Bab XX - Jatuh Cinta Itu Khusus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jatuh cinta itu khusus. Khusus untuk orang yang siap mental dan fisik. Mental untuk membangun komitmen dengan kejujuran. Fisik untuk membuat kalian puas dalam dahaga di atas seksualitas.

Pintu itu terbuka luas. Tampak pria baya dengan seragam tentara berdiri tegak di ambang pintu, menyambutku dengan kedua tangan terlentang ke atas.

Berlalu seketika, saat dia menemukan mimik wajahku tidak merespon binar bahagianya.

"Bapak..." Aku memanggilnya, beringsut memeluknya. "Echa bakal kehilangan seseorang lagi." rancauku dengan menekan tubuhku semakin dalam ke pelukannya.

Pria baya ini mengusap punggungku. Dia menawarkan kehangatan dalam pelukannya, menawar segala kepahitan yang baru saja kulalui.

"It's okay. It's okay." Dia menepuk punggung, bergumam lirih di telingaku.

Aku menarik wajahku dari bahu Bapak, menatap ke depan dari balik tubuhnya. Ibu menatapku, kekecewaan tergurat kentara di wajahnya.

Tanganku menarik diri melepas pelukan. Kakiku beranjak ke belakang, menemui Ibu yang tengah berdiri di ruang tamu.

"Ibu...," Wanita baya ini mundur. Gelengan di kepalanya menandakan dia tengah berada di pihak siapa. "Datuk maringginya bakal berubah lagi, Buk.” ringisku kepadanya.

Dia tidak menjawab.

Tidak memedulikan respon Ibu, aku kembali melanjutkan kalimat, "He wants me to hate him.”

“Kamu ngelakuin kesalahan apalagi?” Dia bertanya, bernada menyelidik.

“I want me to hate myself, Bu.”

“Ibu nggak paham.”

“Echa udah nyulut api di lahan gambut.” Aku masih merancau. Tidak memedulikan pertanyaan yang terus-menerus keluar dari mulut Ibu.

Ibu merengkuh pundakku. Dia menarikku ke dalam pelukannya

“Echa habis dicium orang.” jelasku, membendung tangisan di bahunya. "Bukan sama Agaz."

"..."

###

Aku mengetukkan tanganku di atas keyboard. Mataku menjelajah beberapa kabar terbaru mengenai Negara Jepang.

Aku melirik ke jam tangan di pergelangan tanganku, sisa setengah jam lagi aku menyelesaikan laporan freight forwarder. Mengecek beberapa kontainer yang bisa kurang atau berlebihan bobot, bill saat landing kontainer, dan beberapa yang lain.

Dan berakhirlah masa kerja selama empat jam. Aku beranjak dari kursi, menemui Anya yang selalu memborbardirku untuk segera ke kantin.

Anya melambaikan tangannya, menyuruhku segera menghampirinya. Aku duduk di depannya.

"How was Tokyo?" Dia langsung bertanya, menyodorkan segelas minuman es jeruknya padaku.

"Masalah." jawabku singkat, menyesap minumannya.

"Heh? Ini ada penjelasan secara masuk akal nggak?"

Aku mengembalikan gelasnya, melipat tangan di atas meja, dan menaruh kakiku di atas peyangga kursi. Bersiap untuk membicarakan rangkaian kisah yang tidak pasti datangnya.

"Reza cium gue." Ternyata, aku langsung pada inti masalah. "Agaz ngerti. Dan dua hari kami nggak pernah say hello."

Perempuan di depanku terpana. Wajah cantiknya berubah drastis. Pucat pasi yang kutangkap saat ini.

Dia kemudian menggeleng.

"Nggak nyangka. Loe ngomong yang nggak berbelit, tapi nggak masuk di akal." Dia mencondongkan tubuh kepadaku. "Hello, sejak kapan si pria gay suka sama loe? Ngayal loe jangan ketinggian, my sweetheart, Echa."

"Loe nggak percaya? Apalagi gue?" Aku balik bertanya.

Anya menggeleng, menatapku iba. "Hidup itu nggak pasti, ya, Cha? Tapi itu yang bikin loe mikir, gimana cara bikin loe nerima ketidakpastian itu."

Aku tertegun mendengar Anya. Perempuan ini memang setengah waras jikan berhubungan dengan masalah-masalah seperti ini.

"Caranya?" Aku malah bertanya. "Telepon gue aja nggak dia angkat. Ke apartemen nggak pernah dia bukain pintu. Masa gue harus ngemis?" keluhku sebal menatap Anya, menopang daguku. "Gue nggak mau jadi budak pria. Tahu sendiri, pria itu suka membudak para wanita. Para wanita! Dalam arti, wanitanya mereka nggak cuma satu."

"Tarik ulur." Anya menyimpul, memberiku senyuman lebar.

"Agaz itu udah benci sama gue. Dia benci sama kayak benci ke Bokapnya." Aku kembali memperjelas. "Dia itu punya ribuan orang paling di benci di dalam listnya. Dan gue, sekarang, sejajar sama bokapnya."

"Ayah Agaz itu bupati dari Indonesia timur, bukan sih?"

Aku mengangguk.

"Yang dikabarkan punya istri baru?"

Kali ini aku sontak menatap matanya dengan wajah terkejut. Dagu yang tertopang di tanganku terlepas. "Maksudnya apa?!"

"Gue habis browsing. Keluarga Agaz banyak peliknya." komentar Anya menggeleng. "Mereka itu pantas disebut keluarga banyak masalah."

Aku kurang terima dengan asumsi Anya.

"Tapi..." Dia menarikku untuk mengurungkan niat tidak jadi menyumpah serapah kepadanya. "Seperti yang dulu gue pernah bilang, semua orang punya cerita baik dan buruk. Tinggal kita cermati." Anya masih mengulum senyum tipis. "Loe udah cermatin Agaz. Sekarang, loe cermatin keluarganya."

"Neneknya udah gue cermatin." semburku dengan mencebik sebal.

"Bokapnya? Nyokapnya?" Dia bertanya seperti tengah menyelidik.

"Gue tahu mereka." sahutku kalem.

"Tahu bukan berarti ngerti." tangkas Anya. "Loe sama kayak bokapnya. Dua orang yang dibenci. Kenapa nggak loe mulai dulu sih dari hal segampang itu."

Aku menghela nafas berat. "Bokapnya benci sama gue." Mataku menatap keluar kantin. Beberapa karyawan telah menyelesaikan makan siang mereka. "Nyokap gue juga benci sama gue." Aku memalingkan wajahku ke Anya, yang masih tetap sama beraut kalem dengan senyum simpul. "kejujuran gue ke Ibu malah Ibu benci sama gue. Harusnya gue bohong, harusnya gue–"

"Don't be unrealistic, sweatheart." Anya meghardikku. "Jujur ke gue, loe cinta sama Agaz. Satu hal yang belum loe katakan ke hati loe. Itu yang masalah. Bukan jujur yang jadi masalah."

Oh come on. Masih perlu cintakah jika aku telah berkomit–

Aku mendongak. Wajahku berubah pucat. "Belum. Bahkan komitmen nggak mampu buat Agaz nggak benci sama gue, Nya."

Anya tersenyum. "Nggak ada salahnya, sebagai perempuan ngejar pria yang kita pilih untuk masa depan. Iya, bukan?"

Aku menghela nafas lega. Entah, sejak kapan, Agaz selalu meliputi di setiap sudut pertemananku dengan orang-orang ini. Entah sejak kapan, kehadirannya membuatku untuk menanggalkan egoku.

Agaza Putra.

Dua kata yang selalu kukurung dalam-dalam, menariknya menjauhi alam bawah sadarku.

Tetapi kali ini. Dia bukan hanya ada di alam bawah sadar. Dia telah menyembul di kesadaranku.

Aku sadar tengah jatuh cinta ke kamu.

###

Rumah berdominan putih ini nampak menakutkanku. Seakan-akan aku tengah masuk dalam ruang pengadilan. Kacau balau adalah hal yang tengah terjadi padaku.

Dengan langkah lemas, aku menarik kakiku semakin masuk ke pintu pengadilan. Di dalamnya mungkin, nampak beberapa jaksa, hakim, atau saksi menunggu kedatanganku yang siap untuk diadili.

Oh Tuhan... ini lebih sulit dari yang kubayangkan.

Bahkan di depan pintu, orang yang selama ini kucari tengah berdiri di sana. Menatapku dengan wajah keterkejutan yang lebih menyurupai kepucatan pasi saat melihatku.

Keterkejutan tidak hanya darinya. Aku ikut menikmati keterkejutan kedua. Perempuan yang tidak pernah kubayangkan muncul dari balik punggung Agaz.

Neina?

Kakiku menaiki tiga anak tangga, agar mampu mendekati dua orang ini.

"Halo." Aku menyapa mereka, mengambil mimik seramah mungkin.

"Halo. Lama nggak jumpa." Neina menyahut.

Aku tersenyum, memilih menatap Agaz, yang sama sekali tidak menyahut sapaanku.

Dia sama seperti dulu, tidak memberiku leluasa kembali untuk berbasa-basi dengannya.

"Kamu di sini?" Keberanian yang kacau balau ini, membuatku tidak berpikir rasional.

"Gue emang di sini sejak dua hari yang lalu." Terdengar sinis. Terdengar tidak bersahabat. Dan terdengar kecewa. Dia bahkan tidak memanggilku dengan embel Aku dan Kamu.

"Aku cari kamu. Di Apartemen. Di kantor. Di-"

"Buat apa, Echa?!" sanggahnya cepat, menatapku dingin. "Gue nggak ada hak buat kasih elo tahu gue ada di mana!"

Aku menarik nafas, kembaki memgumpulkan keberanian walau hanya kutemukan keberanian yang kacau balau.

"Aku minta maaf." Kacau balau yang begitu berperasaan.

Aku menangis di depannya. Di depan Neina.

"Gue sama loe emang nggak pernah punya pemikiran yang sama. Dan bener, gue nggak pernah masuk ke pikiran loe." tandasnya cepat, berjalan melewatiku.

Tubuhku langsung berbalik, mencegah lengannya yang terayun siap meninggalkanku.

"Kamu belum denger penjelasanku, Gaz." rengekku memohon padanya. "Dia, bukan aku, Gaz. Aku nggak pernah mau sama dia."

Dia tertawa sumbang. Seakan tengah mengetawaiku. "Cha, Echa. Dari cara bicaramu, reaksimu, dan bahkan..." Dia menghentikan laju kalimatnya, "loe masih seegois dulu, ya? Loe terlalu nerapin ego dalam segala hal. Termasuk dalam hal ini."

"Aku nggak ngerti, Gaz!" Aku masih merengek di depannya. Nggak masalah bukan, jika aku menjadi perempuan tak tahu diri? Bukankah dia pernah menjadi lria tak tahu diri untuk mendapatkanku? "Gue tahu gue salah. Gue harusnya bisa ancang-ancang. Tapi sumpah, itu nggak pernah ada di pikiran gue. Reza nggak pernah masuk ke dalam pikiran gue. Bahkan ciuman itu..."

Rasanya terlalu sulit menjelaskan duduk perkara itu kepadanya. Rasanya seakan aku tengah kembali mengalam kejadian itu.

"Ciumana apa?!" Aku tersentak diam di tempat.

Intruksi suara Nenek membuat segala yang menjadi ketakutanku muncul ke permukaan.

"Ciuman apa, Echa?" tuntut Nenek telah berdiri di depanku. Dia menataoku dengan kedua bola mata membeliak lebar.

"Nek..." Agaz mencengkram bahu Nenek. "Kita jelaskan sambil duduk."

"Jelaskan ke saya sekaeang, Echa!" Nenek menghardikku. Tidak memedulikan Agaz.

"Saya...," Aku membungkam mulutku. "Saya salah."

Nenek menatapku, kemudian berbalik meninggalkanku sendiri.

Agaz mengikuti nenek dengan tergesa-gesa. Neina masih di sampingku. Manik matanya terlihat bingung dengan ini semua. Aku menghela nafas, mengelap air mata yang tengah menggenang di pipiku.

Siapa lagi yang tengah membenciku?

"Echa." Aku menghentikkan kakiku saat namaku disebutkan. "Boleh aku mengatakan sesuatu?"

Aku membalik badanku, "Mengejekku sekalian, boleh kok, Nei."

Dia masih tersenyum. "Aku nggak pernah berpikir ke hal kayak gitu." Dia menjelaskan. "Kamu itu salah satu alasan dia untuk hidup."

Aku memutar mataku jengah. "Sehebat itu ya sampai loe ngerti banget soal Agaz."

Oh come on, aku benar-benar kehilangan kendali dengan perempuan ini.

"Putra cuma bisa dimengerti sama kamu. Bukan aku." Dia tersenyum. Senyum yang begitu kubenci. Dari kedua matanya, aku bisa melihat ketulusan. Tetapi tidak saat ini, aku terlalu murka dengan ketulusan.

"Kalau loe ngerti, gue termasuk orang yang nyakitin dia saat Bundanya meninggal." ujarku, mendengus kepadanya.

"Gue tahu, Echa." Dia tersenyum. "tapi, loe masuk ke pengecualian."Dia menatapku, memberiku satu perasa yang membuatku bergeming.

"Gue lagi dalam emosi. Jangan sok baik sama gue!" tandasku, tidak tdrdengar rama sama sekali.

"Echa, aku juga emosi saat ini. Mengetahui kenyataan yang tidak pasti." Neina menganggukan kepalanya. Dia menatap ke pintu yang tertutup rapat. "tetapi hal yang tidak pasti itu adalah hidup, bukan?"

Omongan yang persis dengan Anya. Mereka pantas kusandingkan.

"Saya kembali ke dalam dulu. Kamu berhak tahu, Echa." Dia pamit, masuk kembali ke dalam.

Aku berhak tahu jika kamu ternyata suka dengan Agaz, bukan?

Atau aku berhak tahu, jika kalian berdua sama serasi untum disandingkan, bukan?

Aku picik. Dan aku nggak mau hal itu terjadi.

Nggak.

###

"Loe ngapain di sini?" Agaz bertanya dengan wajah kebingungan dan  keheranan menatapku berada di eventnya.

Event yang memiliki kerja sama dengan pemrov DKI dan digelar di pekarangan Balai Kota. Hanya ada panggung kecil, dan tenda berwarna biru yang dikemas apik oleh penyelenggara.

"I am part of your user." Aku tersenyum tak bersalah di depannya. "Gue beli produk loe terus di undang deh. Lumayan, 'kan? Bisa masuk ke undian." kelakarku di depannya.

Dia mendengus sebal.

Aku langsung duduk di depan, mengambil tempat duduk di dekatnya.

"Echa, ini buat karyawan gue." ujarnya mencoba kalem, menanggapiku.

"Oh please, Gaz. Gue ingetin, Pak Bos udah taken kontrak loh sama perusahaan loe."

Entah kenapa, aku begitu pintar dalam hal ini.

Dia mengerutkan keningnya. Mencoba untuk membantah, tetapi suara intrupsi dari MC membuat dia mau nggak mau duduk di sampingku.

Aku meliriknya yang sama sekali tidak sedikitpun menggerakan kepala ke arahku.

Pertahanan yang kokoh, Gaz.

“Capek ya punya perasaan bertepuk sebelah tangan.” bisikku di telinganya.

Dia nampak terkejut, tetapi mencoba kembali tenang. Senyumku nampak mengembang puas saat dia menyahut ucapanku.

Unrequitted love sama siapa?”

“Sama orang." Aku menjawab singkat.

Dia kali ini menelengkan wajahnya kepadaku. "Iyalah. Sapa?!" Ada nada tuntutan dari pertanyaannya.

Aku tersenyum, “Sama orang yang barusan bertepuk tangan di samping gue.”

Dia membeliakkan kedua matanya. Dia hampir menimpali pernyataanku,  hingga sebuah panggilan menuntutnya untuk mengurungkan niat.

Dia menunduk di sampingku, kemudian berbicara berbisik. Tanpa kuketahui, Agaz telah beranjak dengan wajah pucat. Dia seakan bingung harus ke mana. Telepon tadi membuat konsentrasinya hilang. Dia langsung pergi, tanpa pamit ke rekan kerjanya dan aku.

Semua orang sekejap menatap kepergiannya. Aku juga ikut berlari, mengejarnya. Di depan Balai Kota, aku mencegatnya.

Wajahnya semakin kacau balau. Kakinya terus-menerus bergerak. Bahkan tak tentu arah.

"Agaz!" Aku menghardiknya, menahan kebodohannya yang hampir menubruk pedagang kaki lima di bahu jalan.

"Nenek..." Dia memberi jeda.

Ada yang tidak beres. Aku tahu itu.

Aku langsung menariknya ke parkiran.

"Percaya sama aku, ya?" mintaku setelah masuk di kursi kemudi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro