La Fenice

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Zaskia Putri Zaskia_putri (Fantasi) - Pineapplepie Macaroncrunch (Historical)

* * *

Violleta tak sangka, bahwa guru teaternya mengirim ia kembali ke masa lalu, hanya untuk menyelamatkan sang kerabat lama yang tewas akibat kebakaran Teater La Fenice. Gadis berambut hitam pendek itu celingukan, kebingungan di tengah-tengah kota Venesia yang megah. Dia membungkuk untuk meraih segumpal koran dan membukanya, untuk mengecek pada tahun berapa dia sampai sekarang.

1.774

Kebakaran pertama gedung La Fenice terjadi pada tahun yang sama. Pada masa ini, gedung Opera megah yang seharusnya menjadi tempat penampilan Violleta tersebut masih bernama gedung teater San Benedetto. Menurut penuturan guru teaternya—yang baru-baru ini Violleta ketahui, ternyata menyimpan kekuatan ajaib untuk mengirim seseorang ke masa lalu—sang gadis harus menyelamatkan leluhur pria tersebut, sebab lelaki yang meninggal akibat kebakaran ini menyimpan sebuah rahasia yang dibawanya sampai mati, tak sempat diwariskan ke keturunannya.

"Merepotkan saja. Kenapa harus mengirimku. Aku, kan masih terlalu muda, sihirku juga gak bagus." Violleta mendengkus. Pada tahun ini kamera belum ditemukan, sehingga mustahil baginya menyimpan secarik foto. Berbekal nama belakang, dia harus bisa menemukan seseorang bernama Luciano Verpolitti yang dijadwalkan akan tampil di acara Opera Kerajaan.

Violleta mengemban misi untuk mencegah Luciano datang ke acara tersebut. Sebab penampilannya yang memukau akan membuat pria itu terkenal sehingga diundang untuk tampil di San Benedatto yang akan terbakar di kemudian hari. Tempat kematiannya.

"Ah, repot-repot!" Violleta mengacak-ngacak rambutnya gusar. Dia tak sadar sudah berjalan sambil menatap kaki dan memikirkan tugas ajaibnya. Ketidakfokusan itu menyebabkan sang gadis berakhir menabrak seseorang yang tengah berlari. Keduanya terpukul mundur beberapa langkah.

"Sial," umpat Violleta pelan, bokongnya nyeri sedikit. Di depannya ada seorang pria bertopi dengan rambut cokelat kemerahan yang juga terjatuh. Terlihat dia membawa sebuah biola yang kini keluar dari kotaknya. Berinisiatif, akhirnya Violetta bangkit untuk mengambilkan barang-barang pria tersebut. Dia meraih biolanya dan mata hitam sang gadis langsung tertuju pada sebuah ukiran nama di badan biola.

Luciano Verpolitti.

"Nona?" Luciano memanggilnya, membuat Violleta tersadar kalau dia sudah melamun cukup lama. "Bolehkah saya melihat biola saya?"

Violleta berdebar, dia beruntung bisa bertemu orang ini. Mungkin gurunya memang sengaja mengirimkan dia kemari pada pukul 18.25 begini agar bisa langsung menemui Luciano.

"Tidak bisa. Anda … tidak boleh pergi ke Opera itu."

"Maaf?"

Violleta menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menatap lantai gusar, bagaimana caranya memberitahu pria ini bahwa dirinya akan mati jika tetap tampil?

"Nona?" Luciano memanggilnya sekali lagi. Dia bingung, gadis yang sama sekali tidak ia kenal ini, malah tediam dengan wajah bingung sambil memegang biolanya.

"Acara dimulai pukul 19.00 kan? Kenapa pula anda cepat-cepat pergi ke gedung opera?" Violleta akhirnya memiliki ide untuk menyelamatkan pria ini dari insiden kebakaran.

"Saya biasa berlatih terlebih dulu. Omong-omong, kapan anda mengembalikan biola saya?" tanya Luciano dengan satu alis terangkat di wajahnya. Dia menatap Violleta dengan pandangan aneh sekarang. Menurutnya, gadis di depannya ini bersikap tidak biasa. Bagaimana bisa orang asing yang bahkan baru saja ia temui, berbicara padanya tanpa malu bahkan langsung mengatakan hal yang tidak masuk akal.

Maksudnya adalah, kenapa pula gadis ini melarangnya untuk pergi ke gedung opera?

"Dengar, sir, aku adalah ... Maksudku, namaku Violleta. Aku adalah sahabat dari anak Mrs. Elizabeth. Kau pasti mengenalnya, kan?"

Luciano tercengang. Matanya menatap Violleta dengan tatapan gugup serta senang kali ini. Dalam hati, Violleta tersenyum puas melihat reaksi pria ini.

Violleta memang sempat membaca beberapa buku tentang Elizabeth Amora. Seorang guru musik yang sangat terkenal di tahun 1774. Kabarnya, Luciano sejak kecil di ajari oleh Eliza. Masa lalu mereka begitu mengharukan. Dari buku yang Violleta baca sewaktu menunggu gilirannya untuk tampil, Eliza adalah seorang musisi yang ingin membuka kelas musik sendiri. Padahal, di zaman itu, tidak biasanya seseorang berbisnis. Sekalipun ia mumpuni untuk melakukannya.

Takdir seolah membantu Eliza saat itu. Tanpa sengaja, Eliza melihat Luciano yang masih kecil, sedang memainkan sebuah biola di sebuah taman. Menyadari bakat Luciano, Eliza mendekat dan mengangkat Luciano yang terlahir sebagai muridnya.

"Kau ... Tidak bercanda, kan? Kudengar, madam Eliza meninggal sewaktu melahirkan," ujar Luciano. Tersirat nada keraguan di sana.

Hanya saja, otak Violleta tidak sedangkal itu. Dia dengan cepat berpikir.

"Ibuku memang meninggal, Tuan. Tapi, aku terlahir selamat. Kau tahu, kan ibuku tidak punya keluarga? Pada akhirnya pihak rumah sakit memberikanku pada sebuah panti asuhan."

Luciano mengusap wajahnya kasar. Ia masih ingat betul saat madam Eliza dikabarkan meregang nyawa. Dia menatap Violleta takjub, mungkin usianya dengan gadis ini hanya terpantau 5-10 tahun saja. Karena saat madam Eliza meninggal, dirinya juga masih remaja.

"Maafkan aku. Senang sekali kita bertemu. Namaku Luciano Verpolitti," ucapnya sambil tersenyum. Dirinya juga mengulurkan tangan pada Violleta yang langsung dijabat oleh gadis itu.

"Senang berkenalan denganmu. Jika tidak keberatan, maukah kau menemaniku sebentar? Kita bisa bicara hal yang menyenangkan. Apalagi, aku tahu kau banyak pertanyaan tentang ibu." Violleta tersenyum. Bagaimanapun juga, Violleta harus menuntaskan misinya secepat mungkin.

Luciano melihat jam yang terpasang di tangan kanannya, dia mengangguk.

"Baiklah, tapi maaf aku tidak bisa lama. Sebelum itu, bisakah aku mendapatkan biolaku kembali?"

...

Beberapa menit bahkan Luciano saat ini sudah melewatkan penampilannya. Ya, misi Violletta berhasil setelah dia dengan rinci menjelaskan dengan jujur siapa dirinya. Gadis itu juga menceritakan bagaimana bisa ia tahu Elizabeth, gedung opera, dan Luciano. Bahkan, Violleta menjelaskan darimana dia berasal.

Suasana diantara mereka berdua kini hening. Tidak ada yang bicara. Luciano memandangi gelas cantik yang berisi wine dengan tatapan yang sulit diartikan. Sedangkan Violleta memperhatikan pria itu sambil harap-harap cemas respon apa yang akan diberikan. Hanya saja, Violleta bersyukur dirinya bisa mencegah Luciano datang ke opera.

"Aku tahu kau tidak bohong dari bagaimana ekspresi serius di wajahmu saat kau mengatakannya." Luciano bicara, dia menyesap _wine_ nya sejenak, "tapi aku akan tetap pergi ke opera. Aku akan tetap tampil. Mereka mungkin akan mengumpat karena aku terlambat, namun aku tidak boleh mengubah masa depan."

BRAK!

"Hey bodoh! Apa aku gila? Lalu, untuk apa aku dikirim ke sini jika pada akhirnya semuanya gagal?" Violleta menggebrak meja dan meninggikan suaranya. Beruntung, restoran tempat mereka berdua berbincang sedang sepi, karena rata-rata penduduk di kota ini lebih memilih mengunjungi gedung opera.

"Dengar, mengenai wasiat itu, akan ku beritahu. Sebenarnya, gedung opera La Fenice adalah tempat terkutuk. Banyak yang memiliki praktik sihir terlarang. Aku harus memusnahkannya dengan membakar gedung itu!"

"A-apa?" Violleta tak habis pikir dengan apa yang di dengarnya ini. Jadi, kebakaran gedung itu bukan karena kecelakaan biasa tapi di sengaja? Pun dengan pelakunya adalah Luciano sendiri, orang yang harus dia selamatkan dalam misi ini.

Luciano mengangguk, "mungkin aku di masa itu tidak sempat mewariskan hal yang penting pada keturunanku karena memang tidak sempat, tapi hari ini aku bertemu kau. Dengar, wasiat itu tidak istimewa. Gedung ini akan terus terbakar hingga ... Dari tahun berapa kau berasal?" tanyanya bingung.

"1998,"

"Itu berarti gedung ini akan terus terbakar hingga tahun 1960," ujar Luciano membuat Violleta menatapnya bingung.

"Bagaimana mungkin?"

"Itulah efek samping dari menghapus sihir hitam secara paksa. Gedung opera itu secara random akan terbakar di waktu yang tidak pasti hingga beberapa tahun mendatang. Kau pasti pernah mendengar desas-desus tentang gedung opera itu, kan?"

Violleta tidak menjawab, namun dalam hatinya ia membenarkan bahwa gedung ini digosipkan terkutuk. Hanya saja, karena banyaknya penampilan menakjubkan dan zaman sudah mulai modern, La Fenice tetap sukses menggaet penonton.

"Jadi, apa wasiatnya?"

"Sederhana. Jangan membangun gedung apapun selama beberapa tahun mendatang hingga gedung ini berubah nama menjadi La Fenice. Dengan begitu, kerabat gurumu akan selamat." Jelas Luciano.

Violleta mengerti maksud dari Luciano. La Fenice dibangun di tahun 1990. Itu berarti, ia hanya harus meminta gurunya sekali lagi untuk melakukan perjalanan waktu.

"Kau ... Tidak apa-apa mati malam ini?" tanya Violleta. Karena bagaimanapun, rasanya mengerikan jika kita tahu kapan kematian menyerang.

"Tidak apa. Sudah takdirku, Vio." Luciano tersenyum. Kemudian, dia pamit untuk pergi dan meninggalkan Violleta dalam keheningan.

Misinya berhasil. Hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali ke La Fenice lalu menjelajah waktu sekali lagi.

Sayangnya, entah mengapa, hati Violleta rasanya sesak tanpa alasan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro