Mantra

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Lira Altair Liraaltair (Teenfiction) - Nuris risitya (Romance)

* * *

Pukul 3 sore, tetapi sedang hujan deras. Suasana yang mendukung untuk bersantai ini aku pakai untuk menulis.

Laptop sudah menyala, aku membuka aplikasi yang sering kugunakan untuk mengetik sesuatu. Banyak draf berisikan cerpen yang kubuat, beberapa sudah tamat dan sisanya dalam proses penyelesaian. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini aku tidak akan membuat cerpen, aku hanya ingin berbagi cerita mengenai kejadian yang pernah aku alami pada saat kelas 10 SMK. Cerita itu akan aku unggah untuk dibagikan kepada para pembaca yang sudah menantikannya.

Jari-jariku sudah berada di atas keyboard, siap mengetik hanya saja bingung untuk memulainya. Akhirnya kuputuskan untuk membuat tulisan simpel saja.

Hai, ini aku Cici! Sebelumnya terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Kali ini aku tidak akan memposting cerita pendek seperti biasanya, aku ingin berbagi pengalaman menakjubkan yang dulu pernah aku rasakan. Kejadiannya sudah lama, sekitar 5 tahun lalu, tetapi tenang saja karena aku masih ingat betul detailnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ayo kita mulai ke inti ceritanya.

Hari itu aku mendapat jadwal piket dan kebetulan seksi kebersihan menyuruh aku untuk membuang sampah. Awalnya aku menolak, mengingat tempat sampah yang jauh dari kelas, sedikit informasi saja kalau sekolahku tidak menyediakan tempat sampah di depan kelas. Sore itu dengan langit yang gelap karena ingin hujan, mau tidak mau aku membuang sampah. Suasana di sekitar sekolah sudah sepi, beberapa guru juga mengingatkan para murid untuk cepat pulang.

Sudah kesal karena disuruh membuang sampah, aku juga harus dibuat kesal karena teman-teman yang piket hari itu meninggalkanku di kelas. Mereka sudah pulang lebih dulu. Aku jadi sendiri di kelas, membereskan buku-buku yang belum sempat kurapihkan. Di saat itulah tanpa aku sadari seorang penjaga sekolah mengunci pintu kelas. Dia tidak melihatku karena aku sedang jongkok—mengecek kolong meja. Begitu ingin ke luar, aku panik karena tidak bisa membukanya.

Aku ingin menghubungi seseorang, tetapi saat itu aku tidak punya kuota dan pulsa. Di malam hari, baterai handphone aku habis. Lalu nasibku bagaimana? Ya, apalagi yang bisa kulakukan selain menginap di kelas. Bayangkan, menginap di kelas! Sesuatu yang selama ini hanya bisa kulihat di film-film, sekarang terjadi padaku.

Semalaman itu berjalan normal—tidak ada hal yang menggangguku—tetapi saat aku bangun, sesuatu mengejutkanku. Sapu yang kemarin aku pakai untuk piket bergerak sendiri. Aku hampir menangis karena ketakutan, mengira kalau itu hal mistis. Untuk beberapa saat aku terdiam, mulai berpikir apa yang sebenarnya terjadi, apa penyebab sapu itu bergerak sendiri? Hingga di suatu titik aku menyadari sesuatu, sepertinya ini karena ucapanku saat piket kemarin.

Kemarin karena sepi di kelas sendirian, akhirnya aku putuskan untuk menciptakan teman khayalanku sendiri, seperti saat aku kecil dulu, saat aku di rumah sendiri dan kedua orang tuaku pergi bekerja. Aku menciptakan seorang ibu peri yang cantik dan berhati baik, menemaniku sampai aku terlelap dan kembali terjaga saat orang tuaku kembali, namanya Daphne.

Hari itu, saat seluruh ruangan di penuhi lampu-lampu dan hawa dingin malam mulai menyapu tengkukku, aku mulai membayangkan kehadiran Daphne. Sosok wanita cantik muncul saat aku mulai melafalkan mantra yang kulihat di film-film.

"Abracadabra!" ucapku seraya berpura-pura mengayunkan tongkat sihirku, maksudku sapu yang ku pegang.

Wanita cantik dengan gaun serba hitam dengan sebuah topi corong khas penyihir, begitulah penampilan Daphne yang kulihat. Entahlah, dia tidak seperti sosok ibu peri bergaun putih dengan sayap dan tongkat sihirnya yang serba putih. Tapi tidak apa-apa, toh aku memang membutuhkan seorang teman yang bisa mengusir sepi.

"Daphne, apakah ada mantra yang bisa membantuku bersih-bersih?" tanyaku pada wanita itu, aku lalu terkekeh sendiri.

Wanita itu memamerkan garis lengkung yang membuat wajah cantiknya terlihat menakutkan. Aku berpura-pura mengabaikan Daphne yang kulihat masih dengan seringai di wajah pucatnya. Akhirnya aku ingat sebuah mantra Wingardium Leviosa salah satu mantra pertama yang muncul dalam seri Harry Potter and The Sorcerer’s stone, mantra yang digunakan untuk menerbangkan barang, dan barang yang kucoba untuk terbangkan adalah sapu lidi.

"Wow!" decakku takjub saat kedua manik biji kopiku melihat sapu itu bergerak secepat kilat terbang keliling ruang kelas dan kini berhenti tepat di depanku. Tubuhku bergerak dengan sendirinya, duduk di atas gagang sapu lidi.

"Bukankah aku kini terlihat seperti seorang penyihir, Daphne?" tuturku.

"Sapu, kau bisa kan membawaku menyusuri koridor?" tanyaku seraya mengelus gagang sapu yang aku tumpangi.

"Kau mau kutemani?" tanya wanita cantik yang secara ajaib tiba-tiba saja berubah menjadi seekor kucing dengan bulu hitam yang lebat.

"Daphne, kau kah itu?" Aku menatap kucing hitam dengan mata hijaunya yang cantik, kucing itu lalu melompat dan duduk tepat di depanku.

Suasana sekolah yang awalnya terlihat menyeramkan, dengan jentikan jari dan kalimat Abracadabra, dalam sekejap mata kini dipenuhi lampu-lampu dan kunang-kunang yang nampak cantik.

"Daphne, apakah ini mimpi?" Aku mengelus kepala kucing hitam di depanku.

"Kalau kamu memang menganggap ini sebagai bunga tidur, maka, iya. Anggaplah sebagai mimpi," ucap kucing, salah, Daphne padaku.

Entah kenapa, ucapan Daphne membuat kedua netraku terasa berat, tiba-tiba saja aku mengantuk. Dan, di sinilah aku sekarang di ruang kelasku bersama dengan sapu lidi yang masih bergerak sendiri di depanku.

Buru-buru aku mengucapkan sebuah mantra yang aku ingat dari film yang sama Harry Potter sebuah mantra pelumpuh, aku mengayunkan tanganku ke arah sapu sembari berucap, "_Petrificus Totalus!_" Sesuai yang kuduga, sapu itu berhenti, terjatuh tepatnya.

Aku langsung menyimpan sapu di tempat semula, aku segera ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, aku yakin kalau orang tuaku pasti khawatir. Selesai. Itu adalah pengalaman ajaibku, aneh, tapi entah kenapa hal menakjubkan itu terjadi padaku. Kalau saja sihir memang ada, pasti segala sesuatunya bisa jadi lebih mudah dikerjakan bukan?

Baiklah, terima kasih sudah membaca tulisanku, para pembacaku yang setia. Sampai jumpa lagi pada ceritaku selanjutnya.

Salam penuh cinta, Cici.

Aku meregangkan otot-otot tubuhku, bergerak menuju dapur dan mengambil cangkir, lalu kubuat satu saset kopi siap seduh. Hujan di luar sana nampaknya akan awet, aku memutuskan untuk menutup laptop dan menikmati secangkir kopi dengan asap yang mengepul menguarkan aroma khasnya yang menenangkan. Aku duduk di sebuah sofa di dekat jendela, melihat air demi air yang mengalir di kaca jendela. Tiba-tiba sebeuah ide baru muncul di benakku, aku bermaksud akan kembali melanjutkan tulisanku, kali ini mungkin akan lebih menguras emosi.

"Hujan membuatku rindu, pada dia yang tidak pernah bisa kuraih," kataku tersenyum getir mengingat sosok seorang pria tampan yang bulan lalu berkata aku dan dia tidak bisa menjadi kita.

Aku melirik pada sebuah surat undangan pernikahan berwarna merah muda dengan nama Yudistira dan Finna yang tertera di halaman depan undangan. "Sialan, kalau saja ada mantra yang bisa membuatku melupakanmu," gumamku seraya menyesap sedikit demi sedikit kopi hitam di cangkirku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro