Murid Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kolaborasi: Acar Step AcarStep (Action) - Nia NiaHindrawati (Romance)

* * *

Kembali lagi di hari yang sangat tidak aku sukai, hari senin. Apalagi keadaan sekarang yang membuatku ingin cepat-cepat ngadem di kelas dan berbaring di bawah kipas angin.

Upacara bendera.

Aku terus melirik ke arah jam tanganku yang jarum panjangnya hanya bergerak beberapa kali. Apakah waktu di dunia sekarang melambat dua ratus persen?

Sudah sepuluh menit sejak para pengibar bendera selesai dengan kegiatannya. Sang pembina upacara masih setia berdiri dan berbicara. Aku ingin pingsan sekarang juga.

“Demikianlah yang bisa bapak sampaikan. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Terima kasih.”

Selesai dengan prosesi amanat, aku langsung terjatuh. Aku bisa merasakan teman-temanku yang menggotongku hingga ke ruang UKS.

Hawa sejuk yang dihasilkan dari AC yang ada di sana membuatku langsung lega. Aku dibaringkan dan dibiarkan sendirian di ruangan itu. Namun aku ceroboh. Aku ketiduran.

Aku membuka mataku dan melirik jam yang menunjukkan waktu istirahat. Aku memutuskan untuk pergi dari ruangan itu dan bergegas ke kelasku.

Sekolahku terdiri dari tiga lantai. Kelasku berada di lantai yang paling atas. Jangan heran kenapa siswa yang kelasnya ada di lantai teratas selalu ngos-ngosan ketika turun ke kantin.

Melewati kelas XI IPS D, aku melihat seseorang yang dengan sengaja melempar kertas yang telah dibentuk menjadi bola ke laci meja yang letaknya ada di depan meja guru. Dari tampangnya, aku bisa menebak ia adalah pembully. Lihat saja dari cara ia berpakaian. Celana yang ketat, baju dikeluarkan, serta tak memakai dasi.

Ia melempar bola kertas itu beberapa kali, hingga aku tak menyadari sang pemilik laci telah melewatiku dan masuk ke kelas itu. Ia menatap orang yang melempar kertas itu dengan tatapan datar. Kutebak ia adalah murid baru pindahan dari sekolah lain. Bisa dilihat dari seragamnya yang sangat mencolok.

“Kamu melakukan apa?” ucapnya.

“Kamu melakukan apa?” tiru sang pembully dengan nada mengejek.

Sang pemilik laci pun dengan segera melempar tumpukan bola kertas itu dari lacinya, membuat sang pembully merasa marah.

“Kau berani membuang itu?”

Sang pemilik laci merapikan posisi kacamatanya. Ia lantas menatap sang pembully dengan tajam.

“Kau membuat sampah di daerah milik orang lain. Seharusnya perbuatan itu adalah perbuatan yang harus dilaporkan ke guru BK.”

“Kau ingin melaporkan ini ke guru BK?”

Dengan cepat, sang pembully memukul pipi orang berkacamata itu hingga terjatuh. Reflek aku segera masuk ke kelas itu dan menolong sang pemilik laci.

“Oh. Ada pahlawan kesiangan ternyata.”

Ia hendak memukulku. Aku membalas dengan menendang kakinya terlebih dahulu, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh. Dengan kesempatan itu aku segera membantu orang berkacamata itu bangun dan keluar dari kelas.

Baru saja keluar, sang pembully melempar penghapus papan tulis ke arahku, membuatku menoleh marah dan mengisyaratkan agar orang berkacamata itu pergi ke UKS duluan.

“Jangan ikut campur,” ucapnya.

“Aku tidak ikut campur. Aku hanya membantu dia untuk berobat di UKS. Salahkah?”

Kehabisan kata-kata, ia kemudian berlari dan memukul perutku. Aku tak sempat menghindar dan berakhir terkulai lemas. Aku hendak ingin berdiri, tapi orang itu menginjak punggungku dengan keras beberapa kali.

Aku meringis kesakitan. Kalau begini terus punggungku bisa-bisa remuk seketika. Aku yang sudah tidak berdaya, perlahan mulai hilang kesadaran. Namun, sebelum benar-benar jatuh pingsan, di dalam benak hati ini, aku ingin melihat wajah Liani.

"Liani. Di mana kau saat ini? Tidak bisakah kau datang menolongku?" Aku bergumam di dalam hati.

Seperti memiliki telepati, sayup-sayup aku mendengar suara Liani. "Apakah dia datang?"

"Hentikan, Woi! Pergi jauh-jauh sana dari tubuh pacar aku! Berani sekali kau menginjak-injaknya sampai menjadi tidak berdaya seperti ini! Salah pacarku itu apa? Apa kau lihat-lihat? Ingin membalasku? Silakan! Hajar aku! Pukul aku! Cepetan! Kenapa diam melotot begitu?"

Dengan mata terpejam, aku menarik kedua sudut bibirku ke atas. Ya, aku tersenyum di tengah rasa sakit yang mendera. Penolong hidupku telah datang. Aku lega.

Sepertinya bukan hanya Liani saja yang datang kemari untuk menolongku. Aku mendengar suara Bu Yustina, guru BK, memerintah kepada entah siapa untuk mengangkat dan membaringkan aku ke atas tandu. Aku lantas dibawa ke ruang UKS.

Aku merasa sedikit baikan begitu petugas UKS selesai mengobati lukaku.

"Kau jangan terlalu banyak bergerak dan tetaplah berbaring sementara di sini!" pesan si petugas UKS sebelum ia keluar meninggalkan aku seorang diri.

Dengan tubuh terbaring telungkup, aku melihat Liani melangkah masuk lalu datang mendekatiku.

"Apakah sakit?"

"Sakit pake banget," jawabku lirih.

"Siapa suruh kau untuk berurusan dengan siswa pembully itu? Aku sudah berulang kali peringatkan kau untuk jauh-jauh darinya, 'kan?" ucap Liani.

"Maafin aku, ya, Ay. Tadi itu aku niatnya menolong siswa yang sepertinya murid baru di sekolah ini," jawabku memberi tahu Liani.

"Hm? Apa yang baru saja kau katakan? Siapa menolong siapa?" tanya Liani bingung.

"Kenapa, Ay? Ada apa memangnya?"

"Keteranganmu barusan, kok, berbeda sama keterangan yang diucapkan oleh siswa yang kau anggap murid baru itu kepada Bu Yustina, ya?"

"Bagaimana kau bisa tahu? Jangan-jangan kau menguping, ya, Ay?" tebakku.

"Tepatnya tidak disengaja, sih. Siswa yang kau anggap murid baru itu bilang kalo dia yang menolongmu, tapi ia juga malah kena pukul di pipi makanya ia berinisiatif segera lari ke ruang BK untuk melapor."

Aku menghela napas pelan usai mendengar laporan dari Liani. Wah, memang dasar kampret itu anak! Bisa-bisanya dia memutarbalikkan fakta seperti itu, batinku.

"Jangan terlalu dipikirkan, Ay! Jadikan itu pelajaran buatmu untuk lebih jeli lagi kepada orang!"

Seolah bisa membaca pikiranku, Liani mulai memberi petuah-petuahnya kepadaku. Aku pun mendengarkannya dengan seksama.

"Model siswa macam murid baru itu tidak pantas untuk kau tolong. Jangankan berterima kasih, datang kemari untuk sekadar menjenguk pun enggan karena dia sudah terlanjur berambisi melakukan pencitraan diri di depan guru."

"Baiklah. Mulai saat ini, kalau ada kejadian serupa seperti tadi, aku tidak akan turut ikut campur dan menjadi orang yang sok hebat. Terima kasih banyak, ya, Ay. Bagaimana aku jika tak ada kau di sisiku? Aku begitu beruntung bisa memiliki pacar yang sangat perhatian sekaligus tangguh dan pemberani sepertimu."

"Ah! Kau ini bisa saja," balas Liani malu-malu.

"Bisa, dong. Siapa dulu? Aku gitu loh," pungkasku mengakhiri percakapan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro