Chapter Eleven

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah bunyi 'brak', pintu kayu itu terbuka. Freed masuk melihat ke dalam. Tidak menyadari si siswi yang ternyata mengambil vas kaca yang berada di salah satu meja di sana dan tanpa pikir panjang langsung memukulkannya ke kepala Freed.

Pria itu tidak sempat menyadarinya jatuh tersungkur dengan kepala yang berdarah. Ia melihat si siswi menutup pintu dengan cepat dan mendekatinya dengan sebilah pisau berada di tangannya. Sedari tadi pisau itu berada di balik bajunya, hal itu yang membuat pria itu tidak menyadari keberadaan benda tajam tersebut.

"Ke--ke--kenapa?"

"Kau terlalu lelah bekerja Freed .... Aku akan memberikanmu istirahat yang panjang."

Freed tidak sanggup melawan saat serangan bertubi-tubi itu menyerangnya. Menusuk-nusuk tubuhnya, mengoyak kulitnya, menembusnya dan menciptakan banyak luka di sana. Darah dengan cepat keluar dari bekas penusukan itu. Penglihatan Freed memudarkan perlahan sebelum gelap, seiring dengan rasa sakit yang semakin menggerogotinya, dan semua hilang. Ia tak lagi sadar.

"Ini mudah." Ia mencampakkan pisau yang sudah berlumuran darah ke sembarang arah, kemudian tanpa membersihkan tangannya dari cairan kental merah itu ia segera mengambil ponsel dari sakunya. "Saatnya melihat pemandangan indah ... Eva."

Ketika nada sambung berhenti, suara di seberang sana terdengar. Begitu marah, ia sudah lama memendam ini semua. Mungkin cara seperti inilah yang ia gunakan untuk menunjukkan bahwa ia sangat benci pada Eva. Pada apa yang melekat pada gadis itu. Menjalani dua tahun bersama, berpura-pura saling menyayangi adalah hal yang sangat menyiksa.

"Aku di asrama, di kamarmu."

Lalu ia mematikan sambungan itu. Menuju lemari pakaian. Ia tidak mungkin keluar dengan pakaian yang telah kotor bukan? Sebelum ia membersihkan diri, ia ingin menghias dinding dan kamar itu terlebih dengan kata-kata indah dahulu.

***

Terjadi dalam kurun waktu yang sangat cepat, hanya beberapa hari dan sudah banyak kejadian yang terjadi. Berjalan tergesa-gesa, seperti hendak mengejar sesuatu. Yang paling mengesalkan adalah sulitnya menangkap si pelaku.

Meski terkesan terburu-buru, tetapi mereka memiliki strategi yang luar biasa untuk kabur. Setelah kejadian pintu yang tercoret-coret, Robert sama sekali tidak dihantui si peneror. Malahan, berganti orang lain yang kena.

"Kau kalah. Menyerah sajalah."

Ingin rasanya ia membalikkan meja di hadapannya sekarang juga setelah lelaki itu berbicara. Robert Williams tidak suka diremehkan dan tidak suka kekalahan. Ia menyipitkan mata memandang lawan bicara. Menyadari ada yang terlewat dari persepsinya.

Ia seorang yang terlalu percaya bahwa dia seorang musuh yang sportif. Sayang, dia ternyata lebih licik dari ular. Sejak awal lelaki itu memang sudah mengibarkan bendera perang lada Robert, karena merasa berada di tempat tertinggi, Robert abai dan berujung ia tersalib banyak hal.

"Kau. Kau pelakunya."

Lelaki itu tertawa begitu keras sampai Robert merasa dia benar-benar segila itu. Ia bahkan memeggang perutnya karena begitu menggelitik dirinya.

Menyugar rambutnya ke belakang, si lelaki tersebut tersenym miring. "Walau kau tahu, apa yang bisa kau lakukan? Memberitahu pada publik aku pelakunya sama saja merusak reputasimu, bukan?"

Benar saja. Robert memiliki hubungan yang sangat dekat dengan si lelaki. Barangkali jika ia melaporkan, maka ia akan turut jelek. Sejak kapan permusuhan itu terjadi, pria tua itu tidak tahu. Yang ia sadar, laki-laki tersebut semakin menjadi membenci dirinya.

"Aku tidak akan mengungkap dirimu," Robert kali ini membalas dengan tatapan yang tidak kalah mengintimidasi dan penuh pengancaman. "Tetapi ... orang-orang yang bersamamu akan kuhabisi tanpa ampun."

Seketika keadaan berbalik. Robert berhasil membalikkan keadaan dengan amat elegan. Tampak mata yang tadinya santai mulai serius dan tegang.

"Kau mungkin tidak akan peduli dengan apa yang akan terjadi padamu. Tapi orang-orang itu? Kau sanggup kehilangan mereka?"

Bom kedua sudah dijatuhkan. Ekspresi wajah laki-laki itu mengeras dan kesal sekali terhadap apa yang ia dengar. Ia tidak seharusnya ketahuan secepat ini, ia tidak boleh kalah. Ia tidak ingin kehilangan orang yang ia kasihi lagi.

***

Ia baru saja masuk saat sebuah tangan merangkul tubuhnya dari belakang. Rasa lelahnya sedikit terangkat karena kehangatan tersebut. Ia menarik gadis itu hingga menghadapnya. Senyum lebar terpampang di wajah.

"Aku berhasil membereskan satu orang," ucapnya riang.

"Kau memang gadis yang hebat."

"Hmm, aku tahu." Gadis itu lalu berjalan ke dapur yang hanya perlu ditempuh dengan berjalan beberapa langkah saja sudah sampai.

Apartemen yang ia huni semenjak beberapa hari lalu itu tidak terlalu besar. Ukuran studio, di mana hanya ada satu kamar dan dapur dan menyatu dengan ruang tamu. Namun, sangat nyaman untuk ditempati

"Kau lapar, aku membuatkan sup tadi. Mau kupanasi?"

"Tidak perlu."

Melihat sejak tadi wajahnya begitu kusut, si gadis melupakan niatnya untuk menyajikan makanan. Ia menghampiri laki-laki  yang sudah duduk di sofa itu. Dari rautnya, tampak ada beban yang ia bawa sejak tadi.

"Mau bercerita?" Tanpa basa-basi, gadis itu bertanya. Tangannya menyentuh tangan laki-laki tersebut. Mengusap-usap pelan, seakan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Gadis itu tahu ada masalah yang amat berat dari helaan napas panjang si laki-laki. "Aku tidak sanggup kehilanganmu, Anya."

Perempuan dengan rambut lurus sebahu itu terenyuh. Ia tahu laki-laki itu menyayangi begitu tulus. Alasan mengapa ia mati-matian mempertahankan hubungan mereka walaupun mempunyai risiko yang besar.

"Kau tidak akan kehilanganku, selagi ada kau di sisiku. Aku percaya aku akan baik-baik saja."

"Bagaimana kalau aku tidak bisa menjagamu?"

Anya mengeratkan genggamannya, ia menatap kedua mata laki-laki dalam. "Kau tidak akan membiarkan aku dalam bahaya. Itu yang kuketahui selama ini."

Ia sangat mencintai Anya. Perempuan kedua selain ibunya yang membuat ia takut kehilangan. Ia sedikit merasa menyesal membawa perempuan itu dalam rencana berbahaya ini. Senyuman manis itu mampu mengurangi kekhawatirannya. Dalam hati berjanji untuk membuat Anya selalu aman.

"Baiklah. Besok kita harus mempersiapkan semuanya dengan baik, karena kita telah tercium. Pekerjaan ini akan dua kali lebih berbahaya dari sebelumnya. Aku mungkin tak akan kena, tapi kau ... kau yang paling berisiko, Anya."

"Sedari awal memang kita telah bermain-main dengan maut, lalu mengapa perlu takut dengan yang kali ini?"

Karena Robert sudah mengeluarkan gigi taringnya dengan terang-terangan, bahwa sekarang mereka telah sama-sama mengibarkan bendera perang. Bahwa pria itu berniat menghancurkan semua miliknya sampai tidak ada yang tersisa.

Setelah semua rencana ini berhasil, hal pertama yang ingin laki-laki itu lakukan adalah membawa gadisnya pergi jauh-jauh dari Saskatoon.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro