian cepat kembali ke rumahnya dan habisi mereka. Jika sudah, lemparkan saja ke sungai atau dimana saja yang aman." Amber mengancam seolah kemenangan sudah ada di tangannya.

"Sialan!! Kau apakan—"

"Menyerahlah! Serahkan ayahmu ke pengadilan atau kau akan melihat mayat orang tuamu mengapung di sungai."

Telak sudah. Ellen tak kuasa membiarkan hal itu terjadi. Ellen sangat menyayangi orang tuanya. Ia mengepalkan tangannya berniat ingin meninju wanita iblis itu. Tapi Amber lebih cepat menodongkan pistolnya tepat di kepala Ellen.

"Pilihan terbaik ada di tanganmu," bisik Amber sambil menahan tangan yang ingin meninjunya itu.

Kejadian itu sudah terjadi berbulan-bulan lalu lamanya, namun masih membawa trauma bagi Ellen.

"Sudah, nak. Jangan menangis," ucap ayahnya berusaha tegar. Tapi ia juga hampir menangis melihat putrinya yang malang di balik pembatas kaca.

Tangis Ellen semakin menjadi. Ia tak tahan melihat ayahnya yang harus mendekap di balik jeruji besi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro