Bab IV - Berkelit atau bergelut dengan masa lalu?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Percaya nggak, jika seks adalah proses jatuh cinta bagi para pria? Karena, para pria nekat untuk bertarung meski kerempeng. Nah saat berjauhan, otak para pria memerlukan kebutuhan BIOLOGIS PRIMITIF.
He needs Hormon, girls. So be gentle with them. :)
twitter - Rudy Hasan.

"Mungkin dia memang punya niat buat memperbaiki hubungan sama loe. Be positive, honey." ujar Anya kalem dengan mengambil ayam ke piringnya menggunakan capit aluminium.

Aku menghela nafas berat begitu mendengar pendapat Anya. Tidak ada yang benar dari Be positive untuk menanggapi ajakan dari pria bernama Agaz. Alih-alih berpikir positif, yang ada, aku malah tersudutkan. Seperti kemaren.

Sikutan Anya di pinggangku, membuatku mengangkat kaki mengikuti langkahnya, yang mengarah pada pojok ruangan kantin, dan menghampiri pria tambun itu.

Saat tubuhku mulai mendekati mejanya, aku terkejut bukan main. Aku berceletuk dengan duduk di depannya, "Loh daging rendang sama nasi sekulinya mana Pak Bos?"

"Cam mana kau. Ini istri awak yang bikin. Kalo tak habis, bisa tak dapat jatah awak!" keluh Pak Bos dengan mulut mencebik sebal.

Kami berdua tergelak kemudian, menatap raut wajah bos kami yang tengah cemberut saat melahap potongan daging terbalut dengan selada air kecut itu ke dalam mulutnya. Wajahnya mengkerut, menahan rasa asam dari perasan jeruk lemon, lalu mengambil cepat-cepat ayam milik Anya.

Perempuan di sampingku nampak memberengut kesal saat ayam satu-satunya di dalam piringnya telah berada di tangan besar Pak Bos dan telah digigit setengah. Anya siap meledak, sebelum tanganku menarik lengannya agar segera meredamkan kemarahannya.

"Jadi kemaren lalu, perempuan itu bukan istrinya Agaz?" tanya Pak Bos, mengakhiri perdebatan sengitnya dengan Anya, lalu menatapku dengan kening mengkerut.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Dan Putra yang kau cakap Datuk Maringgi itu, si Agaza Putra? Cem mana kelen ini, ku rasa kelen ini jodoh."

Aku menganga tak percaya. Apa-apaan itu?

Anya yang duduk di sebelahku terdengar menghela nafas, lalu berujar, "Jadi, loe setuju kan buat pergi sama Agaz atau Putra, atau Datuk Maringgi loe itu?" tanyanya kemudian, menelengkan wajahnya kepadaku.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku pelan dengan mengaduk lemas gado-gadoku.

"Kenapa kau tak oke saja? Kau tak sor(suka) sama Agaz?" tanya Pak Bos dengan menyilangkan tangannya di atas meja, meletakkan ayam goring milik Anya di kotak bekalnya.

"Ya iyalah, Pak Bos. Gue juga lagi males berhubungan sama Agaz lagi, guys." jawabku malas, lalu menyuap sesendok gado-gado ke dalam mulutku.

"Alasannya?" Anya mengangkat alis sebelahnya.

Aku menelannya dengan cepat, "Simple, Nya. Karena bakal percuma balikan lagi sama mantan. Kayak gue lagi baca buku, udah ketebak endingnya. Ya gitu aja."

Pak Bos tiba-tiba mengulum senyum lebar, "Anya never told kau balikan, Echa."

Anya tertawa terpingkal-pingkal setelah melihat wajahku yang terdiam bodoh, menyadari kesalahan yang baru saja kuucapkan tadi.

"Yaaa... Kan pertemuan kemaren ituuuuu...." Aku tergagap, mataku mulai berputar ke atas, dan kakiku bergerak terus-menerus, menyentak-nyentak sanggahan kayu di bawah meja yang menjadi alasku menaruh kaki.

Kalau berhubungan dengan Agaz, mereka berdua bisa dengan mudah memutarbalikkan otakku yang sebenarnya lebih jago dari mereka berdua.

"Emang apa sih yang bikin Agaz punya noktah hitam ke kau?" tanya Pak bos, mengalihkan arah topik pembicaraan.

"Echa ini perempuan kurang pengetahuan tentang man yang cowok bener sama cowok gak bener." sahut Anya menyindirku.

Mataku berputar jengah.

"Echa pernah bilang Agaz nggak punya masa depan." jelas Anya singkat, tapi dapat membuat pria tambun ini menganga lebar.

"Kek mananya kau ini, pria cem gitu kau cakap tak punya masa depan?!" timpal Pak Bos melirikku tajam.

"Tapi, memang seperti itu. Sifat dan sikap Agaz dulu itu mencerminkan perilaku anak nggak punya masa depan." sanggahku membela diri. "Dan cita-cita gue, berteman dengan orang yang kadar otak dan attitudenya layak buat disebut anak baik-baik."

"Agaz sesekolah sama kau?" tanya pak Bos, sama sekali tidak memedulikan penjelasanku.

Aku mengangguk lagi sebagai jawaban, menyuap lagi gado gadoku.

"Nah itu. Yang bego kau atau sekolah kau, nerima siswa yang nggak ada prestasinya."

"Ya nggaklah. Sekolah gue itu sekolah kompleks. Sekolah yang punya murid pintar-pintar dan berprestasi." jelasku, menandaskan tuduhan negatif terhadap sekolahku.

"Mungkin Echa kali ya yang bego." Kali ini Anya kembali menyahut.

"Sekarang, cem mana kau bisa pacaran sama dia?" tanya Pak Bos mengganti topik.

"Gue janjiin ngikutin kemauan dia, kalau menang lomba. Ternyata, dia menang. Dan secara gue perempuan yang nggak omong kosong, gua ngeiyain buat jadi pacarnya. "

"Lomba apa?"

Aku menggigit bibir bawahku, "Robotik tingkat Jatim, Bos." jawabku pelan.

"Alamakk! Cem mana orang bego, dan berandalan bisa menang lomba sedaerah, Echa?!! Pake cakap tak punya masa depan, kau tuh yang tak punya masa depan, Echa. Bedogol kali kau ini! Pening kali palak awak cakap sama karyawan bedogolnya bikin darah tinggi awak naik!" Pria itu sudah berdiri dari kursi dengan memijat keningnya.

Aku menggigit bibir bawahku, menutup wajahku dengan tanganku sendiri. Tangan bebasku, menarik tangan besar Pak Bos untuk segera duduk, setelah menyadari seisi kantin kantor mulai memilih mengalihkan tatapan di piring mereka ke arah kami bertiga.

Pak Bos kemudian duduk, dengan nafas masih terengah-engah. Aku juga telah menurunkan tanganku yang tadi di wajah. Kembali semula, mengaduk gado-gado yang tinggal empat suapan. Anya masih terkikik pelan di sampingku. Pak Bos kali ini menaikkan celananya ke perut, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, menyelipkan perutnya di bawah meja.

"Kalau awak jadi kau, awak udah nyegel Agaz sebagai mantan terindah, Echa." sahut Pak Bos pelan dengan tatapan menuntut padaku.

Aku memicingkan mataku, "For what? Nggak, gue dari dulu nggak ada keinginan nyegel dia jadi apa apa dalam hidup gue."

"Loe bisa nggak, buat nggak munak untuk kedua kalinya? Loe nggak capek apa, udah single terus munak? Dan, Honey, Agaz itu mantan yang memang patut diperjuangkan." timpal Anya setelah mengambil daging perasan lemon milik Pak Bos.

Mataku memutar jengah, kurang setuju dengan pendapat mereka berdua.

"Mau bagaimana pula, kau punya dua pilihan saja, Echa." Pak Bos tiba-tiba tersenyum sumringah, "Kau tinggal pilih, mau diruwat dan tinggal selamanya di Papua, melepaskan karir kau sebagai marketing Eksport atau, kau masih tetap mempertahankan kemunakan kau itu, Echa?"

Mataku membeliak lebar, gado gado yang tengah mengudara di tanganku, terjatuh. I know, He is truly fucking true!

"Echa sayang, tak ada salahnya loe baca buku untuk kedua kalinya." Anya ikut menambahi dengan tersenyum miring kearahku,"umpamain kisah elo sama kayak ini. Berapa kali seorang peresensi mencari letak good and badnya itu buku? Nggak ada salahnya, loe buat cermati dan jadi pengomentator cerita loe sendiri, honey. Buat nemuin, yang bad, yang mana. Yang good, yang mana. Every books have bad and good stories. Everyone else does too, honey. Either Agaz or you."

Haruskah?

Ludahku mendadak keluh untuk kutelan. Bahkan Siti Nurbaya ini sudah mulai rela untuk mendapatkan segala rupa sosok Datuk Maringgi selanjutnya. Karena, Datuk Maringgi yang ke-5 bukan yang diinginkan oleh Si Siti Nurbaya. Tapi, sejak kapan Siti Nurbaya mendapatkan orang yang dia cintai?

#####

Gue iyain buat ngedate bareng sama Agaz, guys.

Aku mengetik cepat ke dalam group Whatsapp, setelah meyakinkan kepada diriku sendiri untuk mengiyakan pergi dengan Agaz. Sebenarnya aku kurang nyaman untuk pilihanku saat ini. Pergi dengan dia, sama saja, aku menelan ludahku sendiri. But, I want to find how bad dan how good my stories. I want to find who is protagonist, antagonis, and maybe just cameo.

Awak doain first date kau lancar.

Jangan lupa, buat nggak munak untuk kesekian kali di depan masa lalu loe, Cha.

Munak dan single itu nggak acih buat bersandingan.

Mataku berputar jengah menanggapi kalimat dua orang ini. Aku menelengkan kepalaku ke kiri, menatap wajah Agaz dari sisi kiriku, kembali melirik layar ponsel yang tidak menampakkan interaksi Anya dengan Pak Bos.

Tanganku membuka tas, lalu memasukkan ponsel ke dalam, dan melihat ke depan jalan. Mobilnya telah berjalan menjauh dari Kawasan Industri Pulogadung -tempatku bekerja-menembus ratusan kendaraan dari padatnya pekerja paruh waktu yang berkeinginan segera pulang untuk menikmati weekend yang hanya angin lalu bagi kami. Hanya 42 jam saja kami merehatkan tenaga, pikiran, dan hati kami dari segala kemunafikkan menjadi pekerja paruh waktu dengan gaji tidak lebih dari prestise-prestise yang selalu kami junjung.

"Kita sampai..." Agaz berseru, menarikku kembali ke dalam kesadaran penuh.

Sejak tadi aku memang melayangkan pandanganku keluar mobil, tetapi tidak sekalipun lapisan otakku bekerja mengikuti visual dari mataku. Aku menggerakan posisi dudukku tegak.

Melihat kami bukan berada di tempat yang selama ini aku pikirkan, menarikku berkata, "Ngapain kita ke Museum Bank Indonesia, Gaz?" tanyaku dengan menelengkan kepalaku ke arahnya, menatapnya dengan raut tidak percaya.

Pria ini hanya memicingkan matanya, kemudian melepas sabuk pengamannya. "Bukan ke Museum Bank Indonesia, tetapi ke Museum Wayang."

"Loe ngajak gue ke museum wayang di kencan pertama kita?"

Agaz hanya tersenyum aneh, miring atau apalah, seakan dia tengah mendapatkan jackpot besar-besaran hingga mampu menyinggingkan senyum selebar itu.

"I never told this is our date, Echa." Dia menjawab dari kebingunganku akan senyum lebarnya. Dia lalu mengambil kunci mobil, memasukkannya ke dalam tas selempang, "Ayo. Aku lagi pengen nonton wayang kulit, Echa."

Dengan raut wajah yang sudah kupasang semalas mungkin, aku mendorong pintu mobilnya, keluar dengan langkah terseok-seok malas, mengikuti Agaz yang terlebih dulu melangkah menuju pintu keluar museum. Dia berbelok ke kanan, dan aku mengikutinya dari belakang.

Di depan gedung dengan aksen warna putih, yang juga menonjolkan bangunan modern dan bangunan klasik eropa, beberapa jendela yang besar dan lebar, pintu yang terbuat dari kayu jati yang terlihat begitu massif, dan di atas bangunan, di tengah-tengah gedung dua lantai itu, nampak baliho besar bercat biru dengan tulisan "museum wayang."

Dia membeli dua tiket setelah memberikan 6000 uang rupiahan kepada Bapak paruh baya dengan kulit coklat, rambut cepak yang setengah beruban dan kerutan dalam pada keningnya, meskipun ia telah tersenyum lebar kepada pelanggan.

Kami memasuki ruangan pertama yang terdapat deretan wayang golek khas Jawa Barat di dalam etalase kaca. Ruangannya lebih mendominasi artistik modern dengan penerangan yang tajam, walaupun bangunan depannya nampak terlihat tua.

"Suka?" tanya Agaz tiba-tiba, berdiri di belakangku.

Aku mengangguk, memutar tubuhku menghadapnya. Mataku masih mengarah ke seluruh sudut ruangan, bahkan menatap wayang yang bertengger di dalam etalase kaca di balik tubuh Agaz.

"Suka banget malah. Gue nggak nyangka aja, Jakarta bisa sepintar ini menjaga kebudayaan kita." Aku masih menggebu menceritakan asumsi mengenai tempat ini. Aku bisa melihat Agaz tengah tersenyum.

"Setelah ini, loe bakal ngomong hal yang sama ketika loe lihat pentas wayang kulit di sini." ujar Agaz. Aku mengerutkan keningku, berniat untuk menanyakan maksudnya, tapi dia kembali berujar."Ayo. Pentasnya mau mulai." katanya kemudian, menarik tanganku mengarah ke salah satu ruangan yang lumayan besar.

Di sana, panggung dengan tirai putih telah digelar dengan iringan musik gamelan yang begitu indah dan dikemas apik selaras dengan kisah yang akan dimulai oleh dalang. Siapa yang tidak mengetahui jika budaya ini begitu terkenal dan selalu disandingkan saat mengenal Indonesia. Semua orang tahu, bahkan perempuan sepertiku yang nihil dalam ilmu budaya Indonesia pun paham wayang adalah milik Indonesia.

Nampak belasan orang telah duduk mengambil posisi. Masih ada sisa baris di depan untuk tiga orang, tetapi, kami memutuskan untuk duduk di belakang. Aku melirik Agaz yang tengah mengamati panggung yang telah memulai mementaskan wayang.

"Sejak kapan loe jadi suka hal kayak ini?" tanyaku kemudian, setelah menyadari ini bukan sosoknya 'banget.'

Kali ini Agaz menelengkan kepalanya ke kiri, menatap mataku begitu lekat, "Sejak gue jadi warga Indonesia, Echa."

Mataku berputar jengah, kemudian lidahku berdecak meremehkannya, "Nggak logis, Agaz. Loe emang warga negara Indonesia, tapi sayang, loe dulu nggak mencerminkan sikap warga Indonesia yang baik. Mana ada WNI baik suka ngerusuh di sekolah."

Dia tiba-tiba terkekeh pelan, terdengar renyah di telingaku, "Apa warga Indonesia yang nggak baik, juga nggak boleh cinta sama budayanya sendiri, Echa?"

Kerutan dikeningku berkedut, merasa kalah telak dengan pertanyaan yang serupa pernyataan ini. Dia hanya tersenyum lalu kembali menatap dalang yang mulai memainkan wayang, menguraikan cerita dengan bahasa Jawa halus.

"loe ngerti kalau Gatotkaca dulunya seorang pria biasa dan bodoh dalam menghadapi perempuan?" tanya Agaz berbisik di telingaku.

Aku mengangkat bahuku acuh tak acuh dengan melihat ke depan, menyaksikan bayangan bentuk wayang di balik selembar kain putih itu.

"Tidak seperti Arjuna, yang menjadi pria pecinta wanita perwayangan. Dia hanya seorang pria yang berbadan besi, lalu tiba-tiba jatuh cinta pada seorang perempuan cantik dan bangsawan. Dia melakukan segalanya, mengubah dirinya menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih dari segalanya."

Aku masih diam dengan mengamati wayang kulit itu bergerak-gerak oleh dalang yang menuntun cerita.

"Hanya karena satu perempuan. Perempuan bangsawan bernama Pragiwa." ucapannya tadi beriringan dengan dalang yang menyebutkan satu nama, seperti apa yang Agaz tengah katakan.

"Sanadyan Gatotkoco wes entek umure, Pragiwa tansah tresno karo Gatotkoco. Tresno Gatotkaca lan Pregiwa ora duwe entek sakjama iki."

Kali ini, aku menelengkan kepalaku ke arahnya, melihat Agaz yang ternyata tengah menatapku. Memori visualku bekerja tiba-tiba, merekam segala bentuk guratan tersirat dari wajah miliknya. Dari bawah temeramnya lampu, aku masuk ke dalam mata hitam pekatnya, aku tersurut begitu dalam.

"Dia jatuh cinta sebodoh mungkin pada perempuan itu. Melakukan segala cara untuk bisa mempersunting gadis itu. Bodoh. Satu kata untukku kepada gatotkaca." Dia menekankan kata bodoh itu begitu dalam.

"Maksudnya?" tanyaku mulai menatapnya dengan raut wajah bingung, terjebak dalam tatapannya, juga terjebak dalam arah pembicaraannya.

Dia menyeringai sebentar, "Karena pria seperti itu terlalu bego, Echa. Mencintai satu perempuan dan melakukan segalanya demi dia. Itu hal terbodoh yang pernah dilakukan para bangsa kami. Bahkan seharusnya, Gatotkaca lebih menggunakan logikanya daripada perasaannya!" tegasnya kemudian, menatapku dengan begitu lekat. Bahkan rahangnya terlihat mengetat seketika.

Plok-plok-plok.

Tepuk tangan terdengar begitu keras di telinga kami berdua, sontak menarikku dan Agaz memalingkan wajah ke depan. Ternyata, dalang telah selesai bercerita, dan bunyi gamelan telah mengalun pelan demi pelan, lalu selesai. Gatotkaca dengan Pragiwa telah usai diceritakan oleh dalang.

Mataku melirik ke Agaz, yang telah tersenyum kembali. Raut wajahnya berubah sekejap. Dan aku tidak menemukan lagi raut seserius tadi dari wajahnya.

Lalu, Agaz, kamu sedang berdalang tentang siapa tadi?

####

BERSAMBUNG....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro