BAB I - Meet The Past

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Girls, jangan meragukan diri kalian mengenai single atau jomblo. Karena bagi perempuan, yang lebih penting seharusnya, diakui dalam Kartu Keluarga, bahwa kamu dan dia ada dalam satu lembar KK.

Seorang wanita dengan seorang pria sedang duduk saling berhadapan, saling pandang dan saling menebar senyum. Tiga perempuan tengah mengisi tiga kursi di tengah-tengah ruangan itu tergelak setelah salah satu di antara mereka menunjukkan ponsel genggamnya. Seorang pria kemudian melangkah masuk, mengambil tempat duduk paling ujung, berhadapan dengan tiga orang perempuan itu. Dia melempar tatapan ke seluruh penjuru lalu merentangkan salah satu tangannya. Akhirnya, gelagat pria ini segera terbaca oleh sosok pria bertubuh tinggi dan ceking yang telah melangkah kearahnya dan tersenyum sembari mengulurkan buku besar kepadanya.

Pria bertubuh ceking itu kemudian melangkah menjauh setelah usai dengan tanya-jawab tentang apa yang ingin dia ketahui mengenai isi dari buku besar itu. Dia mengalihkan tatapannya ke ponsel sejak tadi dia genggam, seperti tiga perempuan tadi, dan seperti sepasang pria dan wanita telah sibuk menatap ponsel masing-masing. Senyumnya tiba-tiba mengembang dan jemarinya mulai mengetuk-ngetuk layar ponsel begitu cepat.

"I know you are jomblo. But, seeing a man like that was not you, Honey. Whats wrong, Echa?"

Seruan itu menarikku untuk mengalihkan tatapan dari orang-orang yang menjadi pengalihan rasa bosanku. Memutar kepala ke depan, aku melihat perempuan yang sedang menopang dagu di depanku dengan kening yang terlipat dalam, dan melepas pandanganku dari hujan di luar yang masih tetap enggan menyurutkan lebatnya sejak pagi tadi.

"Gue bakal di ruwat sama nyokap gue, kalau gue nggak bisa bikin anak laki orang jadi pacar sah gue." jawabku kemudian. Aku menghela nafas lagi untuk memberi jeda. "Mama gue bilang, gue mungkin punya nasib buruk sejak lahir."

"Awak bingung sama kau. Apa salahnya mamak kau ngeruwat kau." seru pria bertubuh tambun yang kali ini menyahut dengan logat Medan kental. "Cak* lah bentar kau, mungkin kau memang lagi banyak bala-bala penghalang jodoh."

"Nah, Pak Bos bener. Mungkin, you ever made the biggest mistake with someone. Jadi kayak gini."

I don't think so, Nya. Tapi disela hidup yang aku jalani, i never made the biggest mistake on my life.

Aku menghedikkan bahuku tak acuh sebagai jawaban.

Kembali, aku mengalihkan tatapanku ke luar restoran ini yang dibatasi jendela kaca transparan, melihat beberapa lalu lalang orang-orang yang sedang menghentikan langkahnya tepat di depan restoran ini, kemudian nampak sepasang pria dan wanita berangkulan saat melewati restoran ini, satu wanita degan seragam warna merah sedang melangkah tergesa-gesa, dan dua bule sedang melihat banner menu yang ada di depan restoran yang kami singgahi.

"Echa!" panggil Anya dengan menjentikkan jemarinya di depanku.

Kembali lagi, aku menarik tatapanku mengarah pada Anya, yang tengah mengerutkan keningnya begitu dalam. Sedangkan pria tambun yang kusebut Pak Bos, nampak mengerutkan keningnya dengan mulut mengunyah penuh makanan.

"Loe nggak sedang memikirkan lirik lagunya Oppie Andaresta, 'kan?" timpal Anya bernada sarkas. Sedetik kemudian, kedua tangannya menopang kening kepalanya di atas meja, mendongak untuk menatapku, dengan raut dibuat iba, "Honey, Single is not words that couldn't add on adjective like Happy. Single doesn't make you happy. Single doesn't make everybody happy."

Benar! Single doesn't make me happy, Nya.

Aku hanya menghela nafas dalam, lalu membuangnya, "Terus gue harus apa? Setuju sama saran Ibu buat ngeruwat gue, gitu?"

Kepala mereka mengganguk bersamaan.

Oh good!

"Kalian ini gila, ya? Daripada gue harus diruwat, mending gue ubah sekalian ini muka. Gue ini cewek berpikiran maju, never thinking like My Mom did. Emang dengan gue ngeruwat nama gue jadi baru, bisa menutup kemungkinan gue dapet laki? Nope. Do you know what I called them?" Aku menghentikan kalimatku, menatap mereka berdua bergantian. Tanpa menghiraukan jawaban mereka, aku kembali melanjutkan penggalan kalimatku. "udik, Stupid, and it's so old fashion, Gays. Do you know that? Old fashion, yang harusnya, we never thinking that AGAIN."

Anya kembali menghela nafas lebih keras ketimbang tadi. Mungkin dia lelah dengan asumsinya yang memang nggak mampu memengaruhi memori visualku, "Honey, semua orang tua menginginkan kebahagian untuk anaknya. Maybe, after your mom will do ruwatan, you got a man, sexy-hot-bastar—" Anya menggantungkan kalimatnya tiba-tiba.

"Nya?"

Keningku mengkerut menyadari tatapan matanya mulai nampak berbinar-binar aneh. Pandangannya telah beralih tidak fokus ke belakangku, bergerak-gerak dengan kilatan binar semangat. Mulutnya juga ikut bergerak ke bawah, merosotkan rahang runcing yang ia miliki.

Aku menuntut penjelasan ke Pak Bos. Tapi pria tambun itu hanya memainkan kedua alisnya ke atas dan ke bawah, dan dagu bulat tertunjuk ke belakangku. Sampai terdengar nama yang menggema samar di belakangku, membuatku terkejut bukan main.

"Agaz!"

"Heh Ruli!"

Aku meneguk ludahku yang tiba-tiba kelu.

"Udah lama? Uda pesen?"

"Udah dari tadi. Loe sama Rena udah guwe pesenin makanan."

"Pindah tempat di situ aja, ya? Kasihan Rena, dia nggak bisa kena AC, habis kehujanan juga tadi."

"Gue nggak masalah, by the way." Suara perempuan itu terdengar disela percakapan mereka, pun menjadi perbincangan terakhir mereka. Setelah itu, tak ada suara lagi. Kecuali, suara langkah kaki yang berjalan mendekati tempat yang kududuki saat ini.

Ini, benar-benar dia?

Ini Jakarta, yang punya jarak bermil-mil dan perlu waktu berjam-jam untuk membawa seluruh tubuhnya dari Surabaya ke Jakarta. Yang artinya, hanya ada kemungkinan kecil pertemuanku dengan pria masa lalu ini, dan cuma seperempat debu kenangan yang nggak penting buat di kenang.

Entah sejak kapan, indra pendengaranku tiba-tiba berfungsi lebih dominan dari sebelumnya. Pasalnya, aku bisa merasakan tempat duduk yang letaknya di belakangku berderit tiba-tiba.

Aku menoleh ke kiri. Tubuh belum seluruhnya membalik, dan karena merasa kurang puas, telingaku masih menyadap perbincangan mereka dengan punggung merapat ke sandaran kursi.

"Gue nggak nyangka loe mau keluar dari kantin kantor, Gaz."

"Nggak apa. Gue cuma penasaran sama restoran ini, Rul. Sekalian tadi habis sholat Jumat sekitar sini dan emang janjian sama Rena."

Suaranya kembali memelan. Karena hal itu, membuat tubuhku semakin menukik ke belakang dengan kaki yang tak sadar telah berjengkit dari lantai, menangkap kata per kata dari orang di belakangku.

"Cha, Echa." panggil Pak Bos.
Pandanganku beralih ke depan, menangkap kedua bola mata pria tambun ini mengarah ke bawah. Seakan menunjukkan wajah sedang memberiku peringatan.

Karena aku belum bisa menangkap maksudnya, telunjuk bebasku memilih berada di atas bibirku, bermaksud mengecamnya agar diam.

"Echa, awak mau cakap kalo kau mau jat—" omongan Pak Bos tergantung percuma.

Sialan!

Single sofa yang kududuki tadi, telah terjatuh ke belakang. Kakiku telah terjulur ke atas dengan punggung merapat di sandaran kursi yang telah tergeletak di atas lantai. Dan saat aku menengadah ke atas, bukan langit-langit restoran yang aku lihat, melainkan tiga wajah pria. Salah satunya, wajah dari pria tambun ini, yang sedang terkikik geli dan salah keduanya, sosok pria tadi, pria yang menjadi objek pengalihan rasa bosanku, yang kutangkap Agaz memanggilnya 'Rulli.'

Salah ketiganya?

Dia. This man has been complete changeover for the better.

Dari bawah, kulit wajah coklat dan rahang yang tegas itu nampak kentara jelas di mataku. Ada bulu-bulu tipis di bawah rahangnya. Dagu yang menonjol ke depan. Dia dulu tidak memiliki otot lengan yang menyembul dari balik kemejanya, tetapi, nyatanya, kedua lengan itu nampak berotot keras dengan kedua lesung pipit yang sampai saat ini kuingat. Sangat jelas.

"Mbaknya nggak apa-apa?"

Bukan dia. Karena dia telah memundurkan langkahnya setelah melihat siapa perempuan yang tengah jatuh mengenaskan ini.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku pelan sebagai jawaban.

"Kau tak apa, Cha? Tak geger otak, kau?" tanya Pak Bos membungkukkan tubuhnya. Pak Bos siap mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri dengan—"Bedogol* kali kau ini!"

Mataku hanya mampu memutar malas mendengar ledekan Pak Bos.

Pak Bos telah menyelipkan tangan besarnya ke kedua punggungku dan membantuku beranjak dari punggung kursi yang menempel di lantai.

Tanganku menyisir rambut sebahuku, merapikan rambut yang sudah acak kadut. Lalu mengulum senyum ke arah Agaz. Tidak ada satupun reaksi.

Aku menarik kesimpulan untuk berbasa-basi dengannya. "Gimana kabarmu? Lama ya nggak berjumpa."

Anya dan Pak Bos pasti sedang mengerutkan keningnya dengan penuh tanya. Wajah mereka telah menyiratkan jelas, How could si bego ini know this man?

Dia masih menatapku dengan kerutan di keningnya. Bibir tipis yang berwarna merah itu masih merapat, tidak ada satu niat pun untuk terbuka. Sebenarnya, aku tidak memiliki sebersit rencana untuk mengenal dia lebih dalam, atau mencoba lebih dekat dengan dia seperti dulu. Tapi, kalaupun sekedar berharap dia mengangguk, mengiyakan telah mengenalku, nggak merubah asumsi bahwa aku sedang mengharapkan dua hal itu terjadi pada kami, bukan? Aku hanya ingin berbasa-basi saja.

"Kamu kenal?" tanya wanita berbadan dua menyela perbincangan kami.

"Nope, Rena. Aku nggak tahu siapa dia." jawabnya sinis, sempat melirikku, lalu membalikkan tubuhnya dariku. Langkahnya terhenti, kembali memutar tubuh ke arahku sambil berkata. "By the way, perempuan menguping pembicaraan orang lain itu nggak baik. Kena karmanya, kan?"

Itu kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya. Karena setelah itu, pria yang menyerupai Agaz ini keluar dengan alasan, "Kita pindah tempat. Gue nggak suka ada cewek yang sok pengen tahu obrolan orang."

Terdengar suara kikikan di belakangku. Aku kemudian menelengkan kepalaku ke kanan, melihat Pak Bos dan Anya sedang tersenyum meledekku.

Tubuhku berbalik hanya untuk bisa menangkap punggung lebarnya yang telah berlalu dariku. Pria itu mengikuti Agaz yang tengah keluar dari restoran ini setelah menaruh beberapa lembar uang ratusan. Dan perempuan berbadan dua itu telah menjadi incaran mataku saat tangannya melingkar di lengan Agaz.

"Sok kenal ya kau!" timpal Pak Bos.

Masih, aku tetap menatap mereka yang telah keluar dari dalam yang dibatasi oleh kaca jendela yang tranparan ini.

Anya telah berada di sampingku, "Gue juga bakal ngelakuin hal sama kayak elo kok Cha. Bahkan dijadikkan istri kedua, gue rela buat taken kontrak di KUA sekarang." seru Anya dengan menepuk bahuku, dengan nada begitu antusias.

Kepalaku meneleng ke kanan, menatap wajahnya dengan kedua bola mata telah membulat sempurna, "Itu Agaz, Nya!"

Pak Bos mengerutkan keningnya begitu dalam. Anya melangkah ke depanku, mengusap dagunya dengan kerutan kening yang sama dalamnya dengan pria tambun ini. Pak Bos diam. Hanya Anya yang membeliakkan kedua matanya.

"Are you kidding me? Seganteng itu loe putusin, Echa?!" pekik Anya tertahan, mengguncang kedua bahuku.

"Mantan kau?" tanya Pak Bos yang langsung kujawab dengan anggukan kepala. "Kok tak kenal kau?" tanyanya lagi membuatku mengangkat bahu.

"Mungkin dia lupa, Pak Bos." jawabku seadanya, menatap mereka berdua bergantian.

"Atau dia malas mengingat kau. Kau ini bedogol pulak, ya? Ganteng kek gitu kau putusin."

"Emang dia bego. Udah ketangkep nguping, jatuh di depan dia, duhh, wajah loe mending di operasi deh. Atau loh mending harus diruwat beneran deh, Cha." timpal Anya.

Aku tidak memedulikan olokan dari mereka berdua. Yang aku pedulikan saat ini, air yang tiba-tiba mengalir dan membasahi kedua pipiku. Mungkin hanya tetesan air hujan, yang nggak sengaja merembes di dinding restoran. I was newcomer in Jakarta. and I have been knowing Jakarta will be sinking faster than any other big city on the planet.

Bahkan, salah satu bioskop di daerah Kasablanka juga pernah mengalami musibah banjir. Jadi, bisa juga kan, Grand Indonesia menjadi korban selanjutnya.

Tapi saat aku mendongak ke atas, tidak ada setetes rembesan air dari atas langit-langit restoran.
I think Grand Indonesia is safe and sound now.

Suara logat Medan itu tiba-tiba menyahut lagi, "Alamak! Napa pulak kau nangis!"

Grand Indonesia was safe, but my heart suddenly started racing.

###
Cak : coba
Bedogol  : bego

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro